Dalam setiap perhelatan demokrasi di Indonesia, seringkali dimaknai sebagai pertarungan untuk merebut kekuasaan. Karena dimaknai sebagai pertarungan, maka semua pihak berusaha menang dengan berbagai cara. Apalagi cost politik untuk bisa duduk di kursi kekuasaan, bisa terbilang tidak murah, sampai miliaran rupiah. Bahkan, tidak sedikit dari para pihak yang bertarung di perhelatan demokrasi seperti pilkada, pilpres ataupun pileg, menggunakan jasa buzzer untuk menaikkan elektabilitas.Â
Ada yang memunculkan pesan positif melalui keunggulan program yang diusulkan, namun tidak sedikit yang menebar kebencian dengan mencari kejelekan paslon lain. Yang positif untuk menaikkan elektabilitas paslon yang didukung, sementara yang negative untuk menjatuhkan elektabilitas paslon yang lain. Seharusnya, demokrasi tidak bisa dimaknai semacam ini. Karena demokrasi sejatinya adalah dari rakyat dan untuk rakyat. Pemimpin yang terpilih nantinya juga pemimpin yang bisa mengayomi seluruh rakyat.
Karena pemimpin yang terpilih harus berpihak kepada rakyat, proses pemilihannya pun harus dilakukan secara santun dan terpelajar. Santun dalam artian tidak boleh mengunakan hate speech ataupun sentiment SARA. Tidak boleh memprovokasi dalam bersosialisasi ataupun berkampanye. Sementara terpelajar dalam artian setiap yang disampaikan ke masyarakat haruslah membangun, inovatif dan mempunya azas manfaat buat masyarakat banyak.Â
Pada titik inilah perlunya bertarung dalam tataran ide dan gagasan yang kemudian diimplementasikan ke dalam program kerja. Dan masyarakat juga harus mulai membekali dirinya dengan literasi media dan memperbanyak informasi. Bekal inilah yang akan bisa digunakan untuk memfilter paslon mana yang benar-benar bisa menjalankan mandat rakyat dan paslon mana yang hanya sekeder ingin mendapatkan kursi kekuasaan.
Pada 27 Juni 2018 yang lalu, 171 daerah telah menggelar pemilihan kepala daerah secara serentak. Meski tak dipungkiri masih ada beberapa kendala, secara umum pelaksanaan pilkada bisa berjalan aman dan lancar. Hanya saja masih saja ditemukan oknum masyarakat yang menggunakan hate speech untuk mendulang keuntungan tertentu. Ada juga oknum yang melakukan kecurangan, untuk memenangkan paslon yang didukung.
Tidak sedikit pula paslon yang bertarung tapi telah ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pertarungan ditataran ide dan gagasan masih sangat sedikit muncul di media mainstream ataupun media sosial. Publik tinggal berharap, pemimpin yang terpilih dari perhelatan demokrasi tersebut, benar-benar bisa bertarungg jawab untuk kepentingan masyarakat.
Usai pilkada, didepan mata sudah menunggu pemilihan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan anggota legislative. Pihak-pihak yang kalah dalam pilkada serentak, tentu akan berusaha dengan berbagai cara untuk memenangkan pertarungan demokrasi.Â
Begitu juga dengan pihak menang dalam pilkada, akan berusaha mempertahankan suara yang telah diraihnya. Pada titik inilah, semua pihak harus saling mengingatkan agar tidak menciderai perhelatan demokrasi di tahun politik mendatang.Â
Pilpres dan pileg harus lebih santun dibanding pilkada. Jangan lagi ada ujaran kebencian ataupun provokasi SARA. Mari membudayakan sebagai pribadi yang santun dan terpelajar, dalam setiap perhelatan demokrasi. Tidak hanya bagi partai politik ataupun paslon dan timses, tapi juga masyarakat yang akan menentukan kemana arah demokrasi kedepan. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H