Mohon tunggu...
hesti rokhimah
hesti rokhimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - 21107030132

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta Seorang anak perempuan yang menyukai tantangan dan hal baru "Melalui tulisan aku bisa mengenal apa itu dunia"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Review Buku, Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta

15 Juni 2022   20:31 Diperbarui: 16 Juni 2022   06:03 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta" adalah sebuah buku yang di tulis oleh Alvi Syahrin, seorang pemuda kelahiran 1992. "Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta" yang di rilis pada tahun 2018, menjadi buku pertama dari tiga sekuel buku "Jika Kita Tak Pernah...." milik Alvi Syahrin, yang kemudian di terbitkan pada tahun 2020. Dengan cover di dominasi oleh warna hitam dan merah jambu, buku "Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta" memuat 45 sub judul/bagian, yang terdiri dari 223 halaman.

Buku "Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta" ini di buka dengan bagian berjudul "Surat dari Penulis", dimana Alvi Syahrin sebagai penulis dari buku ini, mencantumkan tujuannya menuliskan buku "Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta". Salah satu tujuan Alvi Syahrin menulis buku ini adalah agar pembacanya bisa memaknai cinta dari berbagai sisi, bukan hanya dari satu sisi saja.

"Cinta memang penting, tetapi ada yang lebih penting".

 Bagian pertama dari buku ini berjudul "Ketika Usiamu Delapan Belas Tahun", pembaca akan disambut dengan sebuah paragraf singkat nan sederhana, yang cukup menyadarkan siapa saja pembacanya.  Pada bab pertama ini, Alvi Syahrin menampilkan paragraf-paragraf yang terinspirasi dari kehidupan nyata, yang kemudian ia jabarkan dalam setiap rentang waktu yang berorientasi pada usia manusia.

"dan, inilah kabar buruk dari cinta: ia butuh konsekuensi, dan, konsekuensinya adalah keselamatan hatimu, keselamatannya dirimu".

Pada bab pertama ini, pembaca akan merasakan "dejavu" atau keadaan dimana seolah-olah apa yang dibaca/dialami/didengar saat itu, pernah terjadi sebelumnya. Pembaca dapat merasakan dejavu ini, sebab Alvi Syahrin yang akan membawa pembacanya untuk menyelami dan larut dalam masa lalu. 

Alvi menghadirkan paragraf yang berisi penjabaran dimana manusia berada pada masa-masa usia empat belas tahun, masa dan usia saat kehidupan masih berhubungan dengan banyak orang, menjalin pertemanan dengan siapa saja, menganggap semua manusia yang berada disekelilingnya penting. 

Kemudian, masuk ke usia lebih dari empat belas, hingga delapan belas, Alvi Syahrin akan membawa pembaca bukunya akan ke masa lalu, dimana semua orang yang awalnya dirasa sangat dekat dan penting, orang-orang yang dahulu dengannya kita menghabiskan banyak waktu bersama, kemudian kini perlahan menghilang dan sibuk dengan urusan, orang baru, bahkan kekasih hatinya. 

Usia ini adalah usia dimana orang-orang menganggap dan memahami cinta dari satu sudut pandang, memahami cinta hanya sebagai dua orang saling mencintai dan dicintai, saling menyemangati untuk menggapai mimpi bersama, lalu menikah, memiliki anak dan cucu yang lucu, bahagia selamanya. 

Bab pertama ini adalah bab banyak menciptakan atmosfer yang tidak asing bagi pembacanya, dimana setiap kalimat dalam bab ini, pembaca seolah akan berpikir "oh, benar. Aku dulu begini" atau merasakan dejavu. Pada bab pertama ini pula, pembaca akan menyadari banyak hal, hingga pada kalimat, "Iya, pasti ada yang lebih penting daripada cinta dalam hidup ini".

Melangkahi bagian pertama, kedua, ketiga, keempat, hingga bagian ke lima, pembaca akan disambut dengan judu sub bab, yang saya rasa akan mengusik siapa saja yang pernah mencintai seseorang tanpa memberitahu atau mengungkapkan perasaannya tersebut, atau yang saat ini lebih sering kita dengar dengan sebutan mencintai dalam diam. 

Sub bab kelima ini berjudul "Risiko Jatuh Cinta Diam-diam", sebuah judul sub bab yang menarik dan akan menyambut pembaca buku ini. Paragraf-paragraf awal dalam bab kelima ini, akan mengusik ketenangan siapa saja yang sudah memutuskan untuk mencintai seseorang secara diam-diam. 

Pada kalimat-kalimat yang membentuk paragraf-paragraf awal dalam sub bab ini, pembaca yang sempat mencintai seseorang secara diam-diam, bisa saja terusik bahkan hingga merasa dihina habis-habisan. 

Namun setelah ketenangan itu terusik, mereka yang membaca sub bab ini dan yang pernah mencintai seseorang diam-diam, kemudian akan diobati dengan kalimat-kalimat yang membentuk paragraf-paragraf akhir dalam sub bab ini. 

Sebab dalam paragraf-paragraf akhir sub bab ini, Alvi Syahrin menguraikan berbagai hal yang akhirnya bisa diperoleh dan dirasakan oleh seseorang, usai mencintai seseorang dalam diam. Terdapat salah satu bagian yang paling saya sukai dari sub bab ini, sebuah paragraf singkat yang dibentuk oleh dua kalimat.

"You've just saved your heart, and it's the most beautiful thing you've ever done to yourself. One day, you'll teach your kids this lesson"

"Kamu telah menyelamatkan hatimu, dan ini adalah hal terindah yang pernah kamu lakukan dalam hidup. Suatu hari, kamu akan mengajari anak-anakmu pelajaran ini", dua kalimat yang menjadi pemisah yang indah di sub bab ini.

Setelah melewati banyak bagian, tibalah kita pada bagian atau sub bab terakhir, yang berjudul "Istirahatlah". Bagi saya yang telah membaca seluruh bagian dari buku ini, bagian atau sub bab terakhir ini, menjadi bagian yang seolah-olah dapat mengobati perjalanan saya sepanjang membaca buku ini. Perjalanan yang membawa saya berulang kali harus membuka luka-luka, dan mengobatinya, namun tidak sembuh secara sempurna. Bagian terakhir ini, menjadi bagian yang menutup dan mengobati luka saya secara sempurna. Bahkan menurut saya, kalimat-kalimat yang membentuk paragraf-paragraf dalam buku ini seperti mengandung keajaiban tersendiri.

Bagian terakhir dari buku ini, akan membawa dan mengajarkan kepada pembacanya untuk menyadari hal-hal kecil yang masih bisa dirasakan dan  disyukuri ditengah pelik dan rumitnya hidup. Hal-hal kecil yang bisa dijadikan alasan untuk tidak berhenti, untuk terus melangkah dan melaju.

Demikian sedikit ulasan saya mengenai buku "Jika Kita Tak Pernah Jatuh Cinta", yang saya rasa sangat kayak dibaca oleh siapa saja, terutama mereka yang mulai jenuh dan kewalahan dalam menghadapi hal-hal dan hari-hari dalam hidup.

Terima kasih!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun