Nah cerita seru dimulai setelah melewati gerbang Kawah Ijen. Di sana kami melewati bukit dan hutan sepanjang jalan. Gelap tanpa cahaya lampu.
Gue menyarankan jika kalian kesana dengan mobil pribadi, cek kendaraan dan bensin harus full ya. Medan jalan sebenarnya tidak terlalu sulit, tapi cukup membuat gue tegang karena banyak tanjakan dan belokan tajam. Jangan heran jika kendaraan menuju Kawah Ijen begitu ramai dan penuh. Maklum ini memang satu satunya jalan dari daerah Licin.
Sesampainya di parkiran, sekitar pukul 01.00 wib, cuaca begitu dingin kebayangkan tengah malam berada di dataran tinggi sampai gue tidak berani keluar mobil. FYI, di parkiran banyak orang yang tidak ikut menanjak karena tidak kuat medan. Jadi sebagian dari mereka mendirikan tenda sambil menunggu kerabat atau rombongan mereka kembali pada pagi hari.
Fasilitas disana ada pos penjagaan, aula, toilet, warung mie instan, makanan serta mushola. Setelah satu jam, kami memutuskan untuk mulai menanjak. Saking dinginnya gue memilih untuk membeli sarung tangan. Jadi buat kalian yang ingin ke Kawah Ijen, pastikan jaket tebal, kupluk atau topi rajut, sepatu yang nyaman, sarung tangan jika dibutuhkan, dan jangan diabaikan bawa air putih.
Perjalanan dimulai. Ratusan orang dari berbagai negara pun mulai berjalan ke Kawah Ijen. Malam itu yang gue lihat selain dari Indonesia, ada juga pengunjung dari Arap, India, Korea, Cina dan beberapa negara lain, bahkan gue melihat teman bule satu homestay hahaha. Lima belas menit kemudian, gue merasa begitu gerah karena jalan menanjak.
Dalam hati, gue merasa “katanya dingin, mana, gerah gini kok” dan gue mulai membuka jaket karena merasa gerah. Angin sepoi-sepoi yang sejuk membuat gue merasa nyaman dengan membuka jaket. Memang ya kalau berada di tempat baru tidak boleh berucap sembarangan bahkan dalam hati pun. Setelah 10 menit perjalanan, gue mulai merasa dingin.
Jaket kembali gue pakai dengan benar. Lalu gue merasa langkah mulai berat, badan panas dingin, mata kunang-kunang, dan mulai menguap terus-terusan. Disitu gue bilang ke teman gue jika gue merasa kurang enak badan. Kamipun berhenti 15 menit sambil minum air putih yang banyak. Karena teman gue sudah pengalaman dengan kondisi begini, dia selalu mengajak ngobrol sampai hal yang tidak penting.
Temen gue sampai bilang, “gue gak mau bawa pulang mayat ya”. Jahat sii hahaha. Tapi memang harus begitu kali ya biar gue sadar penuh. Trik ini digunakan agar gue tidak kehilangan kesadaran.
Jujur ya, disitu gue merasa kaya orang mabok, mata terbuka setengah sambil senyum-senyum dengerin temen gue cerita mengalihkan perhatian ke gue biar gue tetep sadar. Jika malam itu gue semenit aja tutup mata, udah lewat deh gue. Bersyukurnya gue masih bisa mengendalikan diri. Seharusnya, diawal gue tidak boleh membuka jaket dalam kondisi apapun. Segerah apapun kalian waktu mendaki, jangan sampai membuka jaket agar tidak masuk angin.
Lima belas menit kemudian, ketika gue sudah mulai sadar sepenuhnya dan bisa berdiri, kami melanjutkan perjalanan. Perjalanan kurang lebih 1.5 – 2 jam. Sampai di atas, entah menit keberapa, mulai terdengar badai. Angin gemuruh. Jadi wajar jika kalian nanti kena butiran debu.
Oh iya, lupa tadi belum cerita soal medan pendakian. Ini berbeda dengan medan di gunung yang hanya bisa dilalui oleh 1 atau 2 orang. Di Kawah Ijen, jalannya lumayan luas, namun menanjak.