Mohon tunggu...
Hesti Edityo
Hesti Edityo Mohon Tunggu... Administrasi - Guru

Seorang ibu dari 4 lelaki hestidwie.wordpress.com | hesti-dwie.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyusuri Jejak Kejayaan Kesultanan Banten (Bagian 1)

26 Juli 2012   22:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:35 5387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bicara tentang Banten, tidak selalu identik dengan jawara, debus, dan masyarakat kelas bawah yang sering dijadikan obyek acara stasiun televisi. Banten juga memiliki jejak-jejak kejayaan di masa lalu yang masih bisa disaksikan hingga kini.

Kesultanan Banten, sebuah kerajaan Islam yang didirikan di atas puing-puing bekas kerajaan Sunda-Hindu yang bernama Wahanten Girang atau Banten Girang. Masuknya pengaruh Islam di wilayah Banten tidak lepas dari kedatangan Sunan Gunung Jati ataudikenal juga dengan nama Syech Syarif Hidayatullah. Beliaulah penguasa pertama Kesultanan Banten yang tidak menasbihkan diri menjadi sultan dan memilih menyerahkan tampuk kesultanan kepada putra beliau, Maulana Hasanuddin yang juga menantu dari Sultan Trenggono dari Demak. Sebagai sultan, Maulana Hasanuddin bergelar Maulana Hasanuddin Panembahan Surosowan.

[caption id="attachment_189950" align="aligncenter" width="640" caption="Bagian dari Pelabuhan Karangantu yang merupakan pelabuhan lokal sejak jaman Kesultanan Banten (dok. pribadi)"][/caption] Kesultanan Banten mulai berkembang pesat, terutama bidang perdagangan, pada masa kepemerintahan Maulana Yusuf (bergelar Maulana Yusuf Panembahan Pakalangan Gede), putra dari Maulana Hasanuddin. Banten kemudian dikenal sebagai kerajaan yang maju pesat tidak hanya dalam bidang perdagangan, juga dikenal sebagai kerajaan maritim yang banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari Melayu, Benggala, Gujarat, Cina, Arab, Turki, Persia, Belanda, Portugis, dan pedagang-pedagang dari wilayah Nusantara. Puncak kejayaan Banten sendiri terjadi pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (bergelar Sultan Ageng Tirtayasa Abul Fath Abdul Fattah).

Kejayaan Kesultanan Banten juga terekam melalui tata kota dan arsitektur bangunan, yang tertata apik dan termasuk maju pada jamannya. Mulai dari bekas keraton, masjid, vihara, pelabuhan, benteng, hingga sistem irigasi yang termasuk canggih pada jaman tersebut. Meskipun, sebagian peninggalan ini hanya merupakan runtuhan atau puing-puing yang kurang terurus. Berikut adalah hasil penyusuran jejak kejayaan Banten di masa silam.

[caption id="attachment_189951" align="aligncenter" width="480" caption="Pintu gerbang timur benteng Keraton Surosowan (dok. pribadi)"]

1343332199275662026
1343332199275662026
[/caption]

Keraton Surosowan

Istana kesultanan ini diperkirakan dibangun pada abad ke-16, dan menjadi pusat pemerintahan yang dikelilingi sebuah benteng kokoh yang kini berada di wilayah Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Benteng yang mengelilingi keraton, pada awalnya memiliki tiga pintu utama (kini hanya dua), yaitu gerbang utara, timur, dan selatan. Gerbang timur dan utara dibuat dalam bentuk lengkung, untuk mencegah penembakan langsung ke dalam komplek benteng manakala gerbang dibuka. Material utama bangunan benteng dan keraton, sebagaimana juga menjadi material bangunan-bangunan lain pada masa itu terdiri atas komponen utama batu bata dan batu karang. Hal ini tergambar dari kalimat gawe kuta bata kalawan kawis (membangun kota dengan batu bata dan batu karang).

Saat ini keraton Surosowan hanya berupa puing-puing yang nampak kurang terurus. Kehancuran keraton Surosowan sendiri terjadi sejak jaman penjajahan Belanda dalam beberapa fase. Penghancuran keraton terparah pada jaman kekuasaan Daendels pada tahun 1813, dan membuat para penghuninya meninggalkan keraton.

Jembatan Rante

[caption id="attachment_189966" align="aligncenter" width="640" caption="Salah satu bagian dari jembatan Rante (dok. pribadi)"]

1343334063200342422
1343334063200342422
[/caption] Jembatan ini terletak di sebelah utara keraton Surosowan dan dimaksudkan sebagai "pintu pajak" yang dibangun di atas kanal kota Banten Lama. Disebut sebagai jembatan rantai, karena bagian jembatan ini dapat dinaikturunkan dengan menggunakan rantai, manakala ada kapal atau perahu yang melintas di atas kanal. Sayangnya keberadaan jembatan Rante saat ini sedikit tersembunyi, tertutup lapak-lapak para pedagang yang memang banyak tersebar di sekeliling situs keraton dan Masjid Agung. Belum lagi kondisi lingkungan di sekeliling situs yang terkesan kumuh dan jorok dengan tumpukan sampah dan kanal yang kini mengering.

[caption id="attachment_189969" align="aligncenter" width="640" caption="Jembatan Rante dari sisi lain dengan tumpukan sampah di sekeliling (dok. pribadi)"]

13433342201324886813
13433342201324886813
[/caption]

Masjid Agung Banten

Sebagai kerajaan Islam atau kesultanan, tentunya salah satu bentuk peninggalannya adalah tempat ibadah, yaitu masjid. Masjid Agung Banten berada tidak jauh dari areal benteng keraton dan jembatan Rante. Bangunan masjid ini masih utuh dan sukup terawat dibandingkan peninggalan-peninggalan lainnya. Dari pendapat-pendapat yang beredar, meskipun Belanda ketika itu berusaha keras menduduki Banten, Belanda hanya menyerang dan menghancurkan pusat kepemerintahan dan perdagangan, tetapi tempat-tempat ibadh dibiarkan tetap berdiri.

Dalam komplek masjid terdapat beberapa bangunan lain, seperti kolam, makam, menara, istiwa (penunjuk waktu shalat berbasis waktu matahari), dan beberapa bentuk bangunan lain. Fungsi dari kolam yang terdapat di komplek masjid adalah sebagai tempat bersuci (wudhu) pada jaman dahulu (kini tidak digunakan lagi untuk berwudhu), dan terletak di sisi timur serambi depan masjid. Air kolam berasal dari kanal yang tidak jauh dari masjid. Sumber air diambil dari kanal sisi selatan, sedangkan pembuangannya melalui kanal sisi utara. Di sisi selatan masjid, terdapat area pemakaman yang terdiri atas 15 makam, dimana salah satunya merupakan makam dari Sultan Maulana Muhammad yang gugur di usia 25 tahun saat penyerbuan ke Palembang.

Lazimnya masjid-masjid masa silam, dimana banyak masjid yang memiliki menara, begitu pula pada masjid Agung  Banten. Mengutip penjelasan dari Ma'rufin Sudibyo, kompasianer yang mendalami ilmu falak dan astronomi pada akun facebooknya, keberadaan menara pada masjid jaman dahulu difungsikan sebagai tempat mengumandangkan adzan, sebagai tempat observasi pergerakan benda langit, misalnya, untuk mengamati cahaya senja dan cahaya fajar, juga sebagai tempat observasi hilaal untuk menentukan awal bulan hijriyah. Selain menara, keberadaan masjid jaman dahulu juga dilengkapi dengan jam matahari untuk penunjuk waktu shalat yang dalam bahasa Arab disebut sebagai mizwala (atau istiwa).

[caption id="attachment_189978" align="aligncenter" width="480" caption="Komplek Masjid Agung Banten dan menara masjid difoto dari halaman Musium Situs Banten Lama (dok. pribadi)"]

13433391282054647517
13433391282054647517
[/caption]

Menara masjid Agung Banten terletak di sisi timur masjid dengan ketinggian 23 m dari permukaan tanah. Pintu menara terdapat di sisi utara bangunan, dan untuk mendaki hingga ke bagian atas menara terdapat lorong tangga yang dibuat melingkar dan lumayan membuat nafas terengah-engah jika tidak terbiasa.

Masjid Pacinan Tinggi

[caption id="attachment_189980" align="aligncenter" width="518" caption="Menara Masjid Pacinan Tinggi dan bekas mihrab di kejauhan (dok. pribadi)"]

13433405401117579848
13433405401117579848
[/caption] Selain masjid Agung, terdapat pula beberapa masjid-masjid lain. Satu diantaranya adalah masjid Pacinan Tinggi. Disebut sebagai Pacinan, karena dibangun di area pemukiman Cina yang memang sudah banyak menetap di Banten pada era kesultanan. Masjid yang hanya tersisa puing-puing berupa mihrab dan menara ini terletak di Desa Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang. Pada bagian dalam menara, terdapat jejak bekas anak tangga berbentuk persegi. Tak jauh dari menara, terdapat sebuah gundukan menyerupai bukit kecil yang merupakan makam Cina. Konon, makam tersebut adalah makan sepasang suami istri yang dimungkinkan sebagai pemuka agama Islam (Imam/Ustadz) keturunan Tionghoa. Sejauh ini, penulis belum mengetahui secara pasti sebab musabab hancurnya masjid ini, yang merupakan masjid pertama yang dibangun oleh Syarif Hidayatullah dan dilanjutkan pembangunannya pada masa Maulana Hasanuddin (sumber Disbudpar Banten).

[caption id="attachment_189981" align="aligncenter" width="480" caption="Bagian mihrab masjid Pacinan yang tersisa (dok. pribadi)"]

13433407381062631744
13433407381062631744
[/caption] [caption id="attachment_189982" align="aligncenter" width="480" caption="Gundukan tanah menyerupai bukit kecil yang merupakan makam keturunan Tionghoa (dok. pribadi)"]
13433415201873588856
13433415201873588856
[/caption]

Sisi lain dari peninggalan kesultanan Banten tidak hanya tempat beribadah umat muslim (masjid), tetapi juga tempat beribadah umat Budha (vihara) yang hingga kini masih kokoh berdiri dan sedang direnovasi. Ada cerita romansa yang cukup menarik terkait dengan keberadaan vihara yang letaknya tak jauh dari masjid Pacinan dan benteng Speelwijk, yang akan ditulis pada bagian ke-2. Juga penjelasan tentang sistem irigasi dan penyaringan air yang tergolong maju pada jamannya.

***

Referensi dan sumber tulisan :

Buku Ragam Pusaka Budaya Banten, Dinas Pendidikan Provinsi Banten bekerja sama dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP-3) Serang

Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Banten

Musium Situs Kepurbakalaan Banten Lama

Tuturan lisan masyarakat sekitar

Tulisan ini disertakan pada Weekly Photo Challenge : Journalism Photography

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun