Mohon tunggu...
Hesti Edityo
Hesti Edityo Mohon Tunggu... Administrasi - Guru

Seorang ibu dari 4 lelaki dan seorang guru Fisika yang menyukai sastra. hestidwie.wordpress.com | hesti-dwie.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Biaya Pendidikan : Dilema yang Tak Kunjung Usai

3 Juni 2011   03:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:55 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"Saya malas nerusin sekolah, Bu. Buang-buang duit. Udah bayarnya mahal, belum tentu lulusnya langsung dapat kerja. Mendingan duitnya buat beli angkot, bisa buat cari duit!"

Kalimat ini terucap dari seorang sopir yang angkotnya saya carter sekitar 2 tahun yang lalu. Saya ingat betul kalimat ini, karena betul-betul membuat saya terhenyak ternyata ada orang yang memiliki anggapan demikian.

Bagi si sopir angkot sekolah dianggapnya sebagai sesuatu yang mubazir! Ya, meski saya akui wajar sopir angkot dan mungkin sebagian masyarakat kita beranggapan demikian. Biaya sekolah mahal dan tak ada jaminan pekerjaan yang pasti di negeri ini. Sesuatu yang akhirnya dianggap sebagai hal yang sia-sia, karena mereka melihat fakta seorang sarjana pun banyak yang menganggur. Bersekolah dianggap sebagai sesuatu yang membuang waktu jika ujung-ujungnya antara yang sekolah dan tidak, toh mendapatkan pekerjaan yang sama. Atau yang lebih parah, menganggur bersama! Rugi dong, jika sudah keluar banyak uang untuk bersekolah tapi pada akhirnya menganggur. Ingat, sebagian besar masyarakat kita masih berharap latar belakang akademis bisa membantunya mendapatkan pekerjaan yang layak.

Begitu pula yang tertanam dalam benak seorang siswa saya yang menggantungkan cita-citanya setinggi langit. Dia berharap bisa mengangkat taraf hidup keluarganya dengan pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikannya. Cita-cita yang sepenuhnya saya apresiasi, karena saya tahu betul kondisi perekonomian keluarganya yang bisa dikategorikan tidak mampu. Siswa saya yang cerdas ini, diterima di jurusan Teknik Kimia sebuah PTN melalui jalur PMDK. Satu hal yang membuat saya trenyuh adalah, keinginannya untuk terus mengenyam pendidikan ditentang oleh orang tuanya. Apa lagi yang jadi masalahnya kalau bukan BIAYA. Orang tuanya lebih berharap agar dia segera mencari pekerjaan, daripada dipusingkan dengan biaya kuliah yang entah darimana.

Biaya sekolah memang menjadi polemik dalam dunia pendidikan yang bersifat dilematis. Di satu sisi masyarakat mengharapkan biaya yang murah. Di sisi lain sekolah dituntut untuk meningkatkan kualitas yang tentunya berkolerasi dengan anggaran. Fasilitas pendukung belajar yang terdapat di sekolah tidaklah murah. Buku, contohnya. Tidak semua siswa mampu membeli dan tidak semua sekolah mampu menyediakan. Lho, bukannya ada BSE (Buku Sekolah Elektronik) yang bisa diakses secara gratis dan relatif lebih murah? Lebih murah bagi mereka yang mampu, dan tetap mahal bagi mereka yang tidak mampu. Biaya print out dan fotokopi tidak turun begitu saja dari langit bukan? Apakah pemerintah juga menyediakan anggaran untuk print out dan fotokopinya? Asal tahu saja, untuk sekolah negeri tidak semua biaya operasionalnya ditanggung pemerintah. Apalagi pembiayaan ini diserahkan kepada kemampuan pemerintah daerah. Untuk daerah dengan PAD kecil, anggaran yang diberikan pun tak seberapa.

[caption id="attachment_111793" align="aligncenter" width="432" caption="Fasilitas Sekolah vs Biaya"][/caption]

Alokasi pembangunan gedung sekolah tak jarang pula bak kue yang jadi rebutan. Jika tak pandai 'menjemput bola' gigit jarilah kita karena tak kebagian. Belum lagi tak jarang dana tersebut disunat di sana sini. Sampai kapan sebuah sekolah bisa melengkapi fasilitas pendukung jika seperti ini? Itulah sebabnya, tak jarang sebuah sekolah negeri akhirnya membebankan anggaran ini kepada peserta didik. Tak jarang tindakan ini mendapatkan kritis keras dari masyarakat, "katanya negeri, tapi kok mahal?" Nah, lho....

Sering tetangga kiri kanan saya menanyakan hal demikian, "kok masuk sekolah anu yang negeri biayanya sama dengan yang swasta? Sekalian aja masuk swasta kalau begitu, mutunya juga nggak beda jauh..."

Ya, jangan heran jika sekarang terjadi pergeseran paradigma. Dulu, jaman saya masuk SMA tahun 90-an, bangga rasanya jika bisa diterima di sekolah negeri. Sudah murah, dan kualitasnya pun mayoritas lebih bagus dari sekolah swasta. Sekarang, orang lebih memilih masuk swasta yang mahal semacam boarding school dan terjamin kualitasnya, daripada masuk sekolah negeri yang juga mahal tapi kurang berkualitas. Sekolah negeri yang murah meriah dan tidak berkualitas menjadi pilihan terakhir masyarakat.

Sekolah negeri yang murah adalah sekolah pinggiran yang fasilitasnya jauuuhhh dari lengkap. Tak perlu saya mencontohkan sekolah di tempat lain. Sekolah tempat saya bertugas pun demikian. Bisa dikatakan sebagai sekolah negeri termurah di tingkat kabupaten, itupun masih banyak masyarakat yang mengeluh tidak mampu membayar. Sekolah sendiri tidak dapat berbuat banyak, jangankan memberi keringanan soal biaya, tak jarang untuk sarana ATK saja sekolah kami menghutang.

Sejujurnya saya masih sangat berharap, suatu saat nanti pemerintah bisa memberikan anggaran lebih untuk kelengkapan sarana dan peningkatan kualitas sekolah-sekolah negeri ini. Jangan bebankan kelengkapan sarana pada masyarakat semata. Jika pemerintah sanggup melengkapi sarana anggota dewan yang tak jarang hanya sekedar pemanis ruangan saja, kenapa tidak digunakan untuk melengkapi sarana sekolah-sekolah di negeri ini? Saya yakin akan lebih bermanfaat bagi generasi kita. Setidaknya masalah peningkatan kualitas pendidikan yang sangat kompleks sedikit terpecahkan.

Salam harap!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun