Mohon tunggu...
Hesti Edityo
Hesti Edityo Mohon Tunggu... Administrasi - Guru

Seorang ibu dari 4 lelaki hestidwie.wordpress.com | hesti-dwie.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Prasasti Cinta Dua Agama di Era Kesultanan Banten

9 Maret 2015   03:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:58 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menara masjid Pacinan Tinggi. (Dok. Hesti Edityo)

“Saat itu, air bah yang menggulung daratan hingga ke wilayah kesultanan, menyapu apa saja yang dilaluinya. Tapi mukjizat datang di vihara ini, air bah seolah enggan menyentuh vihara.”

[caption id="attachment_354710" align="aligncenter" width="480" caption="Sang Pandita yang tengah menceritakan sejarah vihara (dok. Hesti Edityo)"][/caption] [caption id="attachment_354711" align="aligncenter" width="480" caption="Kisah tentang bencana letusan gunung Krakatau tahun 1883 yang tertulis dalam tiga bahasa. (Dok. Hesti Edityo)"]

1425843044411403971
1425843044411403971
[/caption] Kalimat tersebut terucap dari salah seorang pandita di hadapan puluhan siswa berseragam putih abu, yang siang itu tengah berkunjung ke vihara Avalokitesvara, Serang, Banten. Sang pandita begitu semangat menceritakan bencana alam yang melanda di tahun 1883, saat gunung Krakatau meletus dan tsunami mengguyur daratan di sekitarnya. Kisah yang juga diabadikan dalam tulisan berbingkai di salah satu dinding vihara ini, mengingatkan kisah serupa saat tsunami melanda Aceh. Bedanya, bukan vihara, tetapi masjid-masjid di Aceh yang selamat dari kepungan air bah dari laut. Kisah tempat ibadah, yang diyakini sebagai tempat suci, apapun agamanya, adalah kisah nyata yang menyadarkan kita, sejatinya agama mengajarkan tentang kebaikan dan kesucian. Pemeluk agama yang sesungguhnya adalah yang mampu menjaga kesucian hati. [caption id="attachment_354712" align="aligncenter" width="300" caption="Catatan letusan gunung Krakatau dan mukjizat yang terjadi pada vihara, dimana salah satunya tertulis dalam bahasa Indonesia. (Dok. Hesti Edityo)"]
1425843356518495773
1425843356518495773
[/caption]

[caption id="attachment_354713" align="aligncenter" width="480" caption="Bagian relief di salah satu lorong, yang menceritakan sejarah vihara, Putri Ong Tien dan Sunan di masa lalu. (Dok. Hesti Edityo)"]

1425843670951327559
1425843670951327559
[/caption] [caption id="attachment_354714" align="aligncenter" width="360" caption="Lorong dengan dinding-dinding berhiaskan relief catatan sejarah. Abaikan bocah imut di tengah lorong ;) (Dok. Hesti Edityo)"]
14258438652130294608
14258438652130294608
[/caption]

Menceritakan sejarah berdirinya vihara Avalokitesvara ini, tak lepas dari sejarah Kesultanan Banten itu sendiri. Sekitar abad ke 16, terdapat serombongan saudagar tionghoa yang tengah melakukan perjalanan menuju Surabaya, seperti dikisahkan oleh pandita vihara pada kami. Rombongan yang kehabisan bekal ini, memutuskan untuk singgah di kesultanan Banten. Salah satu anggota rombongan, Putri Ong Tien, rupanya memikat hati Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, yang saat itu merupakan penguasa Kesultanan Banten. Budaya keislaman yang sudah mengakar kuat di masyarakat Banten kala itu, memunculkan gesekan sosial di masyarakat. Apalagi, konon sebagian dari rombongan tionghoa ini memutuskan untuk memeluk Islam dan sebagian lain tetap bertahan dengan keyakinannya sebagai umat Buddha. Singkat cerita, untuk meredakan suasana, sang sunan memutuskan untuk membangun dua tempat ibadah, yaitu, vihara Avalokitesvara untuk umat Buddha, dan masjid Menara Tinggi atau lebih dikenal dengan nama masjid Pacinan Tinggi untuk umat Islam.

[caption id="attachment_354715" align="aligncenter" width="480" caption="Altar utama, dengan patung Dewi Kwan Im yang didatangkan langsung dari Tiongkok. (Dok. Hesti Edityo)"]

1425844080295528314
1425844080295528314
[/caption] [caption id="attachment_354717" align="aligncenter" width="480" caption="Satu dari belasan altar kecil yang memiliki fungsi masing-masing. (Dok. Hesti Edityo)"]
1425844195806604084
1425844195806604084
[/caption]

Vihara Avalokitesvara masih terpelihara dengan baik dan masih digunakan sebagai tempat ibadah hingga kini dan beberapa kali mengalami renovasi tanpa mengubah struktur asli bangunan. Vihara ini memiliki satu altar utama, dimana di altar ini terdapat patung Dewi Kwan Im, yang didatangkan langsung dari Tiongkok dan merupakan peninggalan Dinasti Ming. Selain altar utama, terdapat beberapa altar kecil yang memiliki fungsi masing-masing. Ada altar untuk tolak bala, misalnya. Di belakang bangunan utama vihara, terdapat dua pohon Bodi berumur ratusan tahun, yang bibitnya pun dahulu didatangkan dari Tiongkok.

[caption id="attachment_354718" align="aligncenter" width="480" caption="Salah satu dari dua pohon Bodi yang sudah berusia ratusan tahun. (Dok. Hesti Edityo)"]

1425844289430005590
1425844289430005590
[/caption] [caption id="attachment_354719" align="aligncenter" width="480" caption="Salah satu sudut selasar di belakang bangunan utama dengan hiasan lukisan yang mengisahkan legenda ular putih. (Dok. Hesti Edityo)"]
1425844377342239041
1425844377342239041
[/caption] [caption id="attachment_354720" align="aligncenter" width="480" caption="Vihara Avalokitesvara, berada di sini bagai berada di era Dinasti Ming. (Dok. Hesti Edityo)"]
1425844531525982814
1425844531525982814
[/caption] [caption id="attachment_354721" align="aligncenter" width="480" caption="Sisi luar Vihara Avalokitesvara Banten (Dok. Hesti Edityo)"]
14258446711140314908
14258446711140314908
[/caption]

Bagaimana dengan kondisi masjid Pacinan Tinggi? Berbeda 180° dengan vihara Avalokitesvara, masjid Pacinan Tinggi tampak tak terurus dan hancur. Hanya tersisa sebuah bangunan mihrab dan sebuah menara. Ironis, di tengah kondisi masyarakat yang begitu lekat dengan nuansa islami, keberadaan masjid ini justru mengenaskan nasibnya. Apa yang menyebabkan kehancuran masjid? Friksi sosial yang muncul di amsyarakat kala itukah? Atau dihancurkan oleh Belanda seperti halnya keratin Surosowan? Entahlah. Tak ada catatan sejarah yang pasti tentang hal ini.

[caption id="" align="aligncenter" width="233" caption="Menara masjid Pacinan Tinggi. (Dok. Hesti Edityo)"]

Menara masjid Pacinan Tinggi. (Dok. Hesti Edityo)
Menara masjid Pacinan Tinggi. (Dok. Hesti Edityo)
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="360" caption="Bagian sisa-sisa mihrab masjid Pacinan Tinggi (Dok. Hesti Edityo)"]
Bagian sisa-sisa mihrab masjid Pacinan Tinggi (Dok. Hesti Edityo)
Bagian sisa-sisa mihrab masjid Pacinan Tinggi (Dok. Hesti Edityo)
[/caption]

Catatan dan rekaman gambar dalam artikel ini diikutsertakan dalam Kampret Jepret Bulanan (Kampret Jebul 3). Untuk melihat rangkaian karya dari Kompasianers lainnya silakan kunjungi artikel Kampret Jebul : Kebudayaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun