Nama : Hesti Dwi Lestari
Nim : 222111117
Kelas : HES 5C
Kasus :
Konflik tanah di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, muncul akibat proyek strategis nasional Rempang Eco City. Masyarakat adat di pulau tersebut mengklaim hak atas tanah yang telah mereka huni selama lebih dari 200 tahun, namun pemerintah memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan pada tahun 2001-2002 tanpa pengelolaan yang jelas. Tumpang tindih kepemilikan tanah terjadi karena batas penguasaan yang tidak jelas antara BP Batam dan tanah adat. Ketika masyarakat adat diminta meninggalkan pulau untuk proyek tersebut, mereka merasa dikhianati dan tidak mendapatkan keadilan, menimbulkan rasa kecewa dan kemarahan.
Analisis Hukum Positivisme dan Mazhabnya
1.Filsafat Hukum Positivisme:
Hukum dianggap sah jika dihasilkan oleh otoritas yang diakui, terpisah dari nilai moral atau sosial. Dalam kasus Pulau Rempang, pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan oleh pemerintah adalah contoh penerapan hukum positivis yang sah secara formal.
2.Mazhab Hukum Positivisme:
Klasik: Menekankan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Pemberian HGU oleh pemerintah dianggap sah.
Kontemporer: Menyoroti pentingnya norma hukum dalam hierarki. Meskipun HGU sah, pengabaian hak masyarakat adat menunjukkan bahwa hukum positivis tidak selalu mencerminkan keadilan.
3.Tumpang Tindih Kepemilikan:
Hukum positivis tidak mengakui kepemilikan sosial yang kuat di kalangan masyarakat adat, yang menyebabkan konflik meskipun secara hukum HGU dianggap valid.
4.Persoalan Keadilan:
Hukum positivisme sering di kritik karena mengabaikan keadilan sosial. Proses hukum yang benar tetap dapat menghasilkan ketidakpuasan jika hak-hak masyarakat tidak diakui.
5.Kesimpulan:
Hukum yang sah secara formal tidak selalu menciptakan keadilan. Solusi untuk konflik di Pulau Rempang memerlukan integrasi antara hukum positif dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat untuk mencapai keadilan yang lebih inklusif.
Argumen tentang Mahzab Hukum Positivisme dalam hukum di Indonesia
Mazhab hukum positivisme memiliki pengaruh signifikan dalam perkembangan dan penerapan hukum di Indonesia. Positivisme menekankan bahwa hukum adalah produk dari otoritas yang sah, yang tercermin dalam sistem hukum Indonesia yang diatur oleh undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif. Hal ini memberikan kepastian hukum, dengan adanya kitab undang-undang sebagai rujukan utama yang memudahkan masyarakat memahami hak dan kewajiban mereka. Selain itu, positivisme memisahkan hukum dari nilai-nilai moral, memungkinkan penerapan hukum secara objektif meskipun terkadang menimbulkan kritik terkait kurangnya perhatian terhadap keadilan sosial. Hukum positivis juga memungkinkan adanya perubahan dan reformasi hukum sesuai dengan perkembangan masyarakat, seperti pengesahan undang-undang baru yang mencerminkan perubahan sosial dan teknologi. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam mengintegrasikan hukum adat dan menjaga keadilan sosial, menunjukkan bahwa meskipun hukum positif memiliki kekuatan, penting untuk mengakui nilai-nilai lokal agar dapat mencapai keadilan yang lebih holistik di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H