Mohon tunggu...
hesti anindya
hesti anindya Mohon Tunggu... Penulis - masih sekolah

hobinya nulis nulis random

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sila Kedua Pancasila di Era Post-Truth: Tantangan dan Solusi di Tengah Disinformasi

22 September 2024   20:57 Diperbarui: 23 September 2024   18:43 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Era Post-Truth; Sumber new.yesdok.com

Secara etimologis, Pancasila berasal dari bahasa Sanskerta, di mana "panca" berarti lima dan "sila" berarti prinsip atau dasar. Oleh karena itu, Pancasila dapat diartikan sebagai "lima prinsip" yang menjadi pedoman bagi seluruh rakyat Indonesia dalam berkehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila, yang merupakan dasar negara Indonesia, terdiri dari lima sila.

Salah satu sila Pancasila yaitu Sila Kedua berbunyi: "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Dalam konteks ini, sila ini bertujuan untuk mempromosikan keadilan dan keadaban dalam masyarakat. Maksudnya adalah setiap individu di negara Indonesia memiliki hak asasi manusia yang tidak dapat diganggu gugat oleh pihak lain. Sila ini menekankan pentingnya menghargai dan menghormati derajat orang lain serta persamaan hak dan kewajiban asasi dari setiap manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan hal-hal berbeda lain yang dimiliki oleh setiap orang.

Ilustrasi kemanusiaan yang adil dan beradab; Sumber rawpixel.com 
Ilustrasi kemanusiaan yang adil dan beradab; Sumber rawpixel.com 

Membahas tentang Pancasila, khususnya sila ke-2 dalam konteks era post-truth dan kebebasan informasi, ada hubungan yang kuat dengan bagaimana manusia memperlakukan kebenaran dan sesamanya.

Era Post-truth adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana kebenaran tidak lagi menjadi dasar utama dalam diskusi publik. Era post-truth ditandai oleh dominasi keyakinan pribadi dan emosi di atas fakta objektif. Dalam kondisi ini, informasi yang tidak terverifikasi atau hoaks dapat dengan mudah menyebar, terutama melalui media sosial. Hal ini menciptakan tantangan serius bagi masyarakat dalam membedakan antara kebenaran dan kebohongan. Penyebaran berita bohong sering kali berkaitan dengan isu sosial dan politik, yang dapat memicu polarisasi dan konflik di masyarakat. Data menunjukkan bahwa sekitar 91,8% hoaks yang beredar berkaitan dengan isu sosial politik. Media sosial menjadi sarana utama penyebaran informasi ini, mengaburkan batas antara kebenaran dan kebohongan, serta menimbulkan polarisasi di masyarakat.

Polemik mengenai Sila Kedua muncul dalam konteks di mana identitas nasional dan nilai-nilai kemanusiaan terancam oleh politik identitas yang sering kali memanfaatkan situasi post-truth. Dalam banyak kasus, isu-isu yang berkaitan dengan agama dan etnisitas digunakan untuk membangun narasi yang dapat memecah belah masyarakat. Hal ini bertentangan dengan semangat Sila Kedua yang menekankan keadilan dan penghormatan terhadap martabat manusia.

Sila Kedua menekankan pentingnya menghargai hak asasi manusia dan memperlakukan setiap individu dengan adil. Di era post-truth, di mana hoaks dan disinformasi merajalela, prinsip keadilan menjadi terancam. Ketidakadilan dapat muncul ketika informasi yang salah mempengaruhi opini publik, menyebabkan stigma atau diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Kebijakan publik seringkali dibentuk berdasarkan opini dan pandangan yang tidak didukung oleh bukti ilmiah atau fakta. Era post-truth seringkali melibatkan penipuan dan manipulasi informasi. Hal ini mengancam kebebasan informasi yang merupakan prinsip penting dalam demokrasi. Kebebasan informasi memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan memahami isu-isu yang relevan.

Masyarakat yang terdidik dan memiliki akses ke informasi yang akurat lebih mungkin untuk memahami isu-isu yang kompleks dan membuat keputusan yang bijak. Namun, dalam era post-truth, masyarakat seringkali terombang-ambing oleh informasi yang tidak akurat, sehingga mereka sulit untuk menemukan kebenaran. Dalam konteks Sila Kedua, membela kebenaran dan keadilan berdasarkan fakta adalah esensial. Masyarakat perlu dilatih untuk mengedepankan akal sehat dalam mencerna informasi, sehingga mereka dapat menolak hoaks dan mendukung narasi yang adil. Hal ini sejalan dengan upaya untuk memperkuat literasi media agar masyarakat mampu memilah informasi yang benar dan bermanfaat.

Ilustrasi fake news; Sumber bappeda.jatengprov.go.id
Ilustrasi fake news; Sumber bappeda.jatengprov.go.id

Untuk melawan dampak negatif dari era post-truth, diperlukan tindakan kolektif yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Ini termasuk upaya pemerintah dan masyarakat untuk mengedukasi publik tentang bahaya hoaks dan pentingnya berbagi informasi yang akurat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun