Masih lekat dalam ingatan kita bagaimana ingar bingarnya pemberitaan tentang sepak terjang seorang Ahok, Wagub DKI, dalam hal penataan Pasar Tanah Abang Jakarta beberapa waktu lalu. Entah mengapa kini pemberitaan tersebut meredup. Namun, bukan soal pemberitaan itu yang menarik buat saya, tapi bahwa menata Jakarta ini tak saja butuh orang nekad dengan nyali besar-- sebut aja Ahok -- namun memerlukan hal - hal lebih dari itu.
Berbagai pemberitaan tentang gebrakan Pemprov DKI/ Ahok (untuk selanjutnya saya sebut Ahok saja ya..) dalam menata PKL, khususnya di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat tersebut , menunjukkan bahwa upaya tersebut bukanlah hal yang mudah dilakukan. Di tengah semrawutnya penataan PKL, sebagai salah satu sumber persoalan kemacetan di DKI, serta eksistensi kawasan Tanah Abang yang ditengarai "dikuasai nama - nama besar dan sulit tersentuh hukum", sikap pemprov Ahok memang menunjukkan nyali besar. Namun, menata Jakarta, termasuk kemacetan di DKI, tak cukup dengan nyali besar saja.
Ada banyak komponen pendukung yang dibutuhkan antara lain dana yang fantastik, kemauan politik keras, mental tega yang tegar, gerakan lintas sektoral terpadu dan serentak (yang harus dirumuskan secara tersistem, terstruktur, dan komprehensif), dan dukungan luar biasa dari seluruh elemen masyarakat. Selain karena manajemen di berbagai sektor sudah telanjur kacau (termasuk mentalitas), juga bakal menimbulkan korban rakyat yang banyak.
Penataan PKL yang dilakukan Ahok juga tak bisa dilakukan dalam ranah penegakan hukum yang represif saja, namun menyertakan sisi - sisi lain sebab PKL bukanlah sebuah persoalan yang berdiri sendiri. PKL adalah produk dari kebijakan yang tidak komprehensif, parsial, dan cenderung menguntungkan pihak tertentu saja.
Sebab itu, Ahok butuh dukungan, pertama, suprastruktur yang konsisten. Dalam hal ini, Pemprov DKI (seluruh elemen) harus total medukung Ahok, apalagi landasan hukumnya cukup kuat (perda yang sudah disahkan). Kedua, dukungan politik. Dalam hal ini, dukungan DPRD DKI sangat berperan karena perda tersebut merupakan produk politik DPRD dan Pemorv DKI. Ketiga, dukungan lintas instansi/departemen dan lintas stakeholder.
Dukungan ini dibutuhkan sebab gebrakan Pemprov DKI/ Ahok di satu sisi bukan tidak mungkin menimbulkan resistensi dan dimanfaatkan kelompok tertentu untuk meraih keuntungan, juga di sisi lain agar PKL tidak menjadi korban kebijakan yang berujung menyengsarakan mereka. Kesalahan PKL bukanlah berarti mereka layak "dibunuh". Dalam konteks politik, apalagi dengan suhu politik yang mulai memanas sekarang, gebrakan ini dan keberadaan PKL akan dimanfaatkan dan dieksploitasi oleh sekelompok orang untuk menaikkan citra mereka.
Dalam konteks PKL, penataan mereka tak boleh membuat PKL tersebut mati. Sebab itu harus dilakukan upaya agar periuk nasi mereka tidak terancam. Pemprov DKI dan instansi terkait harus melakukan langkah - langkah yang tidak memberatkan PKL dan tidak membunuh kehidupan mereka. Keinginan PKL juga harus diakomodasi secara bijak sehingga terjadi win- win solution antara kedua belah pihak, misalnya melakukan relokasi yang tidak memberatkan dan memberi peluang agar akses berdagang mereka menjadi luas dan mudah didatangi masyarakat.
Penataan PKL sangat penting bukan hanya bentuk konsistensi atas penegakan perda, juga mengembalikan hak masyarakat atas jalur yang mereka gunakan (pedestrian), menertibkan dan memberi kenyaman Jakarta, serta menegakkan wibawa pemerintah. Dll. Persoalan Kecil Sejumlah pihak mengatakan penertiban PKL Tanah Abang bertujuan untuk mengurai kemacetan di Jakarta. Secara umum, hal ini benar, Namun, hal ini mungkin hanyalah salah satu upaya untuk mengatasi dan mengurai kemacetan di Jakarta.
Namun upaya ini sangat kecil dan sangat tidak signifikan sama sekali dengan kemacetan DKI selama ini. Bila Pemprov DKI serius ingin mengatasi kemacetan di DKI, maka mereka harus melakukan terobosan yang strategis dan mengembalikan tata ruang sesuai peruntukkan yang ada. Misalnya, segera memperbaiki semua trotoar di Jakarta, membangun jembatan penyeberangan di lokasi yang sesuai dengan kebutuhan warga Jakarta, serta membuang pulau jalan dan taman yang tidak bermanfaat dan memakan badan jalan.
Selain itu, membangun segera system drainase dan ruang bawah tana untuk hal terkait seperti PDAM, listrik, gas, telepon, dll) sehingga tidak perlu menggali sepanjang masa. Ruang tersebut juga bisa disewakan Pemprov DKI untuk menambah PAD. Pemrov juga harus menertibkan metro mini dan sejenisnya termasuk Koantas Bima, mikrolet, bajay dll dengan menyiapkan kendaraan yang lebih manusiawi sehingga sarana transportasi tersebut pantas beroperasi di ibukota metropolitan ini. Pempriv juga harus melakukan revitalisasi Dinas Perhubungan dan Organda, membatasi kuota kendaraan yang ada di DKI dengan pembatasan tahun dan kepemilikan, memasang CCTV di seluruh jaland I DKI sekaligus untuk system tilang bagi pelanggar.
Yang tak kalah penting, keberadaan jalur busway harus dievaluasi dan ditinjau kembali karena secara factual, jalur busway justru menjadi salah satu biang kemacetan dan pelanggaran. Keberadaan busway yang dikelola swasta namun menggunakan jalan milik negara yang didanai denegan uang rakyat, jomplangnya jumlah kendaraan dengan tingkat penggunaan jalur, jumlah kendaraan yang masih sedikit, serta pengaturan jam - jam keberangkatan busway adalah hal - hal krusial yang patut ditinjau ulang, Tentu masih banyak yang harus dilakukan. Namun, intinya, menata DKI tak hanya butuh nyali besar, juga dukungan extra ordinary semua pihak.
Menata macet tak bisa parsial. Semuanya harus bergerak serentak sesuai porsi masing-masing dan dilakukan dalam rumusan yang tepat. Dishub harus mengganti rambu2 yang tak layak dan tak sesuai dengan jumlah kendaraan, serta menata kendaraan, rute, dan mental sopir yang tak layak. Polri melaksanakan gerakan hukum dan pembinaan masyarakat secara konsisten, serta tidak hanya berpikir profit oriented atau kepentingan pragmatis dan sempit semata,