Mohon tunggu...
Hesdo Naraha
Hesdo Naraha Mohon Tunggu... Freelancer - Sharing for caring by "Louve" from deep Instuisi-Ku

God Is Good All The Time 💝

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Berkabut di Pusara Ayah

8 Agustus 2024   08:14 Diperbarui: 8 Agustus 2024   08:29 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam berkabut menjadi penanda musim dingin yang belum usai. Rasanya waktu berjalan begitu cepat, cepat, cepat sekali. Namun adakah seseorang yang mampu berlari berkejaran dengan waktu itu? Mungkin ada. Tetapi tidak bagi kami yang berduka. Seandainya mampu, kami ingin bernegosiasi dengan waktu, sekadar memintanya untuk berhenti sejenak. Barang dua tiga menit saja, bolehkah?

***

Rumah kami mulai ramai dipenuhi oleh keluarga dekat. Ruang tamu, ruang keluarga, sampai mendekati ruang makan, semuanya penuh sesak manusia. Ibadah akan segera dimulai, salah seorang sepupu kami yang akan melayani ibadah malam ini. Ketika suasana beranjak tenang, aku baru menyadari bahwa Ibu tak ada di sini. Seharusnya Ibu sudah bergabung dengan yang lain sejak tadi. Namun sama sekali kehadirannya tak nampak di sini. Rupa-rupanya beberapa saudara kami yang hadir pun menyadari hal itu, sehingga mereka turut bertanya dan mencari.

Pintu kamarnya digedor beberapa kali, namun hanya suara keheningan yang menyahut. Beberapa yang mencari di ruang kerjanya, di rumah tetangga, di toko kelontong terdekat rumah, semuanya kembali jawaban yang kurang lebih sama "Katanya Ibu tidak datang kesana!". Kakakku mencoba menghubungi melalui ponselnya barangkali bisa memperoleh jawaban dari sana. Ketika bunyi panggilan mulai terdengar, rupanya ponsel Ibu tidak terbawa olehnya. Dia meletakannya di dekat meja ruang keluarga, sehingga suara nada dering ponselnya terdengar jelas oleh seisi rumah.

Kami menunda ibadah, sebab Ibu harus hadir. Bukan semata-mata sebagai tuan rumah saja, namun kini Ibu-lah yang menjadi orang tua bagi kami di rumah ini. Semenjak kepergian Ayah menuju jalan keabadian, rumah kami ibarat pesawat terbang yang hanya mampu mengudara dengan satu sayap. Turbulensi demi turbulensi tak tanggung-tanggung terus menghantam kami dari segala sisi.

Dulu, ketika mendiang Ayah kami masih hidup, rasanya turbulensi sekencang apa pun itu tak akan terasa. Sering pun kami mengabaikan itu, karena dua sayap yang kami punya sangatlah tangguh dan kuat. Namun inilah realitas, inilah kehidupan yang sebenarnya. Tak ada satu pun yang abadi di dunia ini. Petang akan menjadi tengah malam, fajar akan menuju siang t'rang. Siklus itu pun terjadi dalam eksistensi kehidupan manusia juga. Bayi akan menjadi anak-anak, lalu beranjak remaja, menjadi dewasa, menua, dan berujung pada akhir kehidupan yaitu: kematian. Sekali lagi, tak ada satu pun hal yang abadi di dunia ini.

***

Aku berjalan pelan-pelan meninggalkan ruang keluarga, menuju pintu keluar yang ada sisi samping kiri. Langkahku cepat melesat menuju suatu tempat yang kuyakini sungguh, Ibu mestinya berada di sana. Setelah segala upaya menemukannya di rumah tidak berhasil, maka aku terpikirkan untuk mencarinya sendiri. Ketika aku menjauh dari rumah, semua orang masih nampak gusar mencari keberadaan Ibu yang seketika tak ada di mana-mana.

Di kejauhan aku mendapati siluet tubuh manusia sedang tertunduk di sana. Remang cahaya membuat mataku sulit memaknai sipakah gerangan. Jangankan menebak orangnya, memastikan warna bajunya saja aku tak mampu. Sekeliling tempat itu telah jatuh diguyur petang menuju malam. Suara jangkrik terdengar begitu jelas sebagai penanda datangnya malam. Kabut tipis menyelimuti udara, mengantarkan dingin dengan jelas ke permukaan kulit tubuh.

Jarakku kira-kira lima meter dari sesosok manusia di depan sana. Keheningan malam beradu dengan jangkrik, dan kini isak tangis yang samar-samar terdengar. Langkahku pelan ke depan, sekadar ingin memperjelas tangiskah itu yang kudengar?

Meski hanya sebatang lilin yang menyala dan menjadi sumber cahaya di sana, akhirnya aku mengenali sosok itu. Isak tangis tadi datangnya dari Ibu. Dugaanku benar, sejak mendapati ketiadaan dirinya di mana-mana, maka sudah menduga kemungkinan dia datang ke pusara Ayah. Awalnya aku sudah menyampaikan kepada beberapa saudara agar mengecek di sana, namun sebagian mengatakan tidak mungkin. "Tidak mungkin Ibu kesana, ini sudah gelap, lagi pula di sana tidak ada lampu, hanya lilin."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun