Aku sendiri merasa bahwa tidak mungkin Ibu pergi ke tempat lain. Hari hari berduka ini membuatnya semakin rindu dengan Ayah, sehingga sangatlah mungkin jika Ibu akhirnya memutuskan untuk pergi ke pusara Ayah.
Aku sudah berdiri hampir lima menit di situ. Ibu nampak begitu khusyuk dengan obrolannya. Suaranya pelan, selayiknya Ibu yang sedang menyapih anaknya agar tertidur pulas. Namun di antara suaranya yang pelan, terdengar juga tangisnya pelan dan semakin haru. Aku mencoba agar kehadiranku tidak mengganggunya.
***
Hari ini, setahun sudah waktu berlalu. Meskipun kami semua telah belajar untuk merelakkan kepergian Ayah, namun tak semudah itu untuk menerima kenyataan bahwa kini kami telah hidup tanpa seorang Ayah. Turbulensi demi turbulensi terus menghantam pesawat kami, satu sayap tersisah yang masih berfungsi, namun tetaplah tidak cukup. Kendati begitu, kami pun harus belajar untuk menerima dan merelakkan. Menerima bahwa kini kami harus hidup mandiri sebagai anak-anak yang tangguh, sebagaimana Ayah telah mendidik kami selama ini. Dan merelakkan kepergian Ayah, walaupun itu tidak berarti kami harus berhenti menangis selamanya.
-SELESAI-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H