Dapatkah saya menyebut bahwa "saya cukup terlambat dalam merefleksikan resolusi di tahun baru?" itulah pertanyaan saya pagi ini.
Menjelang akhir 2023, saya mulai kehilangan intensitas dalam menggunakan media sosial, bersamaan dengan rusak ponsel saya maka banyak momen dan kesempatan berbagi cerita yang akhirnya terlewatkan. Namun bagi saya, itulah perayaan kecil yang patut disyukuri, karena dengan begitu saya dapat memasuki tahun baru dalam sebuah tantangan; yaitu tidak terlalu aktif menggunakan media sosial.
Pernah di suatu waktu yang lalu, saya merapalkan dalam hati sebuah keinginan 'andai saja saya bisa bebas tanpa ponsel, barang dua tiga hari saja, tentu rasanya sungguh meneduhkan'. Saya membayangkan bahwa di tengah gempuran kebutuhan akan koneksivitas di ruang siber, tentu kesadaran untuk menikmati dunia nyata menjadi semakin tipis. Bukan tanpa alasan, sebab sekali membuka media sosial, kadangkala tanpa terhitung sudah ada ribuan menit yang terlewatkan begitu saja, sunggulah kebiasaan itu perlu diredam dan dikontrol.
Ketika saya harus memasuki tahun baru dengan berkurangnya intensitas berselancar di media sosial, maka bagi saya itulah jawaban atas keinginan saya dahulu.
Tahun baru perspektif baru
Ketika tahun 2024 sudah berjalan sejauh 19 hari, saya merasa bahwa bukan perkara muda untuk berkomitmen tentang menjadi manusia baru di tahun yang baru. Pasalnya dalam beberapa kesempatan saya menyadari bahwa ada tabiat-tabiat lama yang ikut terbawa di tahun ini.
Namun dalam pemerenungan saya akan hal itu, saya lalu menyadari bahwa sejatinya bukan hal yang sepenuhnya salah jika kita menyadari adanya hal-hal lama yang terbawa di tahun baru. Tentunya hal ini dasarkan pada kesadaran bahwa sebagai manusia, kita membutuhkan waktu untuk berproses. Tidak semua hal dapat terjadi secepat kilat, apalagi dengan momentum pergantian tahun dari tanggal 31 Desember ke 1 Januari adalah jarak 24 jam yang sangat singkat. Maka sudah menjadi realitas bahwa perubahan-perubahan tidak bisa terjadi begitu saja dalam beberapa kedipan mata.
Meskipun begitu, saya akhirnya sadar bahwa untuk mencapai perubahan yang lebih baik di tahun ini, maka saya membutuhkan kaca mata baru -sebuah perspektif yang berbeda.
Dua tahun terakhir saya menghidupi nilai "let it flow". Sebuah pemaknaan akan hidup yang berjalan apa adanya, tidak ada tuntutan, tidak perlu target, ambisi, dan tekanan. Biarkan hidup berjalan begitu saja. Itulah let it flow yang saya anut, namun rasanya tahun ini ada sebuah perspektif baru yang saya pakai untuk memandang kehidupan, yaitu "have courage and be kind".
"Milikilah keberanian dan bertindaklah yang baik"
(Cindirela)
Di akhir tahun lalu, saya ikut open pre-order (PO) buku terbaru Henry Manampiring. Judulnya The Compass (Filosofi Arete untuk hidup bahagia sejati). Setelah banyak belajar dari Filosofi Teras, maka saya percaya bahwa The Compass akan memberikan banyak perspektif baru bagi saja dalam menjalani tahun 2024.
Dalam dua bab pertama buku ini, Om Piring -panggilan netizen kepada HM, telah membuka mata kita dengan ajakan untuk merenungkan sejumlah kondisi dalam hidup yang akan menuntut kita dalam mengambil Keputusan terbaik. Tentunya bukan perkara yang mudah untuk melakukan satu dua hal yang kita anggap serius dan berdampak luas, namun dalam situasi tertentu kita dituntut untuk bertindak lebih cepat sehingga perlu adanya pertimbangan-pertimbangan bajik yang tidak merugikan. Melalui The Compass, Om Piring berbicara mengenai empat virtue atau keutamaan yang perlu dimiliki oleh manusia, antara lain: Keberanian (courage), keadilan (justice), keugaharian/kesederhaan, dan praktik kebijaksanaan (practical wisdom).