Mohon tunggu...
Hesdo Naraha
Hesdo Naraha Mohon Tunggu... Freelancer - Sharing for caring by "Louve" from deep Instuisi-Ku

God Is Good All The Time 💝

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

#2 Memaknai Kesialan

9 Februari 2023   09:00 Diperbarui: 9 Februari 2023   09:01 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Setiap hari kita akan diperhadapkan dengan berbagai situasi hidup, kadang-kadang kita mengalami hal yang menyenangkan, kadangpun tidak sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa pada hakikatnya hidup yang dijalani memang tidak sepenuhnya berada dalam kendali kita.

Mari kita bayangkan, sejak malam ini saya telah membuat sebuah rencana untuk mengunjungi perpustkaan kampus, esok paginya saya bangun dengan perasaan gembira dan bersiap untuk merealisasikan rencana tersebut. 

Segala perbekalan sudah siap -botol minum dua liter terisi penuh air, novel yang sedang dibaca, laptop, charger, dll. Ketika kaki hendak meninggalkan kamar kost ternyata hujan deras segera mengguyur, atau mungkin saja ban motor dalam keadaan kempes. Ahhh... bukankah sangat sialnya mengalami situasi seperti ini?

Apabila Anda memandang kemungkinan semacam ilustrasi di atas akan menimpa diri Anda, pertanyaan yang kemudian muncul "Apa pandangan Anda terhadap situasi tersebut?", lalu "Bagaimana Anda bertindak lebih lanjut untuk meresponnya?"

Menurut saya kita perlu memaknai dengan jelas setiap persoalan yang dialami dalam hidup, sehingga dengan demikian saya dan Anda akan memiliki pandangan dan sikap yang jelas dalam merespon suatu kondisi. 

Jika Anda sudah membaca tulisan-tulisan saya yang sebelumnya, Anda akan menjumpai banyak sekali pemikiran Stoisisme (bisa dibaca juga: Stoa) di sana, karena sampai hari ini prinsip-prinsip Stoisisme masih terus saya pegang dan aplikasikan dalam kehidupan setiap hari. Salah satu nilai yang diajarkan para filsuf Stoa adalah mengenai dikotomi kendali.

ke-SIAL-an tanggung jawab siapa? 

"Some things are up to us, some things are not up to us"

(Epitectus, Enchiridion).


Ketika Anda membaca Filosofi Teras karya Henry Manampiring, maka Anda akan menemukan begitu banyak relevansi ajaran Stoa dalam kehidupan kita sehari-hari. Henry memberikan banyak contoh yang konkrit, misalnya mengenai respon terhadap kemacetan. Dijelaskan bahwa umumnya kita akan sangat destruktif merespon situasi itu, apalagi Anda yang berdomisi di daerah Jabodetabek dan secara langsung mengalaminya; tentunya perasaan-perasaan yang kemudian muncul tidak lain seperti jengkel, kesal, marah, tetapi kemudian sadar bahwa Anda tidak bisa melakukan apa-apa.

Dalam perspektif Stoa sikap semacam itu hanya muncul untuk menggerogoti ketenangan jiwa Anda dan saya, karena tidak sedikit pun dari kita yang sadar bahwa respon yang demikian tidaklah tepat. Lantas apa sebenarnya respon yang tepat?

Epitectus menulis dalam karya monumental yang berjudul "Enchiridion", salah satu prinsip mengenai kendali muncul melalui pemikirannya yang amat merdeka. Menyadari bahwa sebenarnya tidak semua hal berada dalam kendali kita, justru menjadikan perspektif kita terhadap suatu masalah menjadi lebih rasional.

Menurut saya, orang-orang yang tidak dapat mengenali suatu masalah dengan jelas adalah dampak dari cara berpikir yang monopoli dan irasional. Misalnya saja dengan kasus kemacetan di atas, Anda mungkin pernah berpikir untuk memaki-maki pemerintah karena mereka tidak pernah bisa menangani kemacetan? Saya juga dulu sekali pernah berpikir seperti itu, tetapi mungkin Anda lupa bahwa orang-orang yang menyebabkan kemacetan adalah mereka yang memiliki kepentingan juga seperti Anda dan saya. 

Di depan mobil Anda ada seorang bapak yang membonceng tiga anak berseragam SMP dan SD, di samping motor Anda mungkin ada seorang perempuan muda berpakaian rapi menuju ke kampus atau kantor. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya Anda dan saya termasuk orang yang juga menyebabkan pemerintah dimaki-maki oleh ratusan pengguna jalan raya itu.

Kekeliruan kita dalam merespon dan memikirkan situasi tersebut tentunya lahir dari pemikiran yang monopoli. Menurut saya, pemikiran yang monopili artinya terdapat keinginan untuk menganggap dan meyakini bahwa banyak hal dalam hidup ini seharusnya terjadi atas kendali dan kontrol diri kita sendiri. Akhirnya kita lupa, bahwa seorang bapak yang membonceng tiga anak berseragam SMP dan SD atau seorang perempuan muda berpakaian rapi menuju ke kampus adalah orang-orang tak dikenal yang tidak bisa kita atur atau kendalikan tujuan dan perjalanannya.

Dalam kritik yang amat tajam, Epitectus menyatakan bahwa orang-orang yang demikian (berpikir monopoli) adalah budak dalam kehidupan ini; karena mencoba mengendalikan hal-hal yang tidak pernah ditakdirkan untuk berada dalam kendali mereka sendiri. Sehingga yang bisa saya sampaikan adalah bahwasannya sebuah kesialan-kesialan kecil dalam hidup bukanlah urusan kita, karena sampai kapan pun Anda dan saya tidak akan pernah bisa memastikan bahwa segala hal bisa berjalan sesuai harapan dan rencana kita.

Sebuah tawaran: Menyadari dan menerima (perspektif baru)

Para ahli dalam bidang psikologis kognitif meletakan dasar berpikir yang amat kuat mengenai pemahaman perilaku manusia, misalnya ada konsep yang menjelaskan bahwa persepsi seseorang akan menentukan dan mempengaruhi perilakunya dalam merespon sesuatu. Itulah yang disebut sebagai the power of perception bahwa persepsi atau pandangan kita dalam memahami dan memaknai adalah remot kontrol yang sangat kuat. Para neurolog pun mengaitkan ini dengan proses kerja otak kita, sebut saja Pre Frontal Cortex (PFC) merupakan bagian dari area otak depan, yang bertugas dalam pengambilan keputusan dan proses berpikir kritisi.

Jika Anda dan saya benar-benar memahami diri sendiri, maka kita akan menemukan bahwa sebenarnya dalam kepala yang tidak terlalu besar ini sudah ada ruang kerja yang amat sangat luar biasa mempengaruhi kehidupan kita -yaitu pikiran kita sendiri.

Dengan menyadari bahwa tidak semua hal berada dalam kendali diri sendiri, maka saya mengajak Anda untuk memaknai sebuah proses menyadari dan menerima.

Ketika menulis artikel ini, sebetulnya saya sedang mencoba menjelaskan isi hati saya yang penuh kembimbangan. Jadi, sejak akhir bulan Januari saya sudah membuat timeline penelitian skripsi, dan sesuai rancangan waktu yang saya tetapkan seharunya mulai kemarin proses penelitian sudah mencapai pengajuan izin survei ke sekolah-sekolah. Faktanya adalah sampai hari ini -saat menulis artikel ini, saya belum memperoleh izin penelitian dari Fakultas.

Yang menarik adalah saya tidak merasa jengkel, marah atau kesal sama sekali, alasannya sederhana karena saya sadar bahwa tidak menjadi urusan dan tugas saya untuk memaksakan pihak Fakultas menerbitkan izin penelitian. Saya juga sadar bahwa tentu ada banyak hal yang dikerjakan, sehingga mereka pun berusaha menyelesaikan setiap pekerjaan-pekerjaan mereka satu per satu. Ahkirnya dengan kesadaran yang demikian saya menjadi lebih tenang dan tidak merasa sedang sial, justru saya memaknainya sebagai momen untuk dapat merampungkan hal-hal lain secara pelan-pelan.

Ketika kita memiliki pandangan yang jelas dan kesadaran mengenai kehidupan, maka tentu saja level selanjutnya adalah Anda dan saya akan mampu menerima setiap situasi tersebut dengan pandangan yang jernih dan apa adanya. Kemarin seorang kakak bercerita banyak mengenai pekerjaannya, ada cerita tentang sebuah kesialan. Dia bercerita bahwa bos-nya marah besar akibat kesalahan penulisan nama -yaitu kurangnya satu huruf pada tiket pesawatnya. Walaupun hal tersebut terjadi murni karena kelalaian travel agent namun konsekuensinya dibebankan kepada kakak saya.

Ketika kita meneelah kasus di atas, tentu kita akan menemukan bahwa ada indikasi kurangnya kemampuan menerima kenyataan mengenai hal-hal di luar kendali. Bos-nya menampilkan sikap arogan seakan-akan segala sesuatu harus sempurna, tetapi dia lupa untuk menyadari bahwa asistennya itu tidak punya kendali untuk membuat travel agent mencetak nama yang benar pada tiket pesawatnya. Alhasil dia marah besar dan mempersulit keadaan orang lain, sampai pada tahap ini jelaslah bahwa dia memiliki penerimaan yang gagal terhadap kondisi demikian.

Oleh karena itu berbagai rentetan cerita dan peristiwa di atas, sebenarnya hanya mengarah pada satu hal saja, yaitu kedalaman kita dalam memaknai atau merefleksikan segala sesuatu. 

Saya sangat yakin setiap hari akan ada kesialan-kesialan yang kita jumpai dalam hidup ini, namun bagaimana kita menyadari dan mau menerima setiap peristiwa tersebut sebagai bagian dari hidup; adalah sebuah wujud kedalaman berpikir yang amat jernih. Sehingga yang terutama adalah lihatlah setiap detik kehidupan dengan jujur dan apa adanya, niscaya hidup Anda akan lebih tenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun