Mohon tunggu...
Hesdo Naraha
Hesdo Naraha Mohon Tunggu... Freelancer - Sharing for caring by "Louve" from deep Instuisi-Ku

God Is Good All The Time 💝

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Manusia Bukan Robot, Perubahan adalah Hasil Refleksi dan Proses Belajar, Tidak Instan dan Butuh Waktu

17 April 2020   23:00 Diperbarui: 17 April 2020   23:35 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana cara anda dalam mengahadapi orang yang sering menangis? Setiap orang tentu memiliki respon atau reaksinya masing-masing. 

Ada orang yang merespon dengan tenang, ada yang menggunakan emosinya; bisa berupa ikut menangis, atau justru memberikan kekuatan dengan sedikit keras (marah: sebagai bentuk kasih sayang), dan adapula yang merespon dengan cuek atau tidak menunjukan reaksi sama sekali.

Respon setiap orang dalam menghadapi orang lain; pada situasi, kapan dan dimana saja merupakan interpretasi terhadap keadaan jiwa orang tersebut. Seringnya orang yang memberikan respon awal dengan amarah adalah tipikal orang yang tegar, keras, serta tangguh. 

Apapun latar belakang intrapsikis kita bukanlah persoalan dan sama sekali tidak menjadi faktor apa-apa untuk kita merespon orang lain. Sebab yang terutama adalah kita perlu memahami latar belakang intrapsikis orang lain, yang sedang kita hadapi.

Minimnya pemahaman orang awam dalam memahami aspek psikologis manusia, membuat mereka kadang kalanya tidak proporsional dalam menghadapi orang lain yang sedang tidak baik/siap secara mental dalam menghadapi suatu masalah. Oleh sebabnya siapapun kita, tanpa memandang latar belakang pendidikan, jender, suku, ras, pun agama; kita harus memahami pernyataan ini bahwa: SETIAP ORANG ITU BERBEDA.

Kita tidak bisa menilai orang lain dengan menjadikan diri kita sebagai acuan atau tolak ukur, pandangan seperti ini yang selalu membuat orang tidak lagi keliru, melainkan salah total dalam memaknai reaksi emosi orang lain, lalu menytakan pendapat tidak tepat. 

Pada hakikatnya setiap orang adalah berbeda, perbedaan pada manusia meliputi dua aspek: Perbedaan secara fisik, dan perbedaan secara psikologis, keberbedaan inilah yang disebut sebagai individual differences. 

Secara fisik dapat teramati secara jelas dimana letak perbedaan antar individu, namun secara psikologis tidaklah mudah untuk memahami keadaan psikis/mental seseorang; karena aspek psikis bukanlah bentuk yang dapat dilihat wujud/bentuk, ciri-ciri, sifat maupun karakteristiknya.

552e22350423bd64248b4567-5e99d6ac097f361ed8219b63.jpeg
552e22350423bd64248b4567-5e99d6ac097f361ed8219b63.jpeg

 Mari membayangkan : 

Suatu ketika anda bertemu dengan seorang remaja putri (berusia 18 tahun; kelas 3 SMA) yang menangis berhari-hari karena mengalami putus cinta, dia tidak mau makan, perasaan sedih/galaunya terus bertambah. Melihatnya anda teringat dengan kenangan anda di sepuluh tahun yang lalu; saat diposisi yang sama anda baik-baik saja, rasa sedih tentu ada tetapi untuk menangis tidak. Lalu anda merespon keadaannya dengan mengatakan “kamu lebay”, “kamu berlebihan”, “kamu terlalu lemah”, dll. Ketahuilah tindakanmu salah, dan keadaan remaja itu akan semakin terpuruk.

Kita kembali pada 10 tahun yang lalu, saat dimana anda putus cinta. Saat itu anda hanya murung, tidak menangis sama sekali, dan hanya mengurung diri. Kesedihan anda tidak begitu dalam karena hubungan kalian baru 2 bulan, itu pun tidak mendapat restu; jadi disaat semuanya berakhir anda merasakan adanya ketenangan disatu sisi karena ada beban yang terlepas. Sehari setelah kejadian anda dibawa pergi jalan-jalan bersama keluarga, nonton bioskop bareng, makan di warung makanan kesukaan, lalu anda pulang dengan perasaan bahagia, sejenak kegalauan anda tersingkirkan. Setiap hari setelah masa yang berat itu orang tua anda menjadi sangat hati-hati setiap kali ada anak pria yang mendekati anda. (Jelas bahwa mendapat dukungan, dan diperhatikan).

Hari ini anda berbincang-bincang dengan ibu dari remaja putri yang menangis itu, setelah banyak bercerita akhirnya tahu alasan anak itu berlarut dalam kesedihannya: hubungannya dengan sang pacar sudah terjalin sejak mereka SMA kelas 1 dan itu berarti tiga tahun lamanya, keduanya sama-sama mendapat restu dari masing-masing orang tua, dan sama-sama sudah saling kenal sejak kecil. Mungkin cukup dramatis, tapi itulah realitas yang terjadi. Sang ibu pun bingung mau melakukan apa? Sehingga anaknya tetap mengrung diri, terus berlarut dalam kesedihan, dan semakin hari; semakin sulit untuk ditenangkan.

Setelah mendengar hal itu apakah anda masih yakin dengan pernyataan, respon serta sikap pertama yang anda berikan pada remaja putri itu? Saya yakin anda akan merasa bersalah, karena sudah lebih dulu menghakimi sebelum menemukan kebenaran.

Cerita sederhana diatas ingin menunjukan kepada kita bahwa pengalaman, cerita, keadaan hingga situasi yang dialami oleh orang lain seringkali sama dengan yang kita alami. 

Namun jelas bahwa latar belakang, faktor pun pemicu terjadinya cerita tersebut berbeda-beda. Letak perbedaan inilah yang harus menjadi alasan kuat mengapa kita perlu memandang orang lain berbeda dari kita. 

Seringkali kita mengatakan bahwa kita, memang tidak menyamakan orang dengan diri kita, tetapi perlakuan kita kepada mereka seyogyanya adalah sesuai kehendak kita; seakan-akan dia akan menerima begitu saja.

Kejadian seperti ini selalu terjadi! Ketika orang memproyeksikan orang lain dengan dirinya sendiri. Hal inilah yang seringkali membuat orang lain yang sensitive akan mudah merasakan tidak nyaman: ingat bahwa sensitive bukan berarti “baper” melainkan dia merasakan adanya hal yang tidak pantas terjadinya padanya. Sehingga ketika dia marah, ITU WAJAR!

Manusia bukan robot 

4-kontroversi-manusia-yang-harus-jadi-robot-agar-tak-tereliminasi-5e99dac0097f363d353a92e2.jpeg
4-kontroversi-manusia-yang-harus-jadi-robot-agar-tak-tereliminasi-5e99dac0097f363d353a92e2.jpeg
Kita sering mendengar bahwa banyak orang tua ingin agar anaknya bisa patuh, taat, serta mengikuti segala aturan dan keputusannya. Sekilas jika kita melihat dari perspektif normatif tentu hal ini memang harus terjadi, tapi bagaimana dengan perasaan anak itu sendiri?

Perspektif humanistik (manusiawi) mengajarkan kita untuk tidak memandang orang lain dengan menggunakan cerminan diri kita, melainkan kita memandangnya secara utuh sebagai dirinya sendiri tanpa meksakannya menjadi berbeda dari dirinya sendiri. 

Fakta yang terjadi banyak anak-anak remaja atau bahkan dewasa awal (18- 21 tahun) yang mengalami dilematis sosial, karena terlalu banyak tuntutan yang memaksa mereka untuk memenuhinya; tanpa melihat bagaimana perasaan mereka yang menjalaninya seakan tidak mendapat kebebasa sebagai MANUSIA CIPTAAN TUHAN YANG DIBERIKAN HAK HIDUP DALAM KEMERDEKAAN.

Aturan sosial datangnya dari keluarga dan lingkungan luar (sekolah, kampus, aturan pemerintah, dsb). Berbagai aturan dalam keluarga  seringkali didasarkan pada pengalaman empiris ayah dan ibu, lalu apakah itu relevan? 

Saya mengatakannya TIDAK SAMA SEKALI! Keluarga yang humaanis adalah keluarga yang mengedepankan participative designe artinya dalam menetapkan aturan keluarga anak-anak secara terbuka diberikan hak untuk turut menyumbangsikan ide, serta gagasan. 

Namun kenyataannya prinsip ini hanyalah omong kosong; karena orang tua sebagai figur otoriter memegang kendali yang penuh atas segala pergerakan anak-anak.

Dampak yang muncul ialah anak menjadi tidak berkembang sebagaimana dia dalam dunianya, sebab terlalu banyak aturan yang mengekang, menekan serta memaksa untuk menjadi anak sesuai keinginan Ayah dan Ibu. 

Padahal anak seharusnya bertumbuh sebagaimana dirinya sendiri, bukan sebagaimana keinginan Ayah dan Ibu yang penuh dengan penentangan terhadap aktualisasi potensi serta diri anak. 

Sehingga yang harus dipahami bahwa manusia bukanlah robot, manusia memiliki kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya, terdapat banyak jalan maka dia bebas memilih jalannya; disinilah orang tua hadir sebagai navigasi yang  membantu memberikan opsi, bukan menjadi hakim yang memutuskan pilihan atas hidup anaknya.

Jika manusia bukan robot, maka: Dia seharusnya mengalami perubahan atas dirinya melalui prosesnya sendiri, bukan atas keinginan orang lain. 

Abraham Maslow (seorang teoritikus dalam psikologi humanistik) menyatakan bahwa manusia adalah mahkluk yang positif, setiap hal yang berasal dari dalam dirinya ialah berlandaskan muatan-muatan positif; misalnya semangat, harapan, cita-cita serta pandangannya terhadap diri sendirinya yang selalu penuh optimisme.

Dalam mengalami perubahan atas hidupnya seseorang tidak terlepas dari pengalaman hidup yang kompleks, bahwa ada masa dimana seseorang merasa penuh semangat; ada masa dimana seseorang menjadi tidak berdaya; lalu pada titik terendah itulah berbagai pikiran-pikiran diluar harapan dapat saja muncul: perasaan hilangnya keberhargaan pada diri sendiri, ingin bunuh diri, merasa tak berdaya, bahkan dapat menjadi lebih agresif, menyalahkan semua orang, meyalahkan diri sendiri, dsb. 

Dalam pandangan humanistik keadaan ini diyakini dipicu oleh adanya disekuilibrium dalam pemenuhan kebutuhan, sehingga seseorang merasa adanya ketidakadilan yang membuatnya menjadi kecewa.

Berbagai peristiwa dalam kehidupan mengajarkan kita, bahwa pada hakikatnya kita membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupan kita bukan sekadar untuk menjalin hubungan sosial. 

Dalam konsep psikologi kognitif (social-cognitive; Bandura) menyatakan bahwa relasi sosial individu dengan orang lain akan berdampak pada proses modeling transfer: dimana individu akan belajar untuk membentuk perilaku yang seperti orang lain pada lingkungan sosialnya.

Akan tetapi perilaku tersebut dimunculkan atas dasar kesadaran sendiri dan tidak diajarkan oleh orang lain, sehingga dapat dikatakan bahwa perubahan perilaku manusia sejatinya terjadi atas refleksi dirinya sendiri. 

Berbeda dengan konsep (behaviorism) yang menekankan pada proses kondisioning. Memang setiap perspektif memiliki alur penjelasan yang berbeda-beda, namun yang terpenting ialah kita menyadari bahwa perihal perilaku, sikap, sifat yang mengerucut pada kepribadian kita adalah sebuah proses yang panjang dan membutuhkan waktu lama dalam mencapai tahap dimana maturity atau kematangan itu tercapai.

Yang terpenting adalah belajarlah untuk menghargai orang lain, jika saya berkulit cokelat, berambut keriting, saya tetap friendly untuk bisa berteman dengan teman-teman yang berambut lurus, berkulit putih, dll. 

Begitu pun saya yang secara emosi lebih mudah marah, akan tetap dapat berteman dengan mereka yang cepat menangis; sebab pada prinsipnya kita hanya perlu menghargai perbedaan yang kita miliki. 

Lalu tidak perlu memaksakan orang lain untuk menjadi sama seperti kita, karena itu hanyalah pemikiran orang kurang kerjaan yang memaksakan manusia khalayaknya plastisin yang mau dibentuk semaunya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun