Mohon tunggu...
Hery Wibowo
Hery Wibowo Mohon Tunggu... Dosen - Layanan Pendidikan Keluarga

Belajar bersama membangun keberfungsian paripurna

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Kesehatan Mental dan Gaya Hidup 'Slow Living"

15 Desember 2024   20:17 Diperbarui: 15 Desember 2024   20:17 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Al Balkhi, salah satu ilmuwan dan psikologi muslim terkemuka dunia (dari buku Kitab Kesehatan Mental 2023) menegaskan bahwa pintu masuk potensi gangguan mental ada di empat pintu, yaitu (1) marah (al-ghadhab), (2) kesedihan dan depresi (al huzn wa al jaza), (3) takut atau panik (al khauf wa al-faza) dan (4) bisikan-bisikan jiwa atau dialog internal yang negatif (wasawis ash-shadr wa ahadist an-nafs). Maka, sejatinya tiap individu perlu mewaspadai hadirnya potensi gangguan dari empat pintu ini. Kabar baiknya, slow living dapat menjadi solusinya.

Marah

Kemarahan lebih mudah timbul dari situasi ketergesaan, situasi dimana seseorang menggebu-gebu ingin memiliki atau mencapai sesuatu, ataupun ketika sesuatu terjadi diluar keinginan, harapan atau prediksinya. Maka orang yang terbiasa tenang, sering relaksasi, tidak tergesa, diyakini akan memiliki kemampuan lebih untuk mengontrol emosinya. Mereka memilih untuk tetap menjadi ketenangan emosinya pada situasi apapun. Mereka menahan dirinya untuk tidak memberikan respon meledak-ledak yang justru mematikan akal rasionalitasnya. Mereka bersabar dan memilih untuk menganalisa situasi -dengan tenang' terlebih dahulu. Mereka memilih untuk menyelesaikan problematika yang ada satu demi satu. Ingat, menolak untuk tergesa bukan berarti membiarkan masalah tidak terselesaikan. Namun, menarik nafas serta mengambil jeda, memungkinkan yang bersangkutan untuk menyibak kabut gelap, dan melihat kepingan informasi satu demi satu secara lebih jelas. Pilihan untuk melambatkan ritme hidup, akan menjauhkannya dari kebiasan bergegas serabutan (fast living). Toleransi yang presisi terhadap apa kata orang lain terhadap hidupnya (other people opinion), akan membuatnya tetap rasional dalam melangkah. Sehingga, aktivitas marah-marah akan menjadi pilihan terakhir. Ketenangan jiwanya, akan memungkinkannya memindahkan stresor penyebab kemarahan tersebut bukan merupakan serangan pada pribadinya, melainkan pada perilakunya, pilihan strateginya atau sekedar sikapnya. Sehingga, ketenangan jiwa, dan keteguhan hati untuk menjalankan kehidupan sesuai ritmenya tetap terjaga. Maka, slow living, secara tidak langsung, akan menjaga jiwanya untuk tidak mudah meledak-ledak, sehingga kesehatannya mentalnyapun berpotensi tetap terjaga (bersambung) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun