Apabila dilihat dari tugas pokok dan fungsinya, sebenarnya sangat tidak tepat apabila teman saya ini mengerjakan isian SPIP dimaksud, karena bukan kapasitas dia untuk mengerjakannya apabila dilihat dari uraian tugas pokok dan fungsinya. Namun apa daya, dia tidak punya kuasa untuk menolak, dan akhirnya dia pun berusaha mengerjakan pekerjaan itu walaupun harus pusing gimana caranya mengerjakannya karena dia tidak tau sama sekali apa itu pekerjaan yang dikerjakannya.
Akibatnya, pekerjaan yang dia kerjakan akhirnya menjadi terkendala dalam hal waktu penyelesaian pekerjaan karena disebabkan faktor ketidaktahuan terkait hal apa yang dikerjakannya.
Tentu ini tidak baik dalam penyelesaian pekerjaan sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan dan kualitas hasil pekerjaan yang tidak maksimal karena dikerjakan dengan dasar pemahaman yang mendalam atas pekerjaan. Seharusnya yang mengerjakan itu adalah pegawai yang mempunyai jabatan fungsional yang memang sudah kompeten dan punya kapasitas dalam pemahaman untuk mengerjakannya.
Sampai pagi tadi, pekerjaan isian terkait SPIP yang dibebankan kepada teman saya itu belum juga tuntas sejak disampaikan hari jumat minggu lalu. Apabila ini dibiarkan berlarut-larut akan sangat tidak baik untuk pencapaian tujuan perusahaan atau penyelesaian pekerjaan dalam pemerintahan yang berakibat kepada penilaian performa yang tidak baik dari pimpinan atasan.
Lantas bagaimana ini bisa terjadi?
Kalau boleh disimpulkan, upnormal penerapan filosopi "the right man on the right place" atau merit system ini adalah adanya inkonsistensi dari pimpinan sebuah perusahaan atau pimpinan dalam sebuah dinas pemerintahan dalam menerapkan budaya perusahaan yang seharusnya.
Pimpinan lebih fokus bagaimana pekerjaan itu selesai tanpa mengevaluasi sudah sejauh mana filosopi itu dilaksanakan dalam perusahaan yang dia pimpin. Sebagai pimpinan harusnya bisa menentukan siapa mengerjakan apa sesuai dengan jabatannya dan posisinya dalam perusahaan, dan siapa yang pantas untuk menempati sebuah posisi dilihat dari background pendidikan dan pengalaman yang dia miliki.
Ketika ini dapat dilakukan oleh seorang pimpinan, maka setidaknya dapat dipastikan bahwa arah tujuan perusahaan itu akan sesuai jalur yang diinginkan. Tidak lagi terjadi kondisi upnormal seperti yang kita lihat terjadi hari ini.
Jangan nanti sesama staf atau bawahan memerintah staf yang lainnya untuk mengerjakan pekerjaannya karena dia merasa dia paling senior di kantor sehingga bisa dengan seenaknya memerintah untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.
Diperlukan ketegasan seorang pimpinan dalam menetapkan instruksi dengan skema top down sehingga jelas siapa yang memerintah siapa untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan demi terjaganya kondusivitas budaya perusahaan dan bisa tercapai target pekerjaan sesuai dengan waktu dan hasil yang diharapkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H