Sejalan dengan itu, sekolah sebagai lingkungan kedua dimana anak/remaja mendapatkan dan menjalani proses kehidupannya, dituntut untuk lebih inklusif. Pendidikan budi pekerti sebagaimana amanat dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti lebih dihidupkan dan digalakkan kembali dan dapat menyentuh setiap siswa tanpa terkecuali sehingga apa yang menjadi tujuan dari penumbuhan budi pekerti itu dapat tercapai.
Derasnya arus informasi yang berbau hal-hal negatif adalah faktor eksternal yang turut pemicu mempengaruhi sikap dan karakter anak ke arah yang negatif. Peran pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai stakeholder yang mengatur arus informasi dituntut untuk lebih menyaring dan membatasi akses informasi ataupun teknologi yang mengandung konten negatif seperti pornografi, game online, judi online. Atau bahkan kalau bisa menutup semua akses untuk konten-konten di atas sehingga diharapkan dapat meminimalisir dampak buruk dari hadirnya disrupsi teknologi sekarang ini.
Sinergitas dari peran setiap para stake holder, setidaknya diharapkan mampu mencegah, mengikis serta meminimalisir tindakan kekerasan yang berujung kepada tindakan kriminal terjadi pada anak atau remaja.