" Hidup bukan hanya soal bekerja, tapi hidup bisa lebih dari itu". Tuntutan hidup yang semakin besar, membuat waktu terasa semakin cepat bergerak ke depan. Secara gak sadar, waktu yang bergerak cepat, turut membuat kita menjalani hidup dengan gerak yang cepat juga demi bisa menyesuaikan dengan waktu.
Siapa diantara kita yang sudah pernah mendengar konsep hidup slow living?
Dilansir dari Kompas.com, slow living merupakan konsep pola pikir milik seseorang yang menyusun gaya hidup yang lebih bermakna dan menyesuaikan dengan apa yang paling dia anggap berharga dalam hidup
Belakangan ini konsep hidup slow living sedang ramai muncul jadi perbincangan di media sosial. Beberapa bulan yang lalu, dalam sebuah podcast di chanel youtube Melanie Ricardo, Lulu Tobing mengisahkan gaya hidupnya yang santai.
Dalam perbincangannya Lulu Tobing, mengatakan kalau hidup dia itu slow banget. " Gua gak pernah ngoyo apapun yang ngak ada, ya udah ngak gitu, gak memikirkan yang belum kejadian yang memberatkan pikiran, menjalani hidup tidak kompetitif, tidak ambisius, menikmati kehidupannya walaupun gak ada kerjaan, gak sirik sama orang-orang yang masih dipuja-puja dan dielu-elukan. Gue slow, slow banget. Demikian jawaban yang diutarakan oleh Lulu Tobing kepada Melanie Ricardo.
Namun realitas yang terjadi saat ini adalah kondisi yang bertolak belakang dengan konsep slow living. Manusia sekarang terjebak dalam konsep hidup yang disebut sebagai "hustle culture". Hustle Culture sendiri adalah sebuah konsep hidup yang membuat seseorang untuk gila kerja atau workaholism (setyawati, 2020). Memaksa seseorang untuk bekerja keras, tiada hari tanpa bekerja hingga tidak ada waktu untuk menikmati kehidupan pribadi atau istilah trend saat ini " Me time".
Memang pada prinsipnya hidup adalah pilihan. Kita tidak bisa memaksa seseorang itu memilih menjalani hidup dengan konsep slow living atau hustle culture. Karena setiap orang punya prioritas masing-masing dalam kehidupan mereka.
Ketika seseorang lebih memprioritaskan kesuksesan dalam materi, mungkin akan menerapkan konsep hustle culture. Karena dengan cara itu, dia bisa mencapai apapun yang membuat dia sukses dalam pekerjaan dan materi. Sekalipun itu mengabaikan faktor kesehatan tubuh dan jiwanya. Kalau ingin sukses dalam pekerjaan, ya pastinya harus berkompetisi dan punya ambisi yang kuat.
Prioritas ini akan melahirkan ambisi dalam hidupnya, bagaimana caranya bisa mendapatkan apa yang dia inginkan tentu dengan cara berkompetisi dengan orang lain. Sehingga akan berimplikasi terhadap tingkat stress yang semakin meningkat. Kalau stres meningkat, akan sangat susah untuk bahagia menjalani hidup. Ya, ujung-ujungnya hidupnya gak bahagia.
Namun berbeda dengan orang yang lebih memprioritaskan faktor kesehatan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Konsep slow living adalah pilihan yang tepat untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika orientasi seseorang itu dalam menjalani hidup adalah kesehatan, baik itu fisik , jiwa, mental, tentu akan mengutamakan hal-hal yang akan mendukung supaya tubuhnya, mentalnya, jiwanya sehat, menjalani hidup sehari-hari itu dengan bahagia dengan lebih banyak mengalokasikan waktu untuk kehidupan pribadinya dengan melakukan apapun yang dia sukai. Tentu ini akan sangat meminimalisir sikap ambisi, kompetisi dalam hidupnya, karena alasan prioritas yang dipilih dalam hidupnya.
Kalau kita renungkan dan sadari secara mendalam, kenikmatan dunia ini tidak akan ada habisnya untuk kita kejar. Â Kenikmatan dunia adalah sebuah fatamorgana, yang tidak mempunyai implikasi yang kekal.
Semua pilihan ada ditangan kita. Prioritas hidup adalah fondasi dan alasan utama bagi siapa saja untuk menjalani kehidupannya masing-masing. Aapakah dengan menerapkan konsep slow living atau malah terjebak dalam budaya hustle culture yang menyiksa pada akhirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H