Salah satu bentuk perkembangan teknologi di era modern seperti sekarang ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya ponsel pintar yang beredar.
Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan jumlah pengguna smartphone dari tahun ke tahun. Pada 2019, terdapat 3,2 miliar pengguna smartphone di seluruh dunia. Naik 5,6 % dari tahun sebelumnya. Sementara perangkat aktif yang digunakan mencapai 3,8 miliar unit.(sumber: katadata.co.id)
Kehadiran smartphone atau ponsel pintar bagi manusia memberikan manfaat yang positif. Namun tidak sedikit juga memberikan dampak negatif dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu contoh dampak buruk atau negatif yang ditimbulkan dengan kehadiran smartphone adalah “phubbing” yang sampai sekarang menjadi masalah sosial manusia di abad 21.
Istilah phubbing adalah kependekan dari kosa kata phone dan snubbing. Istilah ini mulai dikenalkan oleh agensi periklanan McCann.
Berdasarkan asal katanya, phubbing adalah sikap mengabaikan seseorang yang berinteraksi dengan kita karena perhatiannya tertuju pada ponsel.
Dengan munculnya istilah phubbing itu, maka sekarang ini ada juga sebuah jargon atau tag line atau adagium yang mengatakan bahwa “ smartphone itu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”.
Kadang-kadang kalau di pikir-pikir, memang benar juga. Karena ungkapan itu memang benar terjadi dalam kehidupan kita.
Ketika kita rindu dengan keluarga yang berada jauh dari kita, kita bisa melepaskan rindu dengan sanak saudara dengan menggunakan ponsel untuk berkomunikasi baik via telpon atau pun via sms atau pesan wa.
Bahkan sekarang kemajuan fitur layanan komunikasi, kita sudah bisa berkomunikasi melalui video call yang dapat langsung melihat wajah saudara atau teman yang kita ajak komunikasi.
Benar pula kalau smartphone itu bisa menjauhkan yang dekat. Misalnya dalam satu keluarga, ketika sedang berkumpul di rumah atau dimana, sudah jarang terlihat adanya komunikasi interaktif di antara masing-masing anggota keluarga.
Fenomena yang terjadi, masing-masing sibuk dengan smartphone nya. Mereka lebih menikmati berselancar di media sosial atau sekedar browsing di internet. Tidak ada lagi komunikasi yang hangat.
Phubbing tidak juga terjadi di kalangan anggota keluarga sebagai inti utama dalam sebuah kehidupan. Dalam kehidupan perteman atau relasi dengan teman kantor, fenomena phubbing juga sudah sering terjadi.
Perilaku yang menyebalkan ini, sayangnya, jadi sangat umum sekarang. Sebuah survei di AS menemukan, 17 persen orang melakukan phubbing setidaknya 4 kali sehari. Sekitar 32 persen responden merasa setidaknya 2 atau 3 kali sehari diabaikan orang lain karena lawan bicara mereka terfokus pada ponselnya.(sumber: klasika.kompas.id)
Hal ini juga pernah saya alami. Ketika itu, teman saya mengirimkan pesan melalui Whatsapp. Dalam pesannya dia mengajak saya untuk kopdar di coffe shop tempat kami biasa nongkrong. Namun ketika kami sudah bertemu, teman saya ini sepertinya sibuk dengan smartphone nya sendiri.
Dan yang paling parahnya lagi, ketika saya bicara perhatiannya hanya fokus kepada ponselnya. Aku perhatikan jari-jemarinya bergerak cepat diatas layar smartphonenya. Mungkin dia sedang mengetik pesan yang mau di kirimkan kepada seseorang.
Dalam hati aku merasa, kalau seperti ini kejadiannya, mending tidak usah saja ngajak jumpa sedari awal kalau toh akhirnya hanya sibuk sendiri dengan gawainya.
Dan akhirnya saya pun hanya diam saja menikmati kopi. Sambil memperhatikan perangai teman saya itu yang masih asyik dengan ponselnya. Walaupun sesekali dia memulai pembicaraan lebih dulu. Namun dipertengahan pembicaraan tetap juga perhatiaannya lebih banyak kepada ponselnya.
Ini lah akibat apabila seseorang itu sudah memiliki kecintaan terhadap gawai yang tidak dapat dibatasi. Akhirnya dia tidak bisa lepas dari ponselnya. Sepertinya kalau tidak megang HP atau membuka media sosial sebentar saja rasa-rasanya ada yang kurang atau ada perasaan tidak puas.
Bukan hanya saya saja, mungkin banyak yang mengalami hal serupa di luar sana. Pada saat kumpul bersama teman-teman atau keluarga, awal dari pembicaraan memang berjalan sebagaimana mestinya. Namun tidak berselang lama kemudian, masing-masing akan kehabisan kata-kata atau topik pembicaraan dan setiap gerak tangan akan tertuju kepada ponsel.
Lalu kemudian jari-jari menari-nari di layar kaca ponsel. Berselancar di media sosial sampai tidak terasa waktu kebersamaan itu bubar tidak ada artinya sama sekali.
Makin mengguritanya gejala phubbing ini dalam kehidupan sehari-hari manusia, ternyata tidak menyadarkan manusia itu sendiri bahwa ini adalah sebuah masalah sosial yang serius yang apabila tidak dibatasi tentu akan berbahaya.
Karena secara tidak langsung, dampak dari gejala phubbing ini bisa menurunkan kualitas relasi dan tidak efektifnya komunikasi diantara satu dengan yang lainnya. Karena tidak mungkin kita bisa merespon orang yang berbicara pada kita sembari berselancar di media sosial atau membalas pesan singkat kepada orang lain.
Phubbing dalam interaksi secara langsung dengan orang lain adalah bentuk sebuah penolakan akan kehadiran dari orang disekitar kita. Ada perasaan dianggap tidak penting atau diabaikan dari kita ketika melakukan phubbing pada saat berinteraksi langsung dengan seseorang.
Sampai kapan phubbing ini akan menggurita? Semua ini tergantung kepada kita untuk tidak mau terjebak dalam kecintaan yang berlebih terhadap smartphone.
Mari saatnya kita membatasi diri kita terhadap ketergantungan kepada smartphone, sehingga tidak lagi menjadi masalah sosial dalam kehidupan sehari-hari manusia.
Kembalikanlah manfaat ponsel itu kepada fungsinya yang hakiki sehingga tidak ada lagi muncul istilah ponsel mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Cukuplah ponsel itu hanya mendekatkan yang jauh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H