Mohon tunggu...
Hery Sinaga
Hery Sinaga Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil

-Penulis konten -saat ini sedang suka-sukanya menggeluti public speaking -Sedang menyelesaikan buku motivasi -karya novel : Keluargaku Rumahku (lagi pengajuan ke penerbit)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Hopong", Sebuah Situs Budaya dan Sejarah Hindu

17 Januari 2021   22:12 Diperbarui: 18 Januari 2021   02:41 2081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan yang cukup melelahkan menghantarkan kami ke sebuah dusun di Kecamatan Simangumban Kabupaten Tapanuli Utara bernama Hopong. Sebuah dusun yang berjarak sekitar 12 KM dari Simpang jalan Raya kota kecamatan Simangumban.

Rasa penasaran akan tempat beradanya sebuah situs hindu yang sudah beratus tahun lamanya termasuk salah satu potensi wisata yang dimasukkan kedalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2107 sampai dengan 2030 ada di dusun yang bernama Hopong menjadi magnet yang menggerakkan kami untuk pergi kesana dan melihat secara langsung hasil peninggalan sejarah yang menjadi sebuah situs hindu pada zaman dulu tersebut.

Dengan menempuh waktu sekitar kurang lebih 2 jam dari kota Tarutung, akhirnya kami sampai ke dusun Hopong.

Dalam perjalanan menuju Dusun Hopong dari simpang jalan kota Kecamatan Simangumban yang berjarak sekitar kurang lebih 12 KM itu, sekitar 1 KM pertama yang kami lalui, kondisi jalan yang penuh bebatuan yang besar yang kami lewati sempat menyurutkan niat kami untuk menyelesaikan perjalanan itu.

Dalam hati sempat terbersit kalau kalau disepanjang jalan berikutnya akan memiliki kondisi jalan yang sama. Tapi niat itu terlalu kuat untuk dapat disurutkan oleh kondisi jalan dan kami pun melanjutkan perjalanan kami. disepanjang perjalanan pepohonan yang hijau dengan jurang disebelah kanan jalan cukup menambah nuansa perjalanan yang ekstrim.

Tapi kondisi itu tidaklah terlalu sulit untuk dilewati bagi siapapun yang ingin memiliki niat untuk pergi berkunjung ke dusun Hopong.

Ditengah perjalanan kami dapati beberapa perkampungan dengan jumlah penduduk nya yang tidak terlalu banyak. Hamparan sawah dan kebun karet tampak menghiasi disisi kiri kanan jalan.

 Melalui jalan yang bebatuan yang mengguncangkan badan diatas sepeda motor hampir selama 1 jam, akhirnya kami sampai juga di dusun Hopong. Sebuah mesjid berdiri gagah menyambut kami. sesampainya kami disana, kami mendapati seorang Ibu dengan anak-anaknya sedang duduk santai di teras rumah mereka.

Kami pun memarkirkan sepeda motor kami dan menghampiri si ibu. Senyum, sapa, salam adalah sikap yang kami tunjukkan kepada mereka. obrolan yang cukup hangat mewarnai siang hari itu.

Rumah penduduk yang terbuat dari papan yang terlihat sudah tua dan sudah berusia ratusan tahun merupakan bukti peninggalan sejarah penduduk beragama hindu pada zaman dulu yang pernah berdiam di dusun Hopong tersebut.

media86.blogspot.com
media86.blogspot.com
Setelah berbincang hangat dengan ibu dan anak-anaknya, kami pun menjumpai salah seorang perangkat desa yaitu Lesatri boru Tambunan yang sedang berbincang dengan penduduk lainnya. kami pun mencari tahu asal muasal nama Hopong itu sendiri.

Menurut penuturan dari si Ibu Lestari Tambunan, bahwa Hopong itu berasal dari nama buah hopong yang penamaannya diberikan oleh masyarakat yang sudah lama berdiam dan tinggal disana.

Menjadi sebuah catatan sejarah Kabupaten Tapanuli Utara bahwa dusun Hopong merupakan dusun tertua yang ada di Kabupaten Tapanuli Utara yang sudah berusia 400-an tahun. Dengan penduduk yang berjumlah sekitar 42 rumah tangga mendiami dusun hopong dan 95 persen penduduknya memeluk agama islam adalah bukti dari sebuah eksistensi suatu dusun lintas generasi.

Dusun yang sudah berbatasan langsung dengan sipirok itu, sampai saat ini tidak teraliri listrik. Penduduk pun memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya untuk menerangi setiap rumah, yang walaupun hanya dimulai dari pukul 18.00 s/d pukul 22.00 wib.

Namun itu sudah membuat penduduk dapat beraktivitas dimalam hari dengan diterangi cahaya lampu terlebih anak-anak dapat belajar lebih baik lagi. setelah berbincang lama, kami pun diajak untuk melihat langsung situs hindu hopong.

Tepat berada diselah diantara rumah penduduk, deretan batu berukiran menyerupai wajah manusia yang sudah berumur ratusan tahun disusun rapi. Ada sekitar 17 batu yang tersisa hasil peninggalan sejarah hindu pada jaman dulu.

Tidak tahu berapa jumlah pasti dari batu-batu itu. menurut penuturan Ibu Lestari Tambunan , bahwa ada beberapa batu yang hilang karena dicuri oleh orang yang tidak diketahui. Dan batu itu merupakan sisa dari batu yang dikumpulkan dimana sebelumnya batu itu berada dilahan kebun kopi dari penduduk terpisah satu sama lain.

Batu itu merupakan sebuah nisan yang diukir dari seseorang yang sudah meninggal. Ukuran batu disesuaikan dengan usia dari orang yang meninggal.

Setelah mengambil beberapa foto dan dokumentasi, akhirnya kami diajak untuk menikmati secangkir teh hangat oleh Ibu Lestari Tambunan.  Sebuah harapan dari Ibu Lestari Tambunan dan masyarakat dusun hopong akan sebuah kemajuan peradaban terselip dalam perbincangan hangat kami sambil menikmati secangkir teh hangat.

Harapan itu menghantarkan kami meninggalkan dusun Hopong untuk kembali pulang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun