Bulan-bulan tanpa kursi kayu...
Tanpa sengatan mentari senja menusuk kulit,
Yang selalu bersembunyi malu di balik tarian daun cemara..
Bulan-bulan tanpa pena dan secarik kertas
Yang terurai lembut di atas kursi kayu itu...
Hanya untuk menyalin ulang pokok materi
Dari siulan dan kadang 'lelucon" sang guru di depan..
Bulan-bulan tanpa kursi kayu..
Tanpa mendengar (lagi) riuh suasana ruang itu..
Riuhnya alat di atas kepala pemanggil angin..
Juga riuh manusianya yang lagi belajar dan pengajar..
Dinamika ruangan yang penuh warna; ragam kulit, rambut dan pendapat..
Dan mungkin tak akan lagi..
Kadang merindu...
Rasa hangat memanas duduk d kursi kayu itu hinggga berjam..
Tanpa peduli pada perut yang memberontak terlalu sering
Namun jurus ‘tahan’ pasti mempan.. hilang..
Seperti suara parau sang guru..
Bulan-bulan tanpa kursi kayu..
Menyebar asap mengepul bebas
Bak cerobong asap kereta..
Atau tempat pembuangan, pembakaran benda bekas..
Ditemani gelak tawa bahkan sedikit disisip ‘syair revolusi”
Menenggak dalam air hitam khas kaki lima..
Kadang merindu.. kursi kayu itu
Si saksi bisu sejarah jalan peraih sarjana..
Tapi dengannya aku lama berkawan…
Dan mungkin tak akan lagi..
Godean, Djogja, 08 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H