Mohon tunggu...
Hery Azwan
Hery Azwan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Serial Jalan-jalan ke Turki

18 Agustus 2015   14:11 Diperbarui: 18 Agustus 2015   14:11 2028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengunjungi Turki merupakan keinginan lama saya yang terpendam. Keinginan pertama muncul setelah membaca buku berjudul 'Istanbul' karangan Orhan Pamuk. Buku ini banyak memberikan insight mengenai seluk beluk Istanbul. Suasana selat Bosphorus dengan kapalnya tergambar jelas. Juga, diceritakan ritual agama Islam yang kini hanya dijalankan oleh segelintir warga Turki, terutama oleh sebagian besar kalangan bawah. Sementara, kalangan elit tidak lagi mempraktekkan ritual Islam. Sebagian besar mereka mempraktikkan sekularisme yang dirintis oleh Mustafa Kemal Ataturk.

Keinginan kedua muncul setelah adik ipar saya pulang dari umroh plus Istanbul. Saya dikasih oleh2 berupa T-Shirt bergambar trem dan bertuliskan Istanbul. Puhhh, sangat menggoda.

Keinginan ketiga muncul ketika teman istri saya yang baru menamatkan PhDnya dari Belanda menceritakan betapa indahnya Turki di antara negara Eropa lainnya. Selain itu, banyak peninggalan sejarah di sana.

Keinginan keempat muncul saat menyaksikan film 99 Cahaya di Langit Eropa hasil adaptasi novel Hanum Rais. Penggambaran yang indah di sekitar selat Bosphorus membuat hasrat ini semakin menggebu, pengen segera terbang ke sana.

Akhirnya, keinginan terpendam ini terwujud tanggal 27 April s.d. 7 Mei 2015 lalu. Kami berlima (istri saya Yuli beserta 2 saudaranya Teh Evy dan Temy, saya dan suami kakak ipar saya Aa Ferry) berkesempatan mengunjungi Turki: Istanbul, Kusadasi, Selcuk, Pamukkale, dan Cappadocia.

Bagi kalangan awam Turki sering dianggap sebagai representasi negara Islam. Hal ini cukup logis karena dulu Turki pernah diperintah oleh imperium besar di dunia Ottoman selama 5 abad. Karena itu, tidak heran kalau Istanbul sering dimasukkan sebagai paket tambahan dalam perjalanan umroh. Padahal, sejatinya kini Turki adalah negara sekuler, bukan negara berdasarkan agama Islam. Ini terjadi sejak tahun 1923 saat republik Turki berdiri dan kekhalifahan Ottoman dideklarasikan sebagai lembaga terlarang tahun 1924.

Persiapan

Awalnya kita berencana berangkat dengan travel dari Indonesia, tapi 10 hari sebelum hari H travel membatalkan keberangkatan karena kuota peserta tidak tercapai. Kuota 15 orang hanya terisi 10 orang. Masih kurang 5 orang lagi.
Kami menduga2 pembatalan ini mungkin karena pemberitaan mengenai ISIS yang sangat gencar di media. Sempat juga terpikir kami menunda lebih dulu keberangkatan sambil menunggu keadaan aman. Setelah mempertimbangkan beberapa hal akhirnya kami memutuskan untuk berangkat sendiri dengan kombinasi menggunakan travel lokal di Turki.
Tiket kami pesan secara on line dari Turkish Airlines seharga $971 per orang. EVisa juga kami beli langsung dari website seharga $25 per orang. Memang kita bisa memperoleh visa secara on arrival di Istanbul tapi khawatir akan antri panjang. Jadi pilihan apply eVisa secara online sangat disarankan.

Ada yang perlu diperhatikan dalam mengurus eVisa ini. Data yang di paspor harus sama benar dengan data di visa. Jika data berbeda, nanti bisa ditolak di imigrasi Turki. Karena harus mengurus eVisa untuk 5 orang sekaligus, saya jadi terburu2 dan kurang hati2. Akibatnya, ada 3 evisa yang salah, yakni nama saya sendiri kurang satu kata, dan tempat lahir kakak ipar saya di Cianjur, padahal harusnya di Bandung. 2 eVisa terdeteksi lebih awal ketika belum berangkat. 1 eVisa terdeteksi di bandara Soekarno Hatta saat check in oleh petugas. Untunglah petugas tadi sangat baik. Solusinya, kami membuat eVisa baru lewat iPad dan setelah proses selesai kami mengirimnya ke email petugas tersebut untuk diprint. Terima kasih untuk Mbak Tiara Alfianita dan Mas Herman Junaedi atas kebaikannya yang tak terkira.

O, ya, selama di Turki kami mengikuti paket 9 hari 8 malam yang dirancang Travelshop Turkey dengan biaya €849 per orang double dan €839 per orang triple. Perjalanan ke Kusadasi, Pamukkale dan Cappadocia menggunakan pesawat sehingga perjalanan lebih nyaman.

Perjalanan ke Turki direncanakan 14 jam dengan transit di Singapura. Lucunya, tidak ada waktu luang di Changi untuk shopping karena setelah turun penumpang harus langsung masuk ke Gate dengan pemeriksaan ulang. Sebuah proses yang mubazir dan menyusahkan penumpang asal Jakarta.

Di pesawat ada 3 kali makan: 1 makanan ringan, 2 makan berat. Makan pertama, sesaat setelah lepas landas dari Jakarta, penumpang hanya diberi sandwich mini. Makan kedua, setelah lepas landas dari Changi penumpang diberi makanan ala Turki. Keju, tomat, yoghurt, buah zaitun, menjadi ciri khas. Makan ketiga, menjelang mendarat di Istanbul. Menunya telur orak-arik dan sosis ayam, plus roti oles.

Selama di pesawat aktivitas yang bisa dilakukan antara lain menonton film. Film yang berhasil saya tamatkan yaitu 'Life of Pi' dan 'Gravity'. Kedua film ini merupakan film yang penuh makna hidup. Film pertama berkisah tentang perjuangan seorang pemuda India yang bertahan hidup di tengah lautan bersama seekor harimau bengali. Yang menarik, kisah pencarian jati diri sang anak akan kebenaran. Dia mempelajari dan melakoni berbagai ritual agama secara bersamaan. Misalnya, setelah salat ala Islam, dia berdoa sebelum makan ala Kristen. Akhirnya sang ayah mengarahkannya agar jangan memeluk banyak agama, tetapi lebih kepada penggunaan rasio atau akal.

Film kedua sangat menarik karena yang main sepanjang film hanya 2 orang, yakni Joddie Foster dan George Clooney yang berperan sebagai astronot. Mereka bertugas memperbaiki wahana antariksa, namun akhirnya harus terpisah karena debu angkasa yang menghantam wahana mereka. Perjuangan bertahan hidup di angkasa ini sangat mendebarkan. Di ruang tanpa batas ini tidak jelas lagi mana barat mana timur, mana atas mana bawah, mana siang mana malam. Sungguh adegan yang sangat mengguncangkan jiwa.

Tiba di Istanbul

Pukul 06 lebih sedikit kami tiba di Ataturk International Airport. Di awal hari ini kesibukan di bandara mulai menggeliat. Segerombolan penumpang bergegas menuju meja imigrasi. Yang agak membingungkan, tulisan tentang negara kita kurang jelas di mana posisinya. Rupanya ada beberapa kategori antrian imigrasi: penduduk asli Turki, negara yang tidak memerlukan visa, dan negara yang memerlukan visa.

Tampak Raja Kuis Helmy Yahya juga baru turun dari pesawat. Sepertinya naik pesawat yang sama dengan kami, namun beda kelas. Hi hi... Karena bergegas ke toilet, kami tak sempat berfoto ria dengan raja kuis Indonesia ini. Padahal kepingin lho, biar aura suksesnya menular.

Nah, saat menuju pemeriksaan imigrasi kami sempat kebingungan dan hanya mengikuti gerombolan. Akibatnya, kami salah antri di negara yang tidak butuh visa seperti Malaysia. Mentang2 mukanya mirip, eh kita ikutin dia, padahal salah. Untung belum terlalu lama antrinya. Kami harus berjalan lebih jauh lagi mencari pos yang tepat. Interior bandara Ataturk biasa saja. Tidak semegah bandara Changi. Lantainya hanya marmer atau granito saja, bukan karpet.

Antrian di pos imigrasi semakin panjang. Arus penumpang yang baru datang semakin deras. Antrian tidak ada yang mengatur sehingga agak semrawut. Setelah lebih dari 20 menit kami lolos dari imigrasi. Untunglah visa sudah diperoleh secara on line sehingga tidak harus antri di loket visa on arrival. Tujuan selanjutnya, ambil bagasi. Nah, di sini kita harus teliti melihat layar monitor karena posisi bagasi kita bisa berada di mana saja. Dengan sok yakin aku bergerak ke sebelah kanan. Eh gak tahunya yang benar di sebelah kiri. Padahal sudah ngos-ngosan berjalan cepat. Lumayanlah buat mengurangi lemak tubuh.

Di bandara banyak juga portir, tapi trolley juga banyak tersedia. Di tiap Bagaj Alim (Tempat Pengambilan Bagasi) pasti ada. Hanya saja terkunci. Kita harus memasukkan koin 1 lira untuk bisa mengambil trolley ini. Berhubung tas kami besar2 dan banyak, kami mengambil 2 trolley. Sebelum keluar, kami juga sempatkan mengambil uang lira di atm. Ratenya cukup bagus, 1 lira setara dengan Rp5.000. O, ya dari atm di Turki sampai ke kota kecil di pelosok, umumnya kita bisa mengambil 3 jenis mata uang, yakni Euro €, US$, dan Turkish Lira ₺. Unik juga ya. Rasanya di negara kita hanya rupiah yang bisa diambil dari ATM. Atau ada pembaca yang tahu kalau US$ bisa diambil di sebagian tempat? Entahlah. Ini menunjukkan Turki sangat terbuka dan memanjakan orang asing. Bahkan paket wisata ditawarkan dalam euro.

Dengan membawa bagasi kami keluar, namun rupanya tak ada pemeriksaan atau pencocokan barang dengan kartu bagasi oleh petugas. Wah, bahaya juga nih kalau ada yang salah ambil barang. Rupanya di penerbangan lokal juga seperti ini. Tak ada seremonial pencocokan barang dengan kartu.

Di luar sudah menunggu Abdillah Arin, travel consultant dari Travelshop yang membawa papan namaku dalam ukuran besar. Wah, senang juga ada yang menjemput. Mulanya agak khawatir jug kalau kalau travel ini tidak komit dengan perjanjian. Abdullah rupanya sudah lebih dari 1 jam menunggu. Sebelum menuju mobil, salah satu dari kami membeli nomor perdana agar tetap eksis selama di Turki. Harganya lumayan mahal, 80 lira atau sekitar Rp400.000 dengan kapasitas data 1 GB dan telepon 90 menit. Kalau di kita sih paket iPhone XL Rp50.000 sudah dapat 1,5 GB dan telepon gratis sesama XL selama 200 menit. Ya sutralah, meskipun mahal, tapi untuk eksis berapapun dibeli.

Kami dijemput dengan mobil khusus pariwisata kapasitas 15 orang yang sangat nyaman. Mobil ini juga menyediakan tempat khusus bagasi di belakang. Hanya kami yang dijemput saat itu, sehingga kami berlima merasa sangat eksklusif. Sepanjang jalan, mobil jenis ini berseliweran. Pariwisata memang menjadi salah satu andalan perekonomian Turki. Tak salah kalau Turki menduduki urutan 6 dunia sebagai negata yang paling banyak dikunjungi setelah Perancis, Amerika Serikat, Spanyol, China dan Italia.

Suasana di tempat menaikkan penumpang agak crowded. Banyak klakson bertalu-talu. Tapi untunglah tak ada yang marah2 seperti di sini.

Mobil melaju melewati jalur utama. Tidak ada tol di dalam kota Istanbul. Di tengah ada jalur busway yang uniknya tidak bersentuhan sama sekali dengan jalan biasa sehingga kecepatan bus bisa diandalkan. Para penumpang berjejal, tak jauh beda dengan di Jakarta. Kualitas busnya mirip dengan bus yang beroperasi di Singapura. Tampaknya dari supplier yang sama. Tinggi plafon juga sangat rendah, laksana bus biasa, bukan seperti busway. Tiket bus ini terintegrasi dengan transportasi lain seperti trem dan kereta bawah tanah. Ongkosnya 4 Lira jauh dekat atau sekitar 2 Lira jika menggunakan kartu pas khusus. Bagi turis yang cuma sehari dua hari di Istanbul tentu tak perlulah membeli kartu ini. Tapi kalau Anda berniat mengubek2 Istanbul dengan public transport dan durasinya lebih dari 3 hari, maka kartu pas ini sangat diperlukan.
O ya, yang juga perlu diperhatikan bagi yang ingin berliburan di Turki adalah cuaca. Saat kami keluar dari bandara menuju bus, suhu sekitar 12 derajat celcius sehingga masih diperlukan pakaian hangat, meski gak usah terlalu tebal. Saat itu padahal sudah di akhir bulan April yang berarti SPRING menuju SUMMER.

Jarak hotel kami sekitar 18 km, ditempuh dalam waktu sekitar 40 menit karena ada sedikit sendatan. Tapi gak semacet Jakarta. Hotel kami 900 meter dari Taksim Square, salah satu lapangan yang cukup dikenal di dunia karena sering menjadi tempat demonstrasi. Jarak ini tentu agak jauh dari akses public transport, sehingga kami harus naik taksi. Memang jaraknya tidak terlalu jauh, tali konturnya mendaki sehingga kami khawatir bisa terjatuh di jalan. Sebenarnya sih karena malas aja. Inilah dilema menggunakan biro perjalanan. Kalau kita jalan sendiri, kita bebas memilih hotel di lokasi yang kita mau. Biasanya hotel pilihan travel biro agak sulit ditemukan di booking.com atau agoda.com. Biasanya juga mereka lebih senang menampilkan websitenya dalam bahasa lokal, bukan bahasa Inggris.

Bahasa Inggris bukanlah bahasa yang dikuasai rakyat Turki. Sebagian besar supir taksi, penjual makanan, bahkan resepsionis hotel sulit berbahasa Inggris. Karena itu kita harus hati2 dalam berkomunikasi, terutama dengan sopir taksi. Ketika kita tanya alamat tertentu mereka menjawab tahu, tapi kenyataannya berputar2 karena tidak tahu atau karena modus untuk memperbesar nilai argo taksi. (Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun