“Tempat sebesar dan sebagus ini, musholanya kecil banget deh”, kata seorang ibu yang sebel gara-gara dia harus berhimpit-himpitan saat melaksanakan ibadah sholat lohor di Kampung Gajah.
“Tolong bilang ya sama atasannya agar musholanya diperbesar dan tempat wudunya dipisah antara laki-laki dan perempuan”, tunjuk sang ibu kepada seseorang berbaju putih yang diduga sebagai pegawai cleaning service tempat wisata tersebut.
Ternyata orang tersebut pengunjung juga. Gakpapalah, yang penting si ibu telah menumpahkan uneg-unegnya. Untung orang yang diduga pegawai tersebut tidak marah diteror seperti itu.
Kampung Gajah merupakan nama baru dalam peta wisata di Bandung. Belum sampai setahun, gemanya telah menyebar kemana-mana sehingga pas pada tanggal 1 Januari yang lalu, pengunjung tumplek di sini. Tak ada ruang tersisa untuk sekadar bergerak dengan leluasa. Parkiran di sepanjang bukit telah penuh. Saat itu sekitar pukul 12.00, kami harus menunggu lebih setengah jam untuk mencari tempat parkir setelah masuk dengan tiket seharga 5.000 per orang dan 10.000 per mobil.
Kurang jelas bagaimana asal usul nama Kampung Gajah. Menurut pemiliknya, Jeffry Kurniawan, nama ini secara tidak sengaja mencuat gara-gara banyak patung gajah menghiasi pintu gerbang. Gajah identik dengan besar, jadi sesuailah dengan lokasi wisata ini yang luasnya sekitar 85 hektar dan akan dikembangkan lagi hingga 220 hektar. Wow, kebayang kan luasnya.
Kami berangkat dari rumah sekitar pukul 11 dan tiba sekitar pukul 12 lewat jalur tengah yang melewati Cihanjuang, Cimahi sehingga tidak terkena macet. Padahal, jika lewat Setiabudi, macetnya sudah dimulai dari sebelum terminal Ledeng. Barulah menjelang tiba di gerbang masuk, terlihat sedikit antrian. Kendaraan yang masuk dan keluar silih berganti memenuhi jalan yang sempit di lereng bukit jalan Sersan Bajuri. Saat malam pergantian tahun, konon kemacetan berlangsung hingga pukul 04 pagi.
Wisata Kuliner
Kampung Gajah memang tempat wisata yang lengkap. Wisata kuliner di sini bukan sebagai pelengkap seperti di tempat wisata lain, tetapi jadi suguhan utama. Semua jenis menu dapat ditemukan di sini dari menu tradisional, menu Asia dan menu Eropa. Bakso, sate, nasi timbel, berdiri sejajar dengan teriyaki, bento, unagi, dan udon. Sosis bakar dapat ditemukan di gerai-gerai, sementara wagyu seharga Rp 350.000 juga dapat ditemukan di restoran Jepang yang ada di sini.
Bisa dibilang, harga makanan di sini setara dengan harga makanan di café-café dan restoran di sepanjang Sersan Bajuri seperti the Peak, Kampung Daun dan Sapu Lidi. Sate ayam 5 tusuk dengan lontong dijual seharga Rp 23.000. Jus-jusan dijual seharga 15.000 s.d. 20.000. Cappucino dan Latte dijual mulai dari harga Rp 23.000-an.
Karena masih pendatang baru, kami sekeluarga tidak punya gambaran akan duduk di mana untuk melepas lelah. Begitu melihat ada restoran kosong, langsung kami datangi. Di sebuah restoran Jepang kami mengincar sebuah saung ala tatami. Tak dinyana, seorang waitress datang dan memberitahu bahwa syarat untuk duduk di saung nilai transaksi minimal 500.000. Bah, mahal kali? Kami kan tak semuanya doyan makanan Jepang. Akhirnya kami memilih pindah ke kursi dan meja biasa.
Adapun wahanayang ada di sini memang cukup unik. Ada ATV yang dapat berjalan di segala medan. Ada acara menunggang kuda di sepanjang tebing. Ada bumper boat yang bertenaga baterai. Ada segway, kendaraan masa depan tanpa polusi. Flying fox atau sky rider sejauh 400-an meter. Dan masih banyak permainan lain, baik yang sudah ada maupun yang sedang dibangun (under construction). Kalau dihitung-hitung, jika kita mencoba semua permainan, jatuhnya akan lebih mahal dari Dufan.
Dengan konturnya yang berbukit-bukit, kita harus siap naik turun tangga untuk menuju ke suatu wahana. Bahkan dari samping wahana tertentu tanahnya masih gundul, belum disemen atau dilapisi paving blok. Tampak juga eskavator teronggok di sana. Saat pengunjung sepi tampaknya baru eskavator beroperasi menguruk tanah.
Bisnis Musiman atau Abadi?
Karakter bisnis wisata di Bandung memang musiman. Setelah 3 tahun, harus ada inovasi. Jika tidak maka biasanya akan dijauhi oleh pelancong. Misalnya saja All About Strawberry yang kini sudah mulai sepi, bahkan terancam ditutup. Menurut karyawannya saat kami ke sana dua bulan lalu, semua peralatan sudah dipindah ke Tahu Lembang. Padahal beberapa tahun lalu, tempat ini pernah menjadi favorit bagi pelancong, termasuk orang Jakarta. Tak jauh dari situ ada Katumiri.
Fasilitas Umum
Fasilitas ibadah sangat minim dibanding banyaknya pengunjung. Mungkin kurang diantisipasi oleh pengelola. Mushola sangat kecil, hanya muat sekitar 10 orang. Tempat wudu juga bercampur antara laki-laki dan perempuan. Belum lagi, air tergenang dan bercampur dengan sedikit debu yang mengendap sehingga jalan ke mushola dari tempat wudu sedikit kotor.
Fasilitas toilet juga dirasakan kurang. Air kurang mengalir. Bahkan di toilet pria, air di urinoir hanya keluar sedikit, kalau tidak bisa dibilang mampet sama sekali. Beberapa bercak kotoran juga menghiasi urinoir. Tampaknya belum ada petugas khusus yang rutin membersihkan toilet. Dalam hal ini pengelola Kampung Gajah harus meniru fasilitas umum di mall-mall. Tiap mushola dijaga satu petugas. Tidap toilet juga dijaga satu petugas cleaning service yang rutin membersihkan toilet dalam jangka waktu tertentu (misalnya 15 menit sekali, sesuai kebutuhan).
Fasilitas tempat pembuangan sampah sangat minimal dan dalam bentuk kecil. Tidak ada tong sampah ukuran besar seperti di Dufan atau Ancol. Mengantisipasi hari libur nasional, sudah seharusnya tong sampah besar bisa diletakkan di banyak tempat strategis.
Wisata yang ditawarkan Kampung Gajah sepintas menggunakan Blue Ocean Strategy. Wisata kuliner dipadukan dengan wisata permainan anak dan wisata belanja. Bahkan nantinya bakal ada waterboom dan convention hall yang bisa menampung 1.000 undangan. Bisa dibilang nantinya semua yang dibutuhkan pelancong ada di sini. Kebayang kan gimana bakal macetnya nanti kalau semua fasilitas selesai dibangun semua.
Petugas di Kampung Gajah tampaknya belum dilengkapi dengan seragam sejauh yang saya amati. Seandainya ada yang berseragam, tampaknya seragam mereka kurang eye-catching, sehingga pengunjung sulit membedakan mana yang pekerja mana yang pengunjung.
Angin di Kampung Gajah cukup kencang, meksi terkadang tak mampu menangkis teriknya matahari. Perpindahan dari satu wahana ke wahana lain sudah selayaknya dinaungi atap agar pengunjung tidak kepanasan atau kehujanan.
Selebihnya, Kampung Gajah memang layak dikunjungi. Hasil kreativitas dan inovasi yang disandingkan dengan keberanian untuk berinvestasi menghasilkan sebuah tempat wisata alternative yang bisa digemari oleh konsumen. Sekarang buah kreativitas dan kerja keras itu sedang panen.
Bagi calon pengunjung, kalau mau puas, kunjungilah pada hari biasa bukan liburan sehingga kita tidak perlu berdesak-desakan. Btw, kalau Anda puas dengan informasi ini dan tertarik untuk berkunjung ke Kampung Gajah, jangan lupa sebut blog ini di depan pintu masuk. Dapet diskon dong? Ya nggak ngaruh lah. Emang saya siapa. He he….Udah lama nggak ngeblog. Gagap juga euy....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H