Mohon tunggu...
Herya Media
Herya Media Mohon Tunggu... -

Penulis, Editor, Penerbit, Self-Publishing House, Komunitas Kreatif HeryaMedia

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Balada 0,001

15 Februari 2014   15:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:48 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah Anda membandingkan hasrat membaca orang-orang kita dengan hasrat baca orang-orang Jepang? Atau jangan jauh-jauh deh, bandingin aktifitas baca masyarakat kita dengan negara tetangga: Malaysia dan Singapura? Hasilnya? Sungguh sangat mengerikan. Padahal kata orang bijak membaca itu akan membuka cakrawala, memperluas dan memperdalam pengetahuan, dan memperkaya perspektif. Membaca itu akan membuat kita berkeliling dunia hanya bermodalkan seharga buku—jika kita baca buku travelling—tanpa kita mengunjungi tempat-tempat tersebut sekalipun.

Membaca ialah aktifitas berguna dan positif untuk mempertinggi peradaban, tidak mudah diperdaya oleh bangsa lain. Membaca ialah instrumen untuk terlepas dari belenggu kebodohan yang kian membelenggu bangsa kita. Membaca merupakan perintah agama—kata “Iqro” bermakna “bacalah”—yang tentu saja wajib dilakukan. Intinya, dengan banyak membaca maka alam pemikiran kita akan semakin kaya dengan makna, kata. Biasanya orang yang kerap membaca akan berdampak pada cara bersikapnya yang bijaksana dan selalu memposisikan dirinya sebagai pembelajar.

Orang yang handap asor alias rendah hati biasanya dibentengi oleh pengetahuannya yang sangat luas—yang tentu saja diperoleh dari kegiatan membaca. Sebaliknya, orang yang tinggi hati, cenderung senang memamerkan pengetahuannya yang sedikit kepada orang lain disebabkan oleh kadar pengetahuannya yang apa adanya. Cuma segitu-gitunya. Dan bahayanya orang seperti itu cenderung akan menganggap bahwa apa yang diketahuinya sudah pasti tidak diketahui orang lain. Hanya dia yang “berhak” atas pengetahuannya itu.

Pengetahuan yang luas, yang kemudian bermuara pada kebijaksanaan sikap dan pandangan didapat dari banyak membaca. Sayangnya, hasrat masyarakat kita untuk membaca sangatlah rendah. Seperti judul tulisan ini, presentasenya hanya 0,001. Artinya dari 1000 orang hanya 1 orang yang gemar membaca. Bayangkan, dari 1000 orang kita yang suka/ gemar/ hobi membaca hanya 1 orang saja! Ketika kami membaca data ini luar biasa keprihatinan yang mendera.

Solusi

Menulis dan membaca ibarat suami dan isteri yang keduanya saling melengkapi. Keduanya saling membutuhkan, tidak bisa yang satu menegasikan yang lainnya. Biasanya diawali dengan membaca, lama kelamaan si pembaca ini akan timbul hasrat dengan sendirinya untuk jua menulis. Begitu juga bahwa ketika ia sudah sering menulis maka secara otomatis kegiatan membaca juga akan dilakukannya.

Kami ada adagium seperti ini. Membaca tanpa menulis ibarat orang makan secara terus-menerus tanpa dikeluarkan. Memang dengan seringnya membaca itu ia akan pintar, banyak pengetahuannya namun jika tidak dituliskan apa-apa yang sudah diketahuinya itu sesuai dengan perspektifnya akanlah sia-sia karena hanya dialah yang tahu. Okelah jika kemudian hasil membacanya itu ia amalkan dengan cara diobrolkan—pidato, debat, pembicara seminar, dst—namun jika setiap apa yang diobrolkannya itu tidak dituliskan maka akanlah sia-sia. Substansi obrolan hanya sepintas saja, berbeda dengan menuliskannya yang akan kekal-abadi sampai meninggal sekalipun.

Kemudian menulis tanpa membaca seperti orang yang terus-terusan memberi kepada orang namun dirinya sendiri tak pernah kerja/ usaha. Lama-kelamaan harta/ ilmu yang diberikannya itu akan habis jika tak pernah diisi atau diperbaharui. Orang yang rajin menulis namun tanpa dibarengi aktifitas membaca maka tulisannya akan kering, berputar disitu-situ saja, dan hampa makna. Mengapa? Karena kurangnya pengetahuan yang hendak dia share kepada orang lain.

Makanya itu, kedua-duanya: membaca-menulis merupakan dua kegiatan yang saling berkelindan dan tidak dapat dipisahkan.

Lalu, apa kaitannya dengan hasrat masyarakat kita yang sangat rendah minat bacanya?

Hal tersebut bisa dikatrol oleh para penulis—baik amatir, menengah maupun mahir—yang terus berkarya. Orang yang sudah mengkonsistenkan kegiatan menulis biasanya sudah melewati masa bertajuk “mengkonsistenkan diri untuk membaca”. Mereka yang suka menulis, bahkan konsisten, kini makin banyak membentuk grup/ kelompok di jejaring sosial untuk jua mengajak orang atau paling tidak memotivasi baik langsung maupun tidak langsung yang belum mau menulis untuk jua menulis. Nah, jika sudah terbentuk motivasi untuk bisa menulis otomatis kegiatan membaca akan dilakukannya karena prasyarat seseorang bisa menulis itu ya membaca.

Jika hal tersebut konsisten dilakukan maka menaiknya angka baca masyarakat kita bukanlah mimpi di siang bolong. Orang-orang yang suka membaca—karena untuk menopang kegiatan menulisnya—akan semakin banyak. Begitu juga orang-orang yang sudah tergerak hatinya untuk mulai berkegiatan literasi bisa juga menularkan kesukaannya itu kepada orang tua, adik, kakak, teman, tetangga, atasan, bawahan dan seterusnya sehingga jumlahnya akan terus terkulminasi.

Aktifitas mengajak dan memotivasi untuk membaca dan menulis baik langsung maupun tidak langsung tersebut harus ditularkan sampai ke daerah-daerah. Jangan melulu di kota besar atau kota satelit saja. Sahabat-sahabat kita yang didaerah yang belum terkoneksi dengan media sosial atau belum terjangkau dengan toko buku dan perpustakaan wajib kita rangkul  supaya virus gila baca dan bahkan gila menulis kian menyebar. Semakin banyak orang yang suka membaca (dan menulis), negeri ini bersiaplah menjemput abad baru. Abad yang penuh dengan gilang-gemilang. Abad yang sarat dengan prestasi dan pengetahuan.

Jika hal diatas terus dilakukan, bukan mustahil apa yang dilakukan di Jepang yang mana di stasiun, terminal, bandara, mall, orang-orang masih terus memegang buku dan membacanya, juga bisa terjadi di Indonesia. Mungkin 20, 30, 40 tahun lagi bangsa kita juga akan menjadikan alQuran, buku sejarah, politik, sosial, komik, novel dan lainnya sebagai senjata di terminal, bandara, stasiun bahkan ketika sedang mandi sekalipun. Dengan begitu, harapannya, angka 0,001 bisa dikatrol menjadi 0,01, 0,1 bahkan 1. Jika 1% maka artinya dari 240 juta orang penduduk negeri ini ada setidaknya 2,4 juta yang gemar membaca. Sangat mending!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun