Mohon tunggu...
Herya Media
Herya Media Mohon Tunggu... -

Penulis, Editor, Penerbit, Self-Publishing House, Komunitas Kreatif HeryaMedia

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jejak-jejak Revolusi Budiman dalam Memoir Sejarah

6 Maret 2014   14:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:11 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DATA BUKU

Judul Buku : Anak-Anak Revolusi (Buku 1)

Penulis : Budiman Sudjatmiko

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : 2013

Tebal : xv + 473 halaman

Harga : Rp 95.000

'"Klik", terdengar suara pengunci pistol itu ditarik. Pistol itu begitu dingin, seperti es yang ditempelkan ke tubuh". (Hal 73).

Membaca sepotong kalimat itu seakan membuat nafas tercekat, terhenti sesaat. Jantung terasa berdegup keras membayangkan kondisi yang sebenarnya dialami Budiman Sudjatmiko ketika persembunyiannya diketahui intel yang dititahkan rezim. Budiman dan beberapa temannya sesama aktifis Partai Rakyat Demokratik (PRD) terkepung di sebuah rumah, di pinggiran Jakarta, karena kurirnya tertangkap. Iapun pasrah dengan nasib. Kemungkinannya ada tiga: mati, bui atau buang.

Budiman atau yang biasa disapa Iko di lingkungan terdekatnya, ialah pengecualian dari anak-anak di masanya. Ia avonturir sejati yang tak takut keberingasan rezim. Ia martir yang rela mengorbankan jiwa dan raganya demi keterpenuhan bangunan republik yang ada di relung imajinasinya: berkeadaban dan merdeka. Budiman tak rela perjuangan para founding fathers, bapak pembebas bangsa, sia-sia karena negerinya jatuh ke tangan penguasa yang salah. Penguasa yang terlampau memertahankan kekuasaannya dengan memberangus kekuatan-kekuatan yang berpotensi menandinginya.

Makanya daripada bertahan dalam situasi yang membuat Mbah Dimin, tetangga akrabnya di Cilacap yang mati tragis gantung diri karena terlilit utang, Budiman memilih jalan tak biasa. Ia tak menginginkan Bumi Pertiwinya tercabik oleh tangan-tangan kekuasaan yang menegasikan nurani dan kemanusiaan. Rezim yang membuat seolah baik-baik saja di permukaan, namun secara substansi bernegara, sesungguhnya, berada dalam keterpurukan. Makanya, untuk melawannya, satu kata yang ia "fatwakan": revolusi. Satu kata yang penuh gelora membahana, yang terus membakar semangat kebangsaannya untuk melawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun