KTT BRICS yang di laksanakan 22-24 Agustus 2023 di Johannesburg, Gauteng, Afrika Selatan ternyata akan dihadiri oleh Presiden Joko Widodo. Padahal kita tahu bahwa Indonesia tidak termasuk pada grup tersebut, lebih tepatnya beranggotakan Brasil, Rusia, China, India, dan Afrika Selatan.
Dari beberapa sumber, kehadiran BRICS sebenarnya cukup bagus dalam rangka mengimbangi dominasi maju -boleh disebut negara G7-, yang kadang berlaku tidak “adil”. Keberadaan IMF, Bank Dunia, dan dominasi mata uang dollar terkadang tidak membuat negara berkembang bisa terus naik kelas.
Banyak juga negara “pasien” IMF yang ternyata banyak “tekanan” dan lebih mengarah pada kepentingan barat. Banyak negara sebenarnya tidak mau menjadi “pasien” IMF jika tidak terpaksa sekali. Dari kama mata itu jelas menandakan perlunya tatanan dunia baru, sebagai alternatif dominasi barat, yang seolah tiada pilihan lagi.
Maka sebenarnya cukup tepat bila 5 negara itu bergabung memnajdi kekuatan tersendiri dalam mengimbangi dominasi barat tersebut. Terutama dalam bidang keuangan dan ekonomi. Tidak heran pula ada beberapa negara yang ingin bergabung dengan BRICS tersebut seperti Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Argentina, Aljazair, Bolivia, Mesir, Ethiopia, Kuba, Republik Demokratik Kongo, Komoro, Gabon, Kazakhstan, dan Indonesia termasuk di antaranya.
Indonesia sepertinya masih gamang
Bagaimana posisi Indonesia sendiri untuk ikut bergabung dalam BRICS yang memang secara teori tentu akan lebih menguntungkan. Namun realita di lapangan ternyata masih ada pro dan kontra untuk bergabung.
Ada beberapa pertimbangan yang langkah Indonesia untuk bergabung, di antaranya adalah:
Pertama, ada Rusia dan China. Kita tahu sendiri bahwa dominasi barat begitu kuat dalam hal ini dikomandoni oleh Amerika Serikat. Beberapa negara lainnya kalua bisa berada dalam pengaruhnya. Sedangkan Amerika sendiri punya “musuh bebuyutan” dengan Rusia (turunan Uni Soviet) yang boleh disebut negara adi daya.
Bergabung dengan BRICS, Indonesia tentu ada “dilema” karena di situ ada Rusia yang merupakan lawan Amerika. Tentu saja Amerika tidak akan “rela” bila kehilangan Indonesia sebagai negara potensial yang dalam pengaruhnya.
Pengaruh Amerika di Indonesia begitu kental, dalam bidang ekononi keberadaan PT Freeport bisa dianggap sebagai buktinya. Belum lagi di bidang lainnya seperti keberadaan waralaba asing, yang sangat familiar di masyarakat kita. Begitu dominannya Amerika, ternyata tidak membuat masyarakat khawatir. Justru presepsi kekhawatiran dengan China yang mulai ekspansi di negara, tak jarang masyarakat di ekspresikan dengan demo kehadiran investasi China. Yang presepsinya akan “mengancam” keberadaan tatanan masyarakat.
Kedua, Indonesia tidak dianggap tidak “netral”. Bergabung dengan BRICS tentu – Kembali ada kesan- ada keberpihakan pada blok tertentu dalam hal ini Rusia. Dan Indonesia sendiri sudah menegaskan pada non blok.
Ada dilema tersendiri jika BRICS yang di situ ada Rusia dan China yang dikesankan -walau tidak relevan lagi- sebagai blok komunis. Tentu beda jika Indonesia berada di PBB atau G20 yang disitu selain ada Rusia ada juga Amerika.
Dari serangkaian pertimbangan tersebut maka sebaiknya Indonesia segera memposisikan diri untuk bergabung atau tidak. Jika memang bergabung pemerintah seyogyanya bisa memberikan argumen yang jelas. Kepada kedua belah pihak, ke luar dan ke dalam.
Pihak pertama, yaitu kepada Amerika, dengan memberi argumen bahwa blok ini bekernaaan dengan masalah perekonomian bukan hal yang lain seperti kepentingan militer misalnya. Dengan demikian keberadaan Indonesia di BRICS tidak akan mengancam pihak Amerika dan sekutunya.
Atau bisa juga dengan cara lain dengan menaikkan nilai tawar Indonesia ke Amerika. Misalnya Indonesia tidak akan bergabung dengan BRICS dengan catatan Amerika dan sekutunya bisa berlaku adil. Bahkan bisa ditinggkatkan bahwa negara barat bisa memberikan keuntungan juga terhadap Indonesia.
Atau juga dengan cara yang lain dengan memberikan keadilan kepada kedua belah blok. Indonesia bergabung dengan BRICS di satu sisi sebagai blok Rusia. Di lain sisi Indonesia bisa juga mengikuti blok Amerika, misalnya ikut ke G7 terlepas masuk kriteria atau tidak, yang memang itu grub negara maju.
Pihak kedua, dalam negeri, dalam hal ini pemerintah harus bisa menyakinkan masyarakat bahwa bergabung ke BRICS begitu menguntungkan dibidang ekonomi. Han harus bisa menepis isu dominasi China yang begitu ekspansif ke beberapa negara. Pemerintah harus bisa menyakinkan kepada masyarakat bahwa investasi -dari negara manapun- baik, selagi menguntungkan.
Kesadaran seperti itu harus diserukan bahwa pada saat ini semua serba cair dari segala blok dunia. Seyognya Indonesia bisa berperan dalam percaturan dunia. Dan tentu saja bisa punya nilai tawar kepada negara yang dikatakan adi daya tersebut. Dan BRICS bisa menjadi jalan untuk bekerja sama saling menguntungkan.
Indonesia yang diprediksi akan menjadi negara maju di masa datang mulai saat ini mulai berbenah. Kesadaran saling kerja sama antar bangsa dengan tujuan keuntungan di semua pihak itu yang dicari. Dukungan dan sinergi dengan rakyat jelas diperlukan karena tujuannya lelas untuk rakyat selain kepentingan nasional.
Bagaimana selanjutnya Indonesia bisa menempatkan semua potensinya bisa menjadi pengaruh yang bermanfaat satu sama lain. Dalam kaitan pertimbangan dengan harus ikut BRICS atau tidak. Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia harus bisa mempunyai peran. Maka sebenarnya cukup mudah saja, dengan penuh kajian, Indonesia bisa bergabung kepada ke kelompok yang paling dekat mengacu kepada kaidah syariah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI