Dusun Nanasan Desa Nawonggo Kecamatan Tajinan Kabupaten Malang, beberapa bulan ini menjadi pusat perhatian masyarakat. Tak terkecuali di media sosial (medsos) yang istilahnya viral. Â Hal itu juga diperkuat di liputan media mainstream lokal Radar Malang (24/01/21) perihal desa itu.
Tak ingin kehilangan momentum yang masih hangat, Pada Sabtu (13/02) Bolang Kompasiana melakukan kunjungan ke Desa Ngawonggo. Ada hal menarik yang bisa diangkat dari desa tersebut.
Kami disambut hangat dengan Rahmat Yasin selaku pengelola tempat itu. Ia bercerita bahwa situs yang ada di Ngawonggo  sekitar bulan April 2017 salah seorang warga mengunggah di media sosial. Dan ternyata mendapat sambutan dari warganet  yang berkecimpung di dunia sejarah.
Dan pada akhirnya mereka yang peduli pada sejarah itu baik individu, komunitas, dan pemangku kepentingan lain (di antaranya Balai Pelestarian Cagar Budaya) Â datang ke situs itu untuk dilihat dan di eksplorasi lebih lanjut. Rahmat Yasin dan warga lainnya pun menyambut beberapa orang yang datang sebagai lainnya tamu.
Nah, dari kunjungan warganet itu akhirnya tempat ini menjadi viral, karena menyuguhkan keunikan. Yang satu tentang situs petirtaan yang mengandung sejarah. Dan satu lagi disediakan tempat singgah, yang bentuk fisik mirip kafe. Dua tempat ini ibarat sebagai satu keping (uang logam) dengan dua sisi yang berbeda namun tak dapat terpisahkan.
Sebernarnya di kawasan Malang Raya ini yang di antaranya berupa pengunungan kaya akan sumber air. Dan nenek moyang kita sangat menghormati sumber air itu yang kemudian dibuatkan kawasan yang --boleh dibilang- petirtaan. Bentuk penghormatannya selain disakralkan juga diselipkan tempat pemujaan.
Petirtaan Ngawonggo ini sudah banyak dikaji para ahli yang berkompeten. Saat ini masih berupa kajian yang kesimpulannya masih perlu waktu yang tidak singkat. Dari beberapa ahli dengan berbagai pendapat, dengan kesimpulan sementara bahwa petirtaan ini dibangun di era Mpu Sindok.
Menyebut Mpu Sendok sendiri mempunyai makna yang sangat khusus. Sebab dari sejarahnya Mpu Sindok berada pada zaman sebelum Kerajaan Singosari apalagi Majapahit. Mpu Sindok Sendiri seperti yang dilansir Wikipedia merupakan Raja Kerajaan Medang sekitar abad ke-10 M.
Untuk petirtaannya sendiri di Ngawonggo terdapat empat situs. Tiga di antaranya mudah dijangkau. Sedangkan yang satu lagi agak masuk, yang akses masuknya masih agak kesulitan menjangkaunya. Dan pada saat itu Bolang  tidak sempat mengunjunginya. Dan jika ada kesempatan lain, Bolang akan berusaha mencapai petirtaan yang keempat itu.
Tempat singgah inilah yang -boleh jadi- menjadi viral di media sosial itu, banyak orang yang "kecele" menganggap tempat ini adalah kafe atau tempat makan. Seperti penuturan Yasin dan diperkuat di media resmi di IGnya (tomboan_), tempat ini merupakan tempat singgah para tamu yang ingin mengunjungi Desa Ngawonggo, khususnya di petirtaannya.
Maka tidaklah heran bila yang diutamakan adalah para pengunjung yang sudah reservasi itu. Bagi yang datang tanpa reservasi bisa "bersabar" mengikuti alur dengan mendahukan yang sudah reservasi. Karena Bolang sudah reservasi sebelumnya, kami pun bisa menikmati makanan berat dengan nasi jagung dan lauk ala pedesaan.
Masakannya memang sederhana, namun di sinilah letak keunikannya. Cita rasanya begitu kuat apalagi dinikmati di area alami sambil berkengkrama bersama rekan-rekan. Suguhan minuman tradisional begitu unik yang kaya akan rempahnya.
Untuk bisa menikmati jajanan relatif lebih "mudah", tinggal menuju tempat yang disediakan. Kita tinggal memilih jajanan mana yang kita inginkan dengan cara prasmanan. Boleh dibilang segala sajian adalah model tempo dulu, yang saat ini sulit didapatkan.
Selepas menikmati sajian itu, di Tomboan tidak menerapkan sistem pembayaran. Pengelolanya sendiri tidak mengistilahkan bayar seikhlasnya. Memang disediakan kotak asih. Yang tujuannya sebagai tempat kontribusi bagi kita yang menghargainya. Boleh kita mengisinya dan boleh juga tidak. Untuk urusan itu tinggal kita menilainya sendiri, sepantasnya bagaimana.
Menurut penuturan Yasin. Walau "mengratiskan" suguhannya, Tomboan sejak didirikan tahun lalu, masih tetap eksis. Dari kotak asih itu bisa menutupi semua operasional yang ada. Bahkan beberapa di antaranya bisa untuk membangun sarana lainnya. Jika ada kelebihan, bisa membantu warga sekitar yang membutuhkannya.
Ternyata di Ngawonggo ini kita bisa belajar banyak hal. Mulai dari kearifan lokal nenek moyang kita, tentang pelestarian alam, sampai pada cara "bisnis" yang sederhana namun kokoh.
Laksana mata air jernih yang tak ada habisnya. Ngawonggo bisa menjadi inspirasi bagi kita semua. Menjadi viral ataupun banyak kunjungan ternyata tak membuat warga sekitar untuk "tamak" dengan "monetisasi". Semua bisa berjalan dengan semestinya, asalkan kita bisa saling menghargai dan tahu diri. Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI