Tipikal seperti Darsam tersebut dalam kalangan orang Madura bisa disebut dengan blater. Suatu kalangan yang istilah lain bisa disebut pendekar, jawara, ataupun istilah yang bernuansa konotatif: preman, centeng, tukang pukul.
Di kawasan Madura, blater memiliki pengaruh yang begitu kuat di stuktur masyarakat di samping peran kyai. Keduanya memiliki "wilayah" masing-masing yang tidak saling bersinggungan. Maka pada kawasan tertentu, ada "penguasa" yang blater memiliki peranan penting. Setidaknya untuk menjaga keamanan wilayah.
Walaupun Darsam dan blater lainnya berkecimpung dengan dunia kekerasan bahkan "hitam" sekalipun, bukan berarti hatinya tidak baik.
Seperti Darsam yang membela Nyai Ontosoroh bukan sekadar karena majikannya. Tetapi lebih membela karena ketidakadilan dari pihak kolonial. Tidak itu saja ia pun menggerakkan warga dalam perjuangan itu.
Dalam Bumi Manusia diceritakan perjuangan Minke dan Nyai Ontosoroh dalam menuntut keadilan. Perjuangan yang sudah semestinya dan adu argumen di pengadilan.Â
Namun dalam perjuangan tentu tak akan lepas dengan kekerasan (terutama pada fisik). Dan inilah pentingnya keberadaan Darsam sebagai peran yang semestinya, dan itu memang dunianya.
Kepiawaian Pramoedya Ananta Toer dan Hanung
Walaupun Bumi Manusia tergolong kisah fiktif, patut diacugi jempol  kepada Pram yang mengemas cerita begitu nyata. Pram begitu detail dalam mengilustrasikan situasi dan kondisi sesuai dengan konteks masa itu.
Pram begitu jeli dengan keberadaan blater yang di tokohkan Darsam. Bahwa di Surabaya pada waktu itu tidak saja berkutat pada kalangan orang kulit putih, Tionghoa, dan pribumi yang diwakili dari Jawa. Ada realitas lain yang perlu dikemukakan bahwa ada sosok blater dari kalangan Madura yang punya pengaruh.
Selain itu patut diapresiasi pula kepada Hanung selaku stradara yang mampu menvisualisasikan novel ke film dengan baik. Â Sosok Darsam digambarkan apa adanya dengan berbahasa Madura selama lakon dalam film. Maka dengan demikian semua penonton akan maklum dari dan suku apa Darsam itu berasal.
Dengan segala kelebihan dan kekurangan. Film yang berdurasi tiga jam ini tidak saja menyajikan perjuangan melawan kolonial. Bahwa ada sosok lain seperti Darsam yang tidak terlupakan.
Secara sosiologis di Surabaya khususnya begitu majemuk, tidak hanya dari Jawa saja. Ada bagian dari Madura yang diikutsertakan, sehingga novel dan filmnya begitu berwarna.