Mohon tunggu...
Hery Supriyanto
Hery Supriyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga net

Liberté, égalité, fraternité ││Sapere aude ││ Iqro' bismirobbikalladzi kholaq ││www.herysupri.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Geliat Perpustakaan Kota Malang Mengembangkan Koleksi Khas Lokalnya

22 Maret 2019   15:28 Diperbarui: 22 Maret 2019   15:41 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyimak acara dengan ditemani secangkir teh manis. Dok pribadi

Menurutnya menggalang minat baca pada usia dini sangat diperlukan. Dan itu bisa dimulai dari lingkungan terdekat, keluarga dan sekolah. Untuk itu semua perlu ditopang pula dengan keberadaan perpustakaan di rumah tangga, sekolah, ataupun dari kalangan komunitas.

Dan untuk menggugah penulisan bisa dilakukan dengan membaca semesta. Bisa dengan memperhatikan pengalaman sendiri ataupun orang lain. Dan itu bisa dimulai dengan pertanyaan dari fenomena yang ada, yang kemudian diupayakan dicarikan jawabannya. Dwi pun kembali menyarankan, bahwa semua itu perlu dilatih semenjak dini, dan terus menerus. Karena itu akan menjadi "jam terbang" catatan penulis.

Menyimak acara dengan ditemani secangkir teh manis. Dok pribadi
Menyimak acara dengan ditemani secangkir teh manis. Dok pribadi
Perpustakan yang ramah dengan milenial

Fathul H. Panatapraja sebagai panelis kedua lebih mengemukakan keberadaan perpustakaan yang harus disesuaikan kebiasaan para kaum milenial. Kemajuan teknologi juga dibarengi dengan perubahan generasi yang menyertainya. Generasi muda saat ini kerap dikenal sebagai kalangan milennial, yang secara sederhana bisa bisa digolongkan yang lahir tahun 1980-an dan seterusnya. Sejak masa kanak-kanak bahkan sejak lahir sudah akrap yang namanya smart phone bahkan internet.

Ia menyoroti bahwa kaum milenial saat ini dalam mempeloleh informasi tidaklah konvensional yang harus melalui buku, jika pun ada lebih cenderung memakai e-book. Di samping itu ia menyatakan bahwa generasi saat ini cenderung tidak membaca terlalu detail. Mereka juga menyukai dengan cara audio visual. Informasi yang disajikan dalam bentuk info grafis atapun meme lebih mereka sukai, tanpa perlu membaca karya para pengarang.

Baginya dalam dunia literasi, membaca dan menulis bagi kaum muda masih ada geliatnya. Mereka cenderung memakai banyak aplikasi (digital) sebagai perangkat pendukungnya. Dalam menulis mereka tinggal mengetikkannya di wattpad, bahkan beberapa lagi menggunakan teknik speech to text yang tak perlu mengetikkan. Tinggal mengucapkannya secara langsung, suara akan diolah menjadi tulisan di layar.    

Ia juga menyarankan kepada Perpustakaan Malang agar bisa berbenah dalam menyikapi kebiasaan kaum milenial itu. Jika tidak maka dikhawatirkan perpustakaan akan kehilangan pengunjungnya. Buku secara fisik masih diperlukan, dan tinggal saja perpustakaan menabahkan konten yang berbentuk digital dan menampilkannya secara audio-visual.

Abdul Malik selaku Humas Museum Musik Indonesia yang memberikan masukan di sela sesi diskusi. Dok pribadi
Abdul Malik selaku Humas Museum Musik Indonesia yang memberikan masukan di sela sesi diskusi. Dok pribadi
Menuju perpustakaan yang khas

Menurut Dwi Cahyono, sungguh beruntung Kota Malang memiliki perpustakaan yang megah. Letaknya pun sangat strategis yang berada di Jalan Ijen, yang berseberangan dengan Museum Brawijaya. Dan untuk bisa lebih berkembang lagi ia menyarankan agar Perpustakaan Kota Malang dalam pendokumentasian, tidak saja berkutat pada tektual tetapi juga visual dan audio. Di samping itu koleksi yang sifatnya kekhasan perlu diperbanyak. Maka ia menyarankan agar Perpustakaan Kota Malang mengembangkan jejaring kepada semua pihak yang berkompeten.

Di acara ini juga disertai sesi diskusi para peserta. Banyak masukan yang diberikan demi kemajuan perpustakaan ini. Beberapa hal yang menarik adalah bisa sinerginya atau saling melengkapi antara museum dan perpustakaan. Seperti apa yang diutarakan Abdul Malik, selaku Humas Museum Musik Indonesia (MMI) yang menyatakan bahwa seperti di museum musik dapat menikmati musik atau lagu tempo dulu. Bahkan dalam piringan hitam pun dapat dinikmati oleh para pengunjung. Untuk mengetahui perjalanan para penyanyinya dapat dideteksi dari majalah lawas yang mengulasnya.

Koleksi yang sifatnya audio juga sangat diperlukan. Seperti yang dicontohkan Dwi Cahyono, bunyi kentongan perlu direkam sehingga ada dokumentasinya. Hal ini menjadi penting sebab sebagai arkeolog ia menemui relief di beberapa candi yang menggambarkan keberadaan alat musik. Ada kesulitan membayangkan bagaimana bunyi alat itu, karena tak ada dokumentasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun