Adegan film dibuka dengan narasi --secara garis besar- perihal Satu Suro. Tak sekadar penanggalan versi Jawa, namun ada "sesuatu" dibaliknya. Satu Suro sebagai awal pergantian tahun berikutnya, yang beberapa kalangan mempercayai sebagai lebarannya para makhluk halus. Sebuah film horor dengan menyuplik beberapa fenomena yang ada di masyarakat, tentang harta dan tahta yang kadang berhubungan dengan "makhluk halus".
Adegan berikutnya seorang perempuan Lastri (Alexandra Gottardo) mengamuk di rumah sakit. Ia mencari bayi yang baru dilahirkannya. Dari para perawat  dan dokter mencoba mencegahnya, dan tak berhasil. Semua diselesaikan dengan sabetan alat tajam yang digenggamnya. Dengan Lastri dalam keadaan terdesak, puncaknya dipecahkan beberapa botol -yang bisa jadi- berisi alkohol. Berlanjut pula dengan dikonsetkan peralatan listrik. Rumah sakit bersalin pun ludes terbakar.
Dan adegan selanjutnya berlangsung melompat kekinian. Bayu (Nino Fernandez) sebagai penulis memerlukan tempat yang tenang dalam merampungkan tugasnya. Pamannya pun peduli dengan meminjamkan rumah yang agak terpencil untuk ditepati Bayu bersama istrinya Dinda (Citra Kirana) yang sedang mengandung. Bayu menerima tawaran tawaran pamannya yang juga menganjurkan agar istrinya bisa melahirkan di tempat itu.
Pada akhirnya pada malam Satu Suro Dinda mengalami kontraksi, dan Bayu pun mengantarkan ke rumah sakit terdekat. Sudah bisa ditebak rumah sakit yang dituju adalah yang sudah terbakar itu yang sudah tak beroperasi lagi. Dinda dilayani oleh para perawat yang berperawakan aneh. Akhirnya Dinda dapat melahirkan dengan dibantu para kru makhluk halus itu. Dan sang bayi menjadi rebutan Dinda dan para makhluk itu.
Layaknya film horor. Disuguhkan tampilnya bayangan misterius, ada orang yang membuntuti, ataupun benda bergerak sendiri. Adegan mengagetkan pun kerap ditampilkan. Kesan seram dengan suasana sepi, dan alunan musik yang juga mendukung. Kejar mengejar dengan makhluk menyeramkan juga ditampilkan. Suasana kian tampak mencekam dengan sesekali waktu Bayu dan Dinda terjebak pada jalan buntu.
Perjanjian yang dilanggar
Saya termasuk jarang nonton film ber-genre horor. Hari itu saya menontonnya karena ada tawaran dari rekan yang menginfokan ada nobar gratis film ini yang diputar di Cinema XXI di Plaza Araya Kota Malang. Saya ambil tawaran itu mumpung ada waktu luang, yang saya ambil pada hari kedua Jumat (8/2). Sesekali juga perlu kiranya menikmati genre film yang lain, yang jarang saya tonton.
Saya cukup nikmati film ini dengan beberapa persiapan bahwa akan ada adegan yang mengagetkan, menyeramkan, dan kadang tergolong sadis. Bagi saya levelnya masih sedang, dan kadang pula masih bisa menebak alurnya. Seperti ada adegan seram yang ternyata itu mimpi.
Latar tempat yang sepi dan terpencil turut mendukung situasi horornya. Setting waktu berada pada tahun 1982, Â maka jangan harap akan dijumpai ponsel. Hubungan komunikasi hanya melalui telepon rumah dan sekali tedeteksi komunikasi mobile --saat itu- memakai pager yang masih berupa teks singkat.
Untuk lokasi tempatnya sendiri tidak dijelaskan di mana. Namun dari plat mobil Bayu yang berhuruf D bisa diasumsikan berada di daerah Bandung dan sekitarnya. Tetapi hal itu kurang meyakinkan. Sebab ketika Dinda berkunjung ke pasar terdekat, penjualnya bukan berbahasa atau berdialek Sunda malah Jawa. Hal-hal kecil seperti ini harusnya tetap menjadi perhatian para kru film, untuk meminimalkan kejanggalan saja.
Sekadar menakar sudut pandang jalan cerita, bahwa ini adalah masalah janji yang diingkari. Kita tentu pernah mendengar cerita, ada seseorang yang memburu harta (pesugihan) ataupun harta yang menggunakan ritual tertentu dengan makhluk gaib. Dan itu tentu ada perjanjinan serta konsekwensinya. Adanya tumbal diperlukan, bisa tumbuhan dan hewan. Dan ada yang sadis anak pun kadang dikorbankan.
Satu Suro ini juga menjelaskan fenomena ini. Lastri, seperti bagian adegan awal yang baru melahirkan, bayinya ternyata ditagih oleh para makhluk itu. Dan ketika ditagih ternyata Lastri mengingkari dan tak hendak menyerahkan. Akhirnya terjadilah kekacauan seperti yang ada di Rumah Sakit itu.
Berkenaan dengan Banyu pun sedikit ada hubungannya. Di beberapa adegan ternyata ayahnya ingkar janji untuk mengorbankan Bayu pada saat bayinya. Ayahnya merasa tak tega ternyata, yang akhirnya ia pasrah sendiri untuk dikorbankan.
Skema pengorbanan tak berdiri sendiri, ada ritual yang seperti aliran atau sekte tertentu. Dan fenomena ini bukanlah hanya monopoli kalangan "primitif" saja. Di zaman modern ini terkadang juga ada. Tak jarang juga terjadi bagi kalangan pejabat, terpelajar, dan berharta. Godaan dunia untuk berharta dan bertahta kadang ditempuh dengan cara instan dan singkat.
Bisa jadi semua keinginan itu dapat terpenuhi, namun ternyata ada sesuatu yang harus dikorbankan. Itu memang ada perjanjian yang harus ditebus berikutnya. Yang paling parah tentu adalah ketika anak yang harus dikorbankan. Pada suatu masanya ketika ditagih, malah tidak dipenuhi. Sesal memang datang belakangan, yang akhirnya harus menginkari dengan "melarikan diri".
Jika dihubungkan dengan Satu Suro maka bisa jadi pada saat itu ritual "pengorbanan" itu dilakukan. Kedua belah pihak saling menyelesaikan konsekwensi perjanjian itu. Bisa jadi ada yang ditunaikan sesuai dengan kesepakatan, dan selebihnya ada penginkaran.
Betapapun juga kesepakatan sudah selayaknya dipenuhi, apalagi hal itu diikat oleh perjanjian. Dan itu berlaku kepada siapa saja. Jika perjanjian itu dengan "setan" dan ada penginkaran. Dan jangan salahkan "setan" bila terus menagihnya yang kadang berujung para peristiwa menakutkan dan menyeramkan. Dan menjadi "setan" ternyata tak mengenakkan, yang selalu disalahkan dan menjadi kambing hitam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H