Menurut Irvan, sebenarnya dari pangsa pasar tidaklah terlalu sedikit. Hal ini dapat terlihat dari penuhnya food court tersebut oleh pengunjung. Dengan survey kecil-kecilan Irvan hanya menduga para pengunjung enggan mampir ke kedainya hanya karena "segan" saja. Dengan tempat yang "wah" tersebut pengunjung akan berfikir bahwa harga akan mahal.
Padahal menurut Irvan untuk harga pun di Kedainya tidaklah begitu mahal, setidaknya tidak jauh berbeda dengan kedai yang lainya yang ada di dalam Matos. Tidak hanya kopi dan minuman lainnya, di sini juga tersedia makanan ringan dan berat. Di Java Dancer ini memang kebanyakan menyediakan makanan ala barat seperti, French fries, burger, pizza, spaghetti, serta menu dengan sedikit mengakomodasi muatan lokal, rice bowl.
Tak mudah memang menghadapi pangsa mahasiswa itu. Yang tidak dipungkiri juga --sebagian besar- kedai dan restoran di kota Malang pengunjungnya berasal dari kalangan ini, di samping dari pelanggan keluarga. Java Dancer Matos terus berbenah, dan terus mengantisipasi perkembangan, yang nanti di sebelah Matos akan berdiri bangunan dari pemain retail besar lainnya.
Jika nanti ngopi menjadi gaya hidup. Maka keberadaan kedai kopi tentu diperlukan untuk dikunjungi, bila tidak ingin menyeduh dengan sendiri. Ngopi di mall tentu saja bisa menjadi alternatif untuk sekadar istirahat sejenak ataupun nongkrong. Dan di Java Dancer ini bisa menjadi rujukannya dengan ngopi tanpa untuk "segan" karena tempatnya dianggap "wah". Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H