Kedatangan Presiden Joko Widodo ke Kabul, ibu kota  Afghanistan Senin, 29 Januari 2018 mempunyai kesan tersendiri bagi kedua negara. Berbagai cerita positif menyertai pada kunjungan tersebut. Jokowi dinilai cukup mempunyai nyali untuk datang, padahal dalam beberapa hari sebelumnya Kabul dilanda bom yang menewaskan korban yang tidak sedikit. Seperti sudah yang kita ketahui, kunjungan Jokowi berjalan lancar dan aman.
Dari  pihak Afghanistan sendiri dalam hal ini Presiden Ashraf Ghani menyambut dengan hangat dan suatu kehormatan yang besar. Suatu kunjungan yang cukup berarti dari negara sahabat (Indonesia) yang berkenan hadir di negara yang masih dilanda konflik bersenjata. Ada kepercayaan diri tersendiri bahwa dalam situasi "berkecamuk" masih bisa  melayani dengan baik dan aman kepada kunjungan tamu, walaupun hanya singkat selama 6 jam.
Bentuk kehormatan bagi Indonesia  diperlihatkan juga dengan Jokowi yang menjadi iman, saat sholat  berjamaah yang presiden Afganistan sebagai makmumnya. Jika mengikuti  kebiasaan, biasanya pihak tuan rumahlah yang menjadi imam. Mempersilakan  tamu sebagai imam tentu mempunyai pertimbangan sendiri yang dianggap lebih layak.
Keberanian dan kehadiran Jokowi ini banyak menuai pujian di dalam negeri. Para pendukungnya pun mengelu-elukan dengan mengapresiasinya di media sosial. Tidak itu saja  dari pihak "oposisi" pun ikut memujinya, seperti yang diutarakan  politikus dari PKS sekaligus wakil ketua MPR Hidayat Nur Wahid sebagai kunjungan yang luar biasa.  Dan memang tidak ada celah untuk mencela kehadiran Jokowi di  Afghanistan itu, yang salah satu tujuan kedatangannya adalah mewujudkan  perdamaian.
Mengenang kembali kunjungan Soeharto ke Bosnia
Jika Jokowi dianggap berani dan bernyali datang di Afghanistan, tentu kita  tidak boleh melupakan keberanian yang dilakukan presiden ke-2, Soeharto.  Seperti yang diceritakan Sjafrie Sjamsoeddin yang saat itu sebagai  Komandan group A Paspampres tahun 1995 dalam buku "Pak Harto The Untold  Stories" terbitan Gramedia.
Pada 13 Maret 1995 Presiden Soeharto menginjakkan kaki di Sarajevo, ibukota Bosnia Herzegovina. Saat itu di antara pecahan negara Yugoslavia terlibat perang antar fraksi. Namun  Soeharto tetap bersikukuh mengunjungi Bosnia. Pada saat itu PBB pun  tidak menjamin keamanan kunjungan. Suasana perang begitu terasa, bandara dikuasai pihak yang bertikai. Satu sisi oleh Serbia dan sisi lain oleh  Bosnia Herzegovina.
Keberanian Soeharto patut diacungi jempol. Ia pun menolak menggunakan helm dan rompi anti peluru. Soeharto begitu  sangat percaya pengamanan baik dari pihak Indonesia dan Bosnia. Dan akhirnya Soeharto dapat berjumpa dengan sahabatnya Presiden Bosnia Herzegovina, Alija Izetbegovic di Istana Kepresidenan. Kunjungan berjalan lancar walaupun masih terdengar dentuman bom dan tembakan. Dan rombongan selamat tiba di tanah air.
Ketika  ditanya mengapa Soeharto bersikukuh datang padahal situasi keamanan tidak kondusif. Soeharto menjawab bahwa Indonesia adalah pemimpin  Gerakan Non Blok (GNB) periode 1992-1995 tidak mempunyai uang. Ada  negara anggota yang dilanda kesusahan dan tidak bisa dibantu dengan uang, maka untuk itulah ia datang untuk menengok. Baginya hal yang  penting adalah pihak yang didatangi merasa senang, morilnya naik, sehingga bertambah semangat.

Patutlah  kita berbangga mempunyai pemimpin yang bernyali dan berani menghadapi risiko. Soeharto dan Jokowi setidaknya bisa menggambarkan hal itu dengan mengunjungi negara yang dilanda konflik. Walaupun  Indonesia tidak berlimpahan uang namun masih bisa memberikan perhatian yang nilainya tidak bisa diuangkan. Dan itu menambah moril bahwa kita merupakan bangsa besar, yang mengutamakan persahabatan dan perdamaian.
Baik  Soeharto maupun Jokowi mempunyai gayanya sendiri dalam memimpin.  Soeharto dengan gaya yang kalem dengan senyumnya yang khas (smiling general).  Dari buku ""Pak Harto The Untold Stories"  itu dapat diketahui bahwa  Presiden ke-2 itu merupakan tipe yang tidak menyukai pencitraan yang  berlebihan. Dari penuturan beberapa tokoh yang pernah dekat dengan  Soeharto, banyak sisi positif yang tidak diketahui publik.
Lain  Soeharto, lain pula Jokowi yang juga dikenal sebagai Presiden yang  tegas. Namum caranya lebih elegan dan tidak terlihat menakutkan. Jokowi  memang berperawakan krempeng yang secara cara postur tubuh  tidak menggambarkan tipe seorang pemimpin yang dikesankan gagah dan  berwibawa. Selain itu Jokowi dikenal --apalagi oleh lawan politiknya-  sebagai presiden yang "cengengesan" dan "plonga-plongo".
Namum di balik kesan yang tak menyakinkan itu ternyata Jokowi mempunyai sikap  yang keras kepala dan berani ambil risiko. Sikap tegas sebelumnya  seperti memerintahkan penelenggaman kapal pencuri ikan yang memasuki  kawasan teritorial negara kita, yang dieksekusi bagus oleh Menteri  Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Gaya Jokowi lebih mengedepankan  ala Jawa yang tidak menyukai kegaduhan. Lebih bertindak kalem namum  ujungnya juga melemahkan lawan.
Menjadi pemimpin memerlukan seni  tersendiri agar gagasan dapat tereksekusi dengan baik, dengan gayanya  sendiri yang tak harus dibuat-buat. Sejarah akan mencatat bahwa pemimpin yang berani akan mendapat kesan di hati rakyatnya. Dalam kasus  kunjungan -ke negara konflik- yang berani ambil risiko seperti dilakukan Soeharto dan Jokowi ini mampu menunjukkan bahwa bahwa bangsa ini bisa  dibanggakan dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Yang mampu  berpartisipasi pada tujuan negara ke luar seperti yang tercantum di  Pembukaan UUD 1945. Yaitu turut serta mewujudkan perdamaian dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI