Banyak di antara kita –termasuk juga saya- yang tidak mengenal siapa saja yang menjadi Pahlawan Nasional yang tidak sedikut jumlahnya. Mengenal saja tidak apalagi sampai mengetahui sepak terjangnya yang pernah dilakukan. Film Nyai Ahmad Dahlan setidaknya membuka cakrawala kita, dari sekian banyak Pahlawan Nasional tersebut yang patut kita ketahui kisahnya. Terutama kontribusinya terhadap bangsa dan negara, sehingga jasanya itu pantas disematkan tanda pahlawan.
Jika Kyai Ahmad Dahlan sudah banyak kita ketahui sebagai pendiri Muhammadiyah yang juga ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, istrinya Siti Walidah yang lebih akrab di panggil Nyai Ahmad Dahlan peranannya tidak kalah dalam pergerakan nasional serta dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Suatu peran istri yang seutuhnya menjadi pendamping suami di kala suka maupun duka. Yang siap berkorban serta mencurahkan waktu, tenaga pikiran, bahkan harta untuk mewujudkan cita-cita suami untuk mengangkat derajat umat dan bangsa.
Film dibuka pada setting tahun 1890 yang saat itu Siti Walidah berusia masih bocah 12 tahun. Walaupun perempuan, ia termasuk anak yang beruntung dalam mengenyam pendidikan. Ayahnya Kyai Haji Muhammad Fadli (Cok Simbara), seorang ulama dan anggota Kesultanan Yogyakarta yang mengajarkan mengaji serta pengetahuan umum lainnya dengan tidak membedakan murid laki-laki dan perempuan. Semua berhak mendapatkan pelajaran tanpa ada perbedaan jender, karena itu adalah perintah agama.
Pada masa itu budaya patriaki begitu kuat. Perempuan hanya sekadar konco wingking (teman di belakang) yang berurusan dengan dapur, sumur, dan kasur. Kaum lelaki tidak mau direbut posisinya yang begitu mapan, maka dari itu suatu hal yang wajar bahwa anak perempuan tidaklah penting menjadi pintar. Walidah dibesarkan dalam lingkungan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah kewajiban bagi laki-laki dan perempuan. Ia termasuk anak yang cerdas dan penghafal Alquran.
Setelah cukup umur Siti Walidah (Tika Bravani) dijodohkan dengan Muhammad Darwis yang setelah belajar dari Mekkah mengubah nama menjadi Ahmad Dahlan (David Chalik). Mereka pun menikah untuk membangun rumah tangga. Selepas belajar dari Mekkah Kyai Ahmad Dahlan yang banyak mempelajari pembaharuan melihat kondisi umat Islam harus dibenahi dari keterbelakangan. Umat Islam banyak yang bodoh dan miskin dan itu yang harus “diperangi” dan dicarikan solusi. Selain itu untuk melawan dominasi pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan cara yang modern yaitu organisasi.
Kyai Ahmad Dahlan bertekad dengan mendirikan sekolah dan organisasi. Dan ini tidaklah mudah terutama yang berkenaan dengan biaya. Tekad suami yang begitu kuat dan kemudian mentok, disinilah peranan penting dari pendamping yaitu istri. Nyai Dahlan pun tahu apa yang harus diperbuat, ia serahkan perhiasan warisan dari orangtuanya untuk diberikan kepada suaminya.
Kyai Dahlan pun menolak langkah istrinya itu karena harta warisan dan juga untuk masa depan anak-anaknya. Nyai Dahlan pun menenangkannya bahwa ia nantinya akan menjelaskan kepada anak-anaknya bahwa bapaknya memerlukan harta untuk membangun cita-cita umat. Nyai Dahlan pun memberi penguat kepada Kyai Dahlan dengan menggunakan bahasa agama. Bahwa perjuangan itu tidaklah mudah, kain kafan itu tidaklah bersaku sedangkan harta adalah titipan belaka.
Dengan tekad dan dukungan Nyai Dahlan akhirnya Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912. Perjuangan dalam ber-Muhammadiyah begitu berat, dalam berdakwah karena mengusung pembaharuan langkah Kyai Dahlan banyak mendapat tantangan dari umat Islam sendiri bahkan sampai dikatakan kafir. Dalam dakwah ke Banyuwangi mendapatan pertentangan keras penduduk setempat (sampai ancaman pembunuhan), Nyai Dahlan pun turut menyertai perjuangan suaminya itu.
Nyai Dahlan berbagi peran dalam upaya mengangkat umat agar berilmu pengetahuan terutama kalangan perempuan. Anak perempuan dan juga para ibu diajaknya untuk mengaji, para pekerja batik pun demikian. Yang pada akhirnya para “majikannya” pun berkeinginan jadi pandai yang tidak mau kalah dengan pekerjanya. Diupayakan juga diadakan perkumpulan dikalangan perempuan yang diberi nama Sopo Tresno. Lambat laun kemudian berkembang pesat yang akhirnya ditingkatkan lagi menjadi organisasi yang diberi nama Aisyiyah pada 19 Mei 1917.