Meminum susu olahan baik itu dari pabrik besar atau industri rumahan sudah jamak kita lakukan. Semua susu olahan itu bermula dari susu segar sapi perah yang dikelola oleh para peternak. Susu segar hasil perahan itu (dalam kurun waktu tertentu) ternyata bisa langsung kita konsumsi tanpa diolah atau di masak terlebih dahulu. Merasakan susu segar beberapa menit setelah di perah merupakan pengalaman tersendiri yang tidak setiap saat bisa didapatkan.
Suatu pengalaman yang menyenangkan berada di peternakan sapi perah yang berada di Dusun Brau Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Untuk bisa lebih dekat mengetahui suasana produksi susu segar yang dikelola dengan peternakan rakyat. Kunjungan ini merupakan agenda "jalan-jalan" -seperti biasa- setiap bulannya untuk ada kegiatan, bersama Blogger Kompasiana Malang (BOLANG) kunjungan itu dilaksanakan hari sabtu lalu (5/8).
Karena kebanyakan merupakan peternakan rumahan, pada saat itu secara spontan Munir tinggal menanyakan kepada peternak apakah sudah pada proses pemerahan. Dan secara kebetulan peternak yang bernama Sahut menyatakan sedang pada proses pemerahan. Dan kemudian kami diarahkan untuk melihat secara langsung peternakan dan proses pemerahannya.
Kami pun ditawari Munir untuk merasakan langsung susu segar itu sebelum nantinya dikirim ke pos penampungan. Di antara kami bertujuh, hanya saya dan pak Yunus yang menerima tawaran ini. Yang lainnya dengan "manja" meminta menikmati susu yang dipanaskan terlebih dahulu. Segelas susu segar murni disodorkan kepada saya. Rasanya ternyata begitu berbeda, tawar campur manis yang cukup sulit juga dirangkai dalam kata-kata.
Kami pun dijamu cukup ramah oleh keluarga Sahut dengan suasana ala pedesaan di ruang tengah yang menyatu dengan dapur. Sambil menunggu susu yang sedang dimasak kami pun berbincang santai mengenai persusuan serta hal-hal lain sebagai penyegar suasana. Susu segar pun sudah mendidih dan siap disajikan.
Saya pun turut menikmati pula, untuk rasa pun tidak jauh berbeda dengan segar sebelum dimasak. Perbedaan pada pada suhu saat menikmati dengan panas dan hangat. Walaupun selera masing-masing orang berbeda, Sahut dan keluarganya pun menyarankan lebih sedap bila ditambah gula atau madu yang juga disediakan kepada kami bila berkenan.
Kebanyakan sapi perah yang berada di Dusun Brau ini termasuk katagori peternakan rakyat. Maka tidak heran bila di samping rumah terdapat kandang sapi, dan ladang yang berisi tanaman rumput. Walaupun berdekatan dengan kandang sapi, bau sapi dan kotorannya tidaklah begitu menyengat. Dugaan saya, ini karena berada di ruang terbuka sehingga baunya cepat menguap.
Menurut penuturan Sahut bahwa yang membuat bau itu karena kotoran bercampur cairan yang bisa berupa air seni sapi. Maka dari itu untuk mengatasinya diupayakan tidak ada yang "becek" dari kotoran sapi yang dikeluarkan. Upaya yang dilakukan adalah "pengeringan" dilakukan dengan membuat saluran pembuangan air untuk segera dibuang. Yang kedua adalah menampungnya pada reaktor bio gas.
Di peternakan milik Sahut telah tersedia reaktor bio gas tersebut, yang kemudian disalurkan ke beberapa rumah. Pemanfaatan biogas ini untuk kebutuhan dapur (bahan bakar untuk kompor) serta penerangan seperti lampu petromak di malam hari. Maka tidak heran di dapur milik Sahut ini tidak dijumpai tabung gas sebab memang tidak memerlukannya. Adanya biogas ini cukup membantu mengurangi anggaran biaya bahan bakar gas rumah tangga.
Sapi perah untuk bisa menghasilkan susu tentu ada masanya. Seperti laiknya manusia ada umur tertentu untuk bisa berproduksi. Air susu sapi bisa berproduksi saat bunting dan pasca melahirkan, dan setelah itu sapi perlu diistirahatkan beberapa waktu untuk bisa dilakukan inseminasi lagi. Agar terus kontinu berproduksi maka perlu diatur di antara beberapa sapi yang ada. Dari beberapa sapi milik peternak beberapa diantaranya berprduksi dan lainnya masa masa istirahat.
Banyak hal yang bisa dipelajari dari keberadaan sapi perah ini. Mulai dari pemeliharaannya (mencari rumput, memberi makan), pemerahannya, serta penyetoran pada pos penampungan ada cerita yang menarik dan bisa menjadi bahan pembelajaran. Kita dapat belajar langsung kepada para peternaknya dengan berbagi pengalaman. Antara teori dan praktiknya akan ada titik temu karena beberapa hal memang perlu penanganan khusus yang harus dipahami juga.
Kota Batu yang juga dikenal wisata agronya, sudah sejak lama mengembangkan wisata petik apel, strawberi serta sayuran. Pengunjung bisa merasakan langsung aktifitas yang dilakukan petani, sekaligus bisa memetiknya di antara masa panen. Petani cukup diuntungkan dengan adanya model wisata ini. Selain dapat pemasukan dari buah yang ditanam, juga dapat dari jasa tiket.
Seperti kunjungan Bolang kali ini banyak informasi dan pengetahuan (dan masih perlu digali) seputar persusuan langsung dari sumber utamanya. Keramahtamahan dan kebersahajaan penduduk di pedesaan menjadi daya tarik tersendiri di antara penatnya kehidupan kota yang kadang terjebak pada sikap individualis. Menikmati susu segar yang baru beberapa menit diperah merupakan pengalaman yang tak boleh terlewatkan ketika pengunjungi peternakan sapi perah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H