Tidak dapat dipungkiri Film Ziarah sangat “Jawani”. Sama dengan film Siti, hampir keseluruhan berbahasa Jawa. Penekanan cerita tak lepas dari filosofi Jawa yang dituangkan dengan simbol-simbol yang penuh makna. Perlu mengerutkan kening juga untuk menterjemahkan itu semua.
Film Ziarah ini para pemainnya pun bukanlah bintang yang selama ini kita kenal. Menonton film ini seperti melihat film dokumenter tentang perjalanan seseorang. Tampak nyata dan natural. Sepakat apa yang dikatakan kata BW Purwa Negara, sutradara sekaligus penulis naskah film ini, "Kalau sinema adalah hidangan, Ziarah bukan piza atau burger. Lebih tepat seperti singkong atau tempe. Kalau film adalah kendaraan, Ziarah bukan Ferrari tetapi sado. Ziarah dibuat dengan segala kesederhanaan, tetapi dengan harapan dapat memberi makna," ujarnya seusai pemutaranZiarah pada Plaza Indonesia Film Festival beberapa waktu lalu. Kompas.com
Cukup puas rasanya menonton film Ziarah ini, banyak pelajaran dan pesan moral yang dipetik. Tentang kesetiaan, janji yang tak pernah tertepati, perjuangan yang tanpa lelah, serta bagaimana memaknai hidup itu. Hidup kadang ada di persimpangan antara harapan dan ketidaksesuaian realita. Berdamai dengan masa lalu apalagi yang pahit memerlukan perjuangan tersendiri untuk menyembuhkan “luka”. Tentunya bagaimana memaknai itu semua dengan bijak disertai kepasrahan pada Tuhan.
Mungkin inilah mengapa kita dianjurkan berziarah. Kematian adalah sebuah keniscayaan, hanya menunggu waktu pada saatnya. Uripmungmampir ngombe seperti falsafah Jawa yang sering kita dengar. Mengisi perjalanan kehidupan itu yang lebih penting, yaitu setidaknya kita sebisa mungkin dapat memberikan manfaat kepada sesama dan lingkungan. Sehingga kita bisa bangga pada akhirnya kembali di mana kita berasal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H