Tidak lama lagi Pilkada DKI Jakarta putaran ke-2 akan berlangsung 19 April nanti. Pilkada DKI adalah selain yang paling mendapat perhatian dari warganya juga dari luar yang tidak mempunyai hak suara di situ. Inilah Pilkada dengan rasa Pilpres. Semua itu gara-gara Ahok yang menyedot perhatian dengan segudang prestasi yang tak lepas juga dengan segala kontroversinya. Beberapa kalangan bahkan menuduhnya menistakan agama sehingga massa pun turun ke jalan. Saat ini kasusnya masih bergulir di pengadilan.
Ahok sebagai gubernur petahana (sebelumnya sebagai wakil gubernur) akibat limpahan Jokowi yang naik jadi presiden, akan “mempertaruhkan” kembali jabatan tersebut di Pilkada nanti. Warga Jakarta akan bertindak sebagai “hakim” yang akan memutuskan siapa yang akan menjadi gubernurnya nanti, tetap Ahok atau Anies untuk lima tahun mendatang.
Dalam suatu “pertarungan” tentu ada yang kalah dan menang, Pilkada putaran ke-2 ini adalah “final” untuk menentukan siapa pemenangnya. Sebagai petahana Ahok mendapat perlawanan sengit dari kubu Anies, sulit memprediksi siapa yang akan menang, peluangnya 50:50. Jika Ahok memenangkan Pilkada ini, suatu hal yang wajar. Sedari awal Ahok sudah banyak dijagokan apalagi diuntungkan sebagai petahana yang punya prestasi yang bisa diandalkan. Bila akhirnya kalah, secara pribadi Ahok sekiranya tidak ada permasalahan berarti.
Jika kita lihat rekam jejak Ahok sampai menjadi calon gubernur di Pilkada DKI ini, semua berjalan apa adanya. Sedari awal Ahok bersikap masa bodoakan terpilih atau tidak, yang terpenting ia dapat bekerja dengan maksimal dan benar apa yang diamanatkan kepadanya. Baginya, gubernur bukanlah segalanya yang harus dicapai, apalagi dengan cara-cara “kotor”. Dalam beberapa kali acara debat yang diadakan KPUD ataupun TV swasta, Ahok pun tidak mempermasalahkan terpilih atau tidak, semua ia serahkan kepada Tuhan yang maha berkehendak. Artinya Ahok menganggap bahwa gubernur (baca: jabatan) adalah alat bukanlah tujuan. Menjadi warga negara yang baik dapat berada di mana saja.
Dan seandainya nanti Ahok dinyatakan kalah –dalam pertarungan yang jujur dan adil sekalipun- bukanlah suatu persolan, akan banyak pelajaran yang akan bisa dipetik. Terlepas dari segala kekurangan Ahok perlu kiranya kita mengucapkan terima kasih atas segala sepak terjangnya selama ini. Meminjam istilah Gus Mus, masalah Ahok hanya pada etiket (sopan santun) bukan pada etika (moral) yang bersangkutan. Di era milenial ini kita harus bisa menilai sesuatu dengan seobjektif mungkin walaupun masih menyisakan sikap subjektif. Mirip para reviewer (blogger dan traveler) yang mampu menilai suatu barang atau produk dengan segala sisi, yang kurang baik dikritisi yang baik diapresiasi. Demikian pula Ahok mari kita lihat dari segala sisi, baik itu kekurangan terlebih kelebihannya. Penilaian dapat pula melihat figur lain sebagai pembandingnya. Hilangkan sejenak berposisi sebagai lover ataupun hater agar kita dapat bersikap secara adil.
Ahok berhasil memperbaiki Jakarta yang “buruk”. Kiprah Ahok selama 5 tahun ini (baik sebagai wagub dan gubernur) telah membuat Jakarta lebih baik lagi. Normalisasi sungai dilakukan, yang membuat titik-titik banjir terkurangi. Dibangunnya rusun bagi kalangan bawah terutama yang terkena relokasi, demikian pula dengan banyaknya RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak) di berbagai tempat. Dan banyak lagi mulai dari penataan transportasi, pendidikan dengan KJP (Kartu Jakarta Pintar), kesehatan dengan KJS (Kartu Jakarta Sehat) sampai pada penataan birokrasi dengan pelayanan yang mengedepankan kepentingan masyarakat. Bukti nyata ada di depan mata, Jakarta yang sekarang berbeda dengan yang dulu.
Ahok memberantas birokrasi yang penuh korupsi dan kolusi. Penyakit bangsa yang penuh dengan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) dibabat habis oleh Ahok dengan dengan penataan dan pelaksanaan pemerintahan yang bersih (good governance). Semua dibuat tansparan dan akuntabel agar celah korupsi dan kolusi ditekan seminim mungkin. Akibatnya bisa dirasakan. Anggaran APBD bisa terselamatkan yang kemudian dapat dialokasikan untuk anggaran pendidikan dan kesehatan. Sehingga masyarakat kecil dapat ke sekolah, puskesmas, dan rumah sakit dengan gratis. Dengan anggaran yang benar Pemprov DKI dapat menggaji PHL (Pekerja Harian Lepas) dengan UMP (3,1 juta) untuk ribuan pasukan oranye, hijau, biru, dan ungu. Namanya korupsi, pungli, “setoran”, sudah dapat diminimalisir di lingkungan Pemprov DKI.
Ahok berani melawan “mafia” anggaran. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada kongkalikong antara legislatif dan eksekutif untuk membobol anggaran yang seharusnya untuk rakyat, demi kepentingan diri sendiri dan golongannya. Sebagai orang yang berpengalaman di pemerintahan dan legislatif Ahok tahu persis itu, dan Ahok ingin menyudahinya. Kepada –mitra kerja- DPRD DKI ia tidak kompromi ketika ada ketidakberesan anggaran. Akibatnya perseteruan dengan anggota dewan tidak terhindarkan. Dalam birokrasi Pemprov DKI sendiri Ahok banyak melakukan pembenahan. Banyak “anak buah” yang dirotasi sampai diberhentikan. Penataan posisi sudah berdasarkan prestasi dan kompetensi bukan karena kedekatan, adanya “setoran”, dan mental “penjilat”. Dan untuk melakukan itu semua memang tidak mudah dan perlu nyali yang besar. Dan Ahok mampu melakukan itu semua walaupun dengan risiko banyak yang memusuhinya demi menyelamatkan anggaran untuk peruntukan semestinya.
Mampu menyatukan umat Islam. Beberapa aksi kontra Ahok dengan label 411, 212, dan 313 cukup berjalan damai. Aksi itu mampu membuat umat Islam bersatu walaupun hanya berbekal itu hanya “dugaan” bahwa Ahok menistakan agama. Beberapa pihak mengapresiasi aksi dalam itu. Beberapa kelompok Islam dapat bersatu yang selama ini “terserak” karena mempunyai “musuh” bersama yaitu Ahok. Dilihat dari sudut pandang positif bahwa umat Islam mempunyai potensi yang besar untuk membangun negara ini. Pekerjaan rumah yang harus dilakukan adalah bagaimana memberdayakan energi positif itu menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi umat Islam sendiri terutama untuk bangsa dan negara.
Pematangan demokrasi. Kehadiran Ahok dalam konstelasi di Pilkada DKI ini telah membuat demokrasi di Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya akan bertambah dewasa. Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, Pilkada DKI ini menunjukkan bahwa setiap warga negara dapat kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin yang dipilih secara demokratis. Dan semua itu tidak melihat unsur SARA namun berdasarkan prestasi dan pengalaman yang pernah dilakukannya. Dari segi ummat Islam yang dipandang mayoritas walaupun beberapa kadang sedikit “galak” masih dalam koridor yang tidak melenceng terlalu jauh. Di tingkat akar rumput pun tidak terjadi gesekan walaupun kadang saling meledek dan menyindir. Sebagai bangsa yang masih belajar demokrasi suatu hal yang wajar bila ada riak-riak kecil, sehingga ke depannya bisa belajar untuk lebih beradap lagi dalam berdemokrasi.