Mohon tunggu...
Hery Supriyanto
Hery Supriyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga net

Liberté, égalité, fraternité ││Sapere aude ││ Iqro' bismirobbikalladzi kholaq ││www.herysupri.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Museum Musik Indonesia dalam Upaya Menyelamatkan Sejarah Musik Indonesia

28 Maret 2017   10:37 Diperbarui: 28 Maret 2017   22:00 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa koleksi langka karya musik Indonesia coba diselamatkan di miseum ini. Dok pribadi

“Jangan lupakan sejarah”, itulah yang dinasehatkan bung Karno. Setiap aspek kehidupan mempunyai sejarahnya sendiri yang sekiranya bisa dikenang. Demikian pula dengan perkembangan musik yang setiap zamannya mempunyai masa keemasannya. Baik itu lagu, penyanyi, gaya hidup sampai dengan media (alat rekam dan dengar) untuk menikmatinya.

Di era digital saat ini kita begitu mudah menikmati lagu ataupun musik, tinggal buka di internet semua akan tersaji baik secara audio ataupun video. Tidak itu saja kita pun dapat mengunduhnya untuk dapat dinikmati saat offline. Bermodal penyimpan data  (flashdisk, microdisk) lagu akan mudah diputar dengan peralatan speaker aktif (tersedia pula yang portable) bahkan banyak yang menggunakan smartphone.

Pernahkah kita membayangkan bagaimana zaman kakek nenek kita menikmati lagu atau musik dari penyanyi kesayangannya itu, di mana internet masih belum se-booming saat ini. Untuk mendapatkan jawabannya cukup mudah, tinggal mencari di search engine–sekedar- informasi yang diperlukan akan muncul. Tidak sekedar tulisan, ada gambar, bahkan video akan muncul tinggal kita pilah mana yang dikehendaki.

Namun bagaimana bila kita menginginkan melihat, meraba, atau menikmati musik tersebut secara langsung peralatan pemutarnya  yang saat ini sudah tergolong kuno tersebut. Kenyataannya beberapa peralatan sudah banyak tidak tersedia di pasaran, sebab oleh produsennya sudah tidak diproduksi lagi. Pabrikan sudah menggantinya dengan peralatan yang lebih modern yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Jika sedikit beruntung, kita dapat mengunjungi kakek nenek kita ataupun kerabat yang sekiranya masih menyimpan peralatan tersebut. Syukur-syukur masih bagus dan bisa dipergunakan.

Museum Musik Indonesia (MMI) menjadi alternatifnya

Coba kita tanyakan kepada anak siswa SMP tentang kaset yang berpita tersebut, hampir pasti mereka akan heran apalagi di sodorkan piringan hitam yang usianya sudah tua. Tapi itulah beberapa jejak sejarah peralatan musik yang pernah ada di muka bumi ini. Dan itu sejalan dengan aneka cipta musik yang banyak dibawakan oleh para musisi dan penyanyi dengan berbagai aliran.  Dan tiap generasi mempunyai gayanya tersendiri yang berkembang dinamis ke generasi berikutnya.

Dan bersyukurlah kita dapat melihat bahkan menikmati perkembangan musik terutama di tanah air dari masa ke masa. Sungguh sangat beruntung di kota Malang ini sudah hadir tempat yang mengakomodasi sejarah musik walaupun masih belum lengkap benar. Nama tempatnya adalah Museum Musik Indonesia yang berada di Gedung Kesenian Gajayana lantai 2 Jl. Nusakambangan No. 19 kota Malang.

Selayaknya yang disebut museum tempat ini menyimpan beberapa koleksi lawas perjalanan musik Indonesia. Mulai dari piringan hitam, kaset berpita, compact disk (CD) tersedia dengan disusun rapi berdasarkan daerah asal dan penyanyinya. Tidak itu saja museum ini juga dilengkapi dengan sejarah musik lainnya (peninggalan zaman dulu) seperti buku, majalah, tape pemutar kaset, sampai baju yang pernah dipakai sang penyanyi.

Di beberapa sudut tertampang tulisan perjalanan musik Indonesia secara umum walau tidak begitu mendetail, namun dirasa cukup menggambarkan kondisi yang ada. Kita akan temui pula beragam gambar ataupun album para musisi yang saat ini sudah senior ataupun meninggal, tentu saat masih muda dan berjaya pada masanya sebelum digantikan oleh musisi generasi berikutnya.

Sejarah berdirinya

Museum musik ini memang tidak hadir begitu saja, ada proses yang melatarbelakanginya. Menurut Hengki Herwanto salah satu pendiri dan pengelola museum musik ini menyatakan bahwa semua itu mengalir begitu saja. Semasa muda seperti anak SMA lainnya yang juga gemar menikmati musik, beberapa kaset pun ia koleksi. Ketika tahun 2008 ia bertemu dengan kawan-kawan lamanya yang mempunyai hobi yang sama, dan kemudian berkolaborasi menyelenggarakan pagelaran musik.

Pada tahun 2009 acara pun berlanjut dengan penyelengaraan Malang Viesta. Dan aksi lainnya adalah ia dan beberapa teman-temannya mengumpulkan koleksi kaset yang dimilikinya, yang kemudian mendirikan Galeri Malang Bergengsi (GMB). Koleksi yang sudah terkumpul sekitar 250 buah kaset tersebut kemudian di tempatkan di sebuah garasi di rumah di Jl. Citarum kota Malang. Pada tahun 2010 koleksi yang dikumpulkan tersebut dapat dinikmati masyarakat untuk mendengarkan lagu atau musik. Di rumah tersebut galerinya buka setiap hari kecuali Sabtu dan Minggu karena keterbatasan sumber daya manusianya (baca: tenaga).

Karena semakin diminati dan koleksi semakin banyak maka galerinya dipindahkan ke tempat yang lebih luas lagi di daerah perumahan Griya Shanta pada tahun 2013. Tidak hanya sekedar menikmati musik, tempat ini juga menjadi sumber studi kasus yang dijadikan bahan skiripsi oleh mahasiswa. Yang datang pun semakin banyak dan beragam selain masyarakat juga tak jarang dari kalangan artis sampai pejabat. Upaya menjadikan sebagai museum sudah terbersit, dan di tahun itu pula mendapatkan nama Museum Musik Indonesia (MMI) yang didaftarkan di KeMenKumHAM (No. 062907/2013).

Koleksi semakin banyak yang didapatkan dari beberapa pihak terutama sumbangan masyarakat yang peduli, diperlukan tempat yang lebih luas lagi. Upaya bekerja sama dengan pemerintah dilakukan, dan gayung bersambut. Pemerintah kota (pemkot) siap meminjamkan beberapa asetnya untuk di tempati sebagai museum. Pemkot Malang memberikan tiga alternatif yaitu di lantai 3 perpustakaan Malang, kantor blok office (kantor pelayanan terpadu) lantai 4, dan lantai 2 di Gedung Kesenian Gajayana.

Setelah ditinjau dari segala sisi maka dipilihlah Gedung Kesenian Gajayana. Ruang di lantai 2 pun dibenahi dan di desain menjadi museum. Bantuan dari pemerintah pusat pun ada yaitu melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) yang menyumbangkan dana untuk renovasi dan dekorasi museum. Dan tepat tanggal 19 November 2016 Museum Musik Indonesia ini diresmikan dan terbuka untuk umum. Hengki pun tidak muluk-muluk tentang keberadaan museum ini. Paling tidak tempat ini bisa menjadi pusat dokumentasi sekaligus data perjalanan musik Indonesia.

Proses digitalisasi

Dalam  menikmati musik zaman dahulu, yaitu dengan memakai berupa perangkat analog seperti kaset atau CD. Saat ini koleksi seluruhnya Museum Musik Indonesia ini sekitar berjumlah 21 ribu muali kaset, piringan hitam, CD, buku atau majalah. Media seperti kaset tersebut rentan untuk rusak karena di makan usia. Selain itu menggunakan pelaratan analog tersebut tidaklah efisien dan praktis. Dan untuk menyelamatkan “isi” yang berupa lagu atau musik tersebut dilakukan alih media ke arah yang lebih modern. Yaitu proses digitalisasi, mengkonversikannya dalam bentuk fileyang lebih praktis dan aman.

Tape recorder, alat untuk menikmati lagu dengan menggunakan kaset. Dok pribadi
Tape recorder, alat untuk menikmati lagu dengan menggunakan kaset. Dok pribadi

Langkah ini cukup efektif dalam menyelamatkan lagu dan musik yang pernah terekam di masa lalu. Melalui proses digitalisasi membuat karya musik tersebut akan lebih aman dan mudah untuk dinikmati. Setiap lagu dan musik yang telah digitalisasi tersebut di dokumentasi dengan rapi mulai judul, penyanyi, pengarang, tahun, serta data lain yang dirasa penting. Semua file tersebut di simpan dalam database khusus. Nah bila kita ingin menikmati lagu atau musik jadul tersebut, kita bisa lakukan permohonan pada petugas yang nantinya akan dibimbing untuk langkah selanjutnya.        

Menerima sumbangan dari masyarakat

Koleksi MMI memang belum lengkap dan itu diakui oleh Hengki. Jika ada masyarakat yang mempunyai koleksi kaset, buku, ataupun majalah musik yang sekiranya masih bagus yang diproduksi zaman dahulu bila berkenan dapat disumbangkan kepada museum ini.  Hadirnya koleksi ini dapat memperlengkap sekaligus dapat mengisi kepingan perjalanan musik Indonesia yang arsipnya masih tersebar di mana-mana.

Menurut Hengki sudah banyak masyarakat bahkan artis yang menyumbangkan koleksinya untuk diserahkan kepada MMI. Daripada koleksi tersebut tidak terpakai lebih baik sumbangkan kepada MMI sehingga upaya penyelamatan dan perawatannya pun ada. Dan selain itu adanya sumbangan koleksi tersebut akan memperkaya koleksi dari MMI ini yang ujung-ujungnya dapat melengkapi khazanah perjalanan musik Indonesia. Suatu bentuk lain dari apresiasi dan penghargaan terhadap karya cipta musik dan lagu anak bangsa.   

Bila kita ingin mengunjungi MMI ini, buka setiap hari mulai pukul 10 pagi sampai 5 sore. Tiket masuknya pun terjangkau 5 ribu rupiah saja. Kita akan dapat melihat suatu ruang data dan alat perjalanan musik Indonesia dari masa ke masa, tidak banyak tempat seperti ini ada, bisa jadi satu-satunya di Indonesia. Keberadaan MMI ini memungkinkan agar kita kita tidak pernah melupakan sejarah, terutama bidang musik yang setiap generasi mempunyai corak tersendiri. Generasi sekarang dan mendatang tidak boleh kehilangan jejak sejarah pendahulunya.                      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun