Mohon tunggu...
Hery Supriyanto
Hery Supriyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga net

Liberté, égalité, fraternité ││Sapere aude ││ Iqro' bismirobbikalladzi kholaq ││www.herysupri.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Nikmatnya Makan Sambil Kembulan di Kendi Indonesian Bistro

21 Maret 2017   10:28 Diperbarui: 21 Maret 2017   10:33 2736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanpa terasa hidangan yang tersaji akhirnya ludes juga. Dok pribadi

Makanan yang tersaji dihadapan kita kadang tidak melulu berkenaan dengan rasa dan tampilan. Cara menghidangkannya sendiri ada tata caranya begitu pula untuk menikmatinya. Hampir semua bangsa punya cara tersendiri. Pakai sendok, garpu, dan terkadang pisau bila ditinjau ala barat merupakan hal yang biasa. Pakai sumpit bagi masyarakat Jepang atau Tiongkok juga hal yang biasa walaupun hidangannya itu nasi, kita pun kadang turut menggunakannya jika menyantap makanan serupa.

Bagaimana dengan cara makan budaya negara kita? Kebanyakan yang kita lakukan adalah dengan menggunakan tangan secara langsung tanpa perantara (sendok, garpu, sumpit). Lebih afdol kata sebagian orang dibandingkan dengan menggunakan sendok. Namun budaya makan pakai tangan secara langsung saat ini sudah jarang yang melakukannya apalagi berada di warung atau restoran.

Di warung tegal (warteg) pun yang nota bene –biasanya- dari kalangan bawah pun kebanyakan pakai sendok dan garpu untuk menyantap makanannya. Namun ada juga bersifat opsional seperti ketika berada di warung lalapan atau di restoran Padang. Memang ada sedikit ribet bila menggunakan tangan, pengelola warung harus menyediakan kobokan untuk cuci tangan terutama paska “acara” makan tersebut.

Ada cara “ritual” yang sudah banyak kita lupakan dan jarang dilakukan yaitu memakan hidangan dengan tangan dan dilakukan secara bersama dalam satu wadah, istilah yang sering kita dengar adalah kembulan. Biasanya hal tersebut dilakukan pada acara khusus, beberapa komunitas (berdasar agama, suku) sudah jamak melakukannya. Sekarang bagaimana bila hal tersebut dilakukan di warung atau restoran? Hal tersebut jarang dilakukan. Namun di kota Malang ada restoran baru yang bahkan –sengaja- menyediakan menu kembulan tersebut, yaitu di Kendi Indonesian Bristo yang berada di Jl. Ciliwung No 48 Malang ini.

Saya dan bersama komunitas Malang Citizen (MC) diberi kesempatan menikmati hidangan cara kembulan ini pada hari kamis (16/03) lalu. Nama menunya adalah Sego Mulhuk, arti mulhuk sendiri berarti makan memakai tangan. Cukup menarik cara penyajiannya bahkan sangat tradisional. Menu nasi dan lauknya disuguhkan dalam lembaran daun pisang di atas meja. Lauknya sendiri cukup sederhana dan “akrab” di seharian kita. Yaitu berupa nasi uduk, ayam bakar, tahu bacem, ikan asin jamrong, dadar jagung, mie goreng, oseng daun papaya, sambal pencit, sambal terasi, lalapan komplit, serta krupuk. Menu yang tersaji tersebut “disetel” untuk lima orang.

Sego mulhuk yang ditata nuansa tradisional denga beralaskan daun pisang dan lauk yang familiar bagi kita. Dok pribadi
Sego mulhuk yang ditata nuansa tradisional denga beralaskan daun pisang dan lauk yang familiar bagi kita. Dok pribadi
Merasakan menyantap makanan secara kembulan memang berbeda dengan sendirian. Ada kebersamaan di antara peserta tersebut, semua mengesampingkan rasa egonya masing masing. Nasi yang ada serta lauknya dapat terbagi secara rata, lauk ikan dengan menyuilnya secara bergantian. Sehingga tanpa terasa dapat terdistribusi secara merata. Semua dinikmati dengan tenang dan tidak terburu-buru (khawatir tak kebagian). Kadang sesekali ada candaan dan saling mengomentari menu yang di sajikan.

Takaran antara nasi dan lauknya pada sego mulhuk ini benar-benar pas. Tanpa terasa dengan menikmati secara riang pada akhirnya habis juga. Entah karena citra rasa yang menggoda atau rasa kebersamaan yang membuat menyantapnya lebih lahap. Dan memang merasakan suasana kembulan ini tidak lah sering bahkan boleh dikatakan tidak pernah. Maka ketika ada pengalaman baru (terutama yang belum pernah merasakan) akan begitu antusias mencobanya.    

Nikmatnya sambil kembulan, semua bisa saling berbagi dengan rata. Dok pribadi
Nikmatnya sambil kembulan, semua bisa saling berbagi dengan rata. Dok pribadi
Inilah mungkin nikmatnya makan tersebut, makan pakai tangan (lebih afdol). Benar juga kata peneliti asal Jepang Hisanori Kato yang menulis buku Kangen Indonesia: Indonesia di mata Orang Jepang yang menyatakan makan pakai tangan ala orang Indonesia itu lebih menghargai hubungan alam dengan menyentuhnya, yang oleh orang Barat justru di beri jarak dengan menggunakan sendok dan garpu. Apalagi dilakukan dengan kembulan yang bersifat egaliter, urusan perut pun bisa diselesaikan dengan kebersamaan.

Untuk menikmati sego mulhuk ini memang tidaklah murah. Harganya bisa di atas rata-rata menu yang sama di resto biasa (bisa 2-3 kali lipatnya) serta masih ditambah pajak (10%) dan pelayanan (5%). Namun harga tersebut cukup sebanding dengan rasa dan pelayanannya. Kendi Indonesian Bistro sendiri memang memposisikan sebagai resto bintang tinggi baik untuk makanan dan minumannya. Selain tersedia menu tradisional (baca: lokal) juga yang modern (baca: kebarat-baratan). Menu makanan tradisional yang lain juga ada (di makan sendirian dan pakai sendok) seperti nasi bakar dan nasi goreng kendi. Untuk menu terakhir ini penyajianya juga cukup unik yaitu setelah nasi digoreng kemudian dibungkus dengan daun pusang dan dilapisi dengan daun jati, dan setelah itu dibakar untuk beberapa saat. Sensasinya juga ada sebab ada aroma daun jati yang meresap pada nasi.

Tanpa terasa hidangan yang tersaji akhirnya ludes juga. Dok pribadi
Tanpa terasa hidangan yang tersaji akhirnya ludes juga. Dok pribadi
Ada yang patut menggembirakan dengan fenomena makanan tradisional ini terutama sego mulhuknya. Ketikan ditanya kepada Irwansyah, manager Kendi Indonesian Bistro tentang menu apa yang paling favorit. Ia menyatakan bahwa di awal sejak berdiri (30 Desember 2016) pengunjung banyak yang memesan menu yang modern tersebut. Dan menurutnya pada akhir-akhir ini tren nya sudah berubah, lebih banyak ke masakan tradisional.

Keterangan Irwansyah ini cukup menggambarkan bagi kita bahwa masyarakat (terutama kalangan atas) saat ini tidaklah melupakan warisan kebiasaan nenek moyangnya. Keberadaan sego mulhuk yang dikemas lebih modern dan bergaya, sehingga yang dipresepsikan sebagai suatu tradisional (baca: deso) dapat naik kelas. Nah, dalam kesimpulan sementara ini bahwa masyarakat masyarakat bisa diedukasi tentang kebiasaan yang baik warisan nenek moyang ini dengan kehadiran sego mulhuk tersebut. Dengan demikian masyarakat tidak tercabut akarnya di mana mereka berasal, dan cepat kembali bila sesekali merasakan kebiasaan orang luar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun