Dibandingkang dengan di Jakarta, tuntutan para sopir angkutan kota (angkot) –biasa juga disebut mikrolet- dan taxi konvensional di Malang boleh dibilang terlambat. Tuntutannya hampir sama yaitu melarang angkutan berbasis aplikasi, tidak saja pada mobil juga sepeda motor. Alasan tuntutan tidak jauh beda, sepinya penumpang karena adanya pendatang baru (kalau tidak disebut kalah saingan).
Dan puncak dari segala tuntutan dan keluhan itu dilakukan dengan mogok beroperasi angkot yang sudah berlangsung sejak Senin(6/3) lalu dan sampai Rabu (8/3) masih berlanjut. Aksi mogok yang disertai demo para sopir angkot tersebut juga disuarakan di gedung Balaikota dan gedung DPRD kota Malang yang kebetulan letaknya bersebelahan.
Yang rugi jelas masyarakat yang selama ini masih menggantungkan angkot sebagai sarana transportasi, terutama bagi para pekerja dan pelajar. Namun dibalik semua itu, ternyata ada fenomena yang menarik dari aksi mogok angkot tersebut dengan hadirnya para relawan yang siap mengangkut penumpang yang terlantar baik dengan mobil dan sepeda motor.
Masih banyak orang baik di dunia ini.Ternyata berbuat baik itu mudah dan sederhana. Sikap inilah yang ditunjukkan para relawan dengan membantu para penumpang yang terlantar terutama para pelajar. Para relawan tersebut memang mengkhususkan bagi para pelajar yang menuju ke sekolah dan pulang ke rumah. Dan yang dilakukan para relawan tersebut benar-benar “mulia”, mereka bersedia mengantarkan sampai pada tujuan atau titik tertentu tanpa bayaran alias gratis. Beberapa persoalan pun selesai –walau sementara- dengan mogoknya para sopir angkot tersebut.
Tampak pula riuhnya orang yang berkumpul di kantor Telkom tersebut, dan sepertinya para relawan yang mukanya berseri-seri, terdengar pula celetukan candaan antar sesama relawan tersebut. Saya sendiri tidak berhasrat untuk bertanya langsung kepada relawan tersebut ataupun sekedar konfirmasi. Bisa jadi mereka akan bingung ketika ditanya mengapa melakukan itu semua, tanpa embel-embel biaya lagi. Saya percaya apa yang mereka lakukan itu tulus, menolong ya menolong tanpa harus dikemukakan alasannya. Akan berbahagia dan mempunyai arti dalam hidup ini ketika bisa memberi, seperti yang sering dikatakan orang bijak.
Gagalnya misi para sopir angkot
Aksi mogok yang berlangsung selama 3 hari tersebut tidak membuahkan hasil. Tuntutan sopir angkot "dicuekin" pemkot, aktifitas masyarakat berlangsung seperti biasa walau sedikit tersendat. Misi mereka jelas gagal total dalam memberikan nilai tawar. Akan beranggapan dengan mereka mogok, para penumpang akan terlantar. Dengan demikian masyarakat akan marah, dan roda perekonomian akan terganggu. Langkah selanjutnya akan mudah menekan pemkot untuk memenuhi tuntutannya.
Ada beberapa faktor kegagalan misi para sopir angkot tersebut, pertama, betapa lugunya para sopir angkot tersebut. Ya, jelas mereka bukanlah para politikus yang penuh dengan strategi dan intrik apalagi tipu daya. Aksi mereka hanyalah emosional belaka dengan mental kalah bersaing. Mereka beraksi tanpa data dan informasi yang lengkap (yang harusnya melakukan survey dulu). Apa yang sebenarnya dimaui masyarakat. Apa benar sepinya penumpang itu karena adanya angkutan online ataukah masyarakat yang sudah banyak mengunakan kendaraan pribadinya. Mereka bereaksi tanpa bisa memberikan solusi yang cerdas, hanya main pokoknya saja.
Kedua, tak didukung mahasiswa. Jika mahasiswa sudah bereaksi berarti sudah ada sesuatu yang tidak beres dalam sistem ini. Bisa jadi justru mahasiswa tidak ada yang dirugikan dengan keberadaan angkutan berbasis aplikasi ini. Tidak ada oligarki ekonomi di situ, semua serba transparan, mau pakai silahkan tidak ya tidak apa-apa. Tidak dapat dipunggiri juga pemakai jasa angkutan online ini adalah mahasiswa, demikian pula pengemudinya tidak sedikit yang masih mahasiswa. Suatu hal yang keren ketika mahasiswa dapat membiayai sendiri kuliahnya. Maka suatu yang wajar bila mahasiswa tidak berada pada pihak sopir angkot tersebut, bisa jadi melawan temannya sendiri, bisa dianggap jeruk makan jeruk.
Ketiga, masyarakat sudah semakin cerdas. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan teknologi (TIK) membuat masyarakat semakin kritis. “Kondisi” angkot tidak pernah berubah. Sering ngetem lama, armadanya tidak pernah diperbarui, dan beberapa hal yang membuat tidak nyaman bagi penumpang. Dan ketika ada “pendatang” baru yang lebih praktis, murah, dan cepat suatu hal yang wajar bila masyarakat “pindah ke lain hati”. Dan ketika para sopir angkot mogok, sebenarnya masyarakat tidaklah begitu resah sebab masih ada alternatif para “pendatang” baru tersebut.
Keempat, hadirnya relawan angkutan. Inilah sebenarnya pukulan telak bagi para sopir angkot. Angkot boleh mogok, tapi aktifitas masayarakat akan terus berlanjut dengan adanya relawan tersebut. Para sopir angkot jelas tidak dapat bertindak lebih lanjut kepada para relawan ini, toh tidak ada rebutan “uang” di sini. Untuk menyainginya para sopir tersebut harus memberi angkutan gratis juga. Satu-satunya jalan bagi para sopir angkot adalah “revolusi” penampilan dengan memperbaiki diri. Mogok bukan suatu solusi yang tepat untuk menaikkan nilai tawar. Andai kata mogok selamanya –bisa jadi -masyarakat tak peduli toh masih ada relawan yang memberi tumpangan, gratis lagi.
Adanya mogok sopir angkot, maraknya angkutan online, serta hadirnya relawan angkutan tersebut adalah suatu bentuk nyata gagalnya pemerintah dalam menyediakan angkutan umum bagi masyarakat. Keberadaan angkot pun tidak jelas “jenis kelaminnya”, angkutan umum yang tidak berada di bawah naungan pemerintah langsung (seharusnya seperti KAI atau DAMRI).
Dan masyarakat mulai jenuh dengan janji pemerintah yang menyediakan angkutan massal. Dan ketika ada komponen masyarakat yang “menciptakan” alternatif angkutan berbasis aplikasi, dan itu bisa melayani masyarakat dengan baik justru mendapat tentangan dari angkutan yang sudah dulu eksis. Ketika kalah saingan memperebutkan penumpang (baca: uang) justru pertentangan yang terjadi.
Adanya mogok sopir angkot tersebut adalah akumulasi persoalan fenomena puncak gunung es. Hanya kelihatan pada permukaan saja belum menyentuh dasar gunung yang itu menjadi akar masalahnya. Inilah kegagalan pemerintah (eksekutif-legislatif) dalam tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance) yang itu masih belum bersihnya dari “virus” korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Tidak ada kata lain selain berbenah, pemerintah harus hadir mengatasi ruwetnya masalah transportasi ini yang tidak lepas juga dengan masalah lain yang tidak kalah pelik (minimnya infrastuktur, pembatasan kendaraan pribadi, keterbatasan anggaran, kuatnya peran parpol yang tidak semestinya).
Hadirnya relawan angkutan tersebut membuktikan bahwa masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Masyarakat saat ini sudah begitu cerdas, harusnya pemerintah lebih cerdas lagi dengan melakukan terobosan. Tidak ada masalah bila di awal kebijakan tidak populis, asalkan pada jangka panjang akan teratasi masalahnya. Dan jika pemerintah tidak melakukan hal tersebut dan terkesan diam, maka jangan salahkan jika ada anggapan bahwa pemerintah itu ada sama saja dengan ketiadaannya.
Link terkait:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H