Suatu saat saya (bisa jadi Anda juga mengalaminya) pernah kehabisan bahan bakar di tengah jalan. Dan ternyata SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) Pertamina terdekat jaraknya masih lumayan jauh apalagi harus mendorong sepeda motor. Solusi terbaik adalah mencari kios bensin (saat ini tersedia Pertalite atau Pertamax) eceran yang biasa disediakan oleh warung atau tempat tambal ban. Cukup membeli satu liter saja untuk bisa dilaju menuju SPBU terdekat.
Urusan perbedaan harga tidak ada masalah berarti, selisihnya pun bisa dimaklumi asalkan solusi kehabisan bensin dapat teratasi. Tidak dipungkiri keberadaan kios bensin eceran cukup banyak tersedia di beberapa ruas jalan dan terkadang sampai pada jalan kampung. Dan dari keberadaannya itu pula cukup membantu para pengemudi kendaraan bermotor. Hukum ekonomi berjalan dengan sendirinya yang kemudian ditangkap masyarakat sebagai peluang (usaha).
Adanya beberapa kios bensin eceran itu juga tidak lepas dari keberadaan SPBU yang belum bisa memenuhi secara maksimal pelayanan kepada konsumen. Jejaring resmi sampai tingkat SPBU saja belum ada bentuk yang lebih kecil lagi. Celah kosong ini yang kemudian dimanfaatkan warga untuk membuat kios bensin eceran tersebut, di samping itu tidak sedikit konsumen yang memanfaatkannya. Tidak bersifat general memang, untuk skala Kota Malang dapat menjadi studi kasus. Hal ini bisa setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor:
Pertama, SPBU semakin berkurang. Di beberapa tempat SPBU banyak yang ditutup bukan karena kekurangan konsumen, tetapi lebih karena keberadaannya di tempat yang bukan peruntukannya sehingga perlu ditertibkan. Kebanyakan yang ditutup karena berada di jalur hijau atau di taman kota. SPBU pun semakin jarang di pusat kota. Karena alasan jauh itulah maka konsumen akan memilih kios bensin eceran yang mudah dijangkau. Dari pada jauh-jauh ke SPBU yang bisa jadi ongkos biayanya jatuh sedikit mahal.
Adanya kios bensin eceran membuat rasa penasaran ingin mengetahui lebih dekat lagi. Sempat saya membeli Pertalite eceran di tempat jasa tambal ban di pinggir Jalan Ahmad Yani dekat Hotel Atria, Kota Malang. Pengelolanya adalah Suwarto yang juga berprofesi sebagai tukang tambal ban ini. Ia menuturkan memulai usaha bensin eceran sekitar enam bulan yang lalu.
Lelaki paruh baya ini menjelaskan bahwa dalam sehari kurang lebih 40 liter Pertalite terjual. Hampir tiap hari ia kulakan Pertalite di SPBU terdekat 40 liter dalam 1 jiregen besar. Tidak ada kendala dan batasan dalam pembelian di SPBU sebab bukan BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsisi. Di kota Malang sendiri BBM bersubsidi (premium) sudah tidak dijumpai, kecuali beberapa SPBU yang berada di Kabupaten Malang.
Menurut pengakuannya biasanya konsumen cukup ngecer satu liter saja, sama seperti saya dengan harapan untuk mengisinya kembali bila menemui SPBU resmi. Harga yang dipatok 1 liter Pertalite, hampir seragam di kios eceran lainnya yaitu 8000 rupiah. Sedangkan harga di SPBU Pertamina Pertalite 6900 rupiah (November 2016). Dapat kita hitung sendiri berapa keuntungan per harinya bila terjual 40 liter itu. Suatu pendapatan yang lumayan untuk membuat dapur tetap mengebul.
Keberadaan kios bensin eceran tersebut sebenarnya sudah ada sejak dahulu,bahkan pada zaman minyak tanah masih begitu familiar yang harganya di bawah bensin (premium). Pada waktu itu selentingan bensin dioplos minyak tanah bukanlah isapan jempol terutama penjual yang nakal. Untuk saat ini masalah oplosan jarang terdengar, minyak tanah sudah langka andaikan ada pun harganya mahal.
Kondisi kios eceran saat ini sudah lebih baik dengan tidak ada lagi kecurangan seperti zaman dahulu. “Kenakalan” yang mungkin terjadi paling pengurangan volumenya yang tidak tepat 1 liter. Terlepas dari itu semua keberadaan kios eceran tersebut juga sangat membantu konsumen. Melihat fenomena ini sudah selayaknya Pertamina mempertimbangkan ada agen lain dalam mendistribusikan BBM ini. Tidak terlampau muluk para “pengelola” kios bensin eceran ini dapat dibina dan diberdayakan.
Skema bisa mirip menjadikan agen layaknya produk Pertamina lainnya LPG 3 kg tersebut. Selama ini sudah berjalan dengan baik, masyarakat tidak menemui kesulitan berarti memperoleh LPG 3 kg itu. Atau bisa mirip wartel oleh Telkom jaman dahulu. Atau bisa seperti kios penjual voucher dan pulsa dari operator seluler, yang kadang mereka juga difasilitasi seperti brosur, spanduk atau perangkat pendukung lainnya.
Untuk BBM pun bisa, yaitu dengan membina para penjual bensin eceran tersebut menurut hemat saya tidaklah rugi secara material. Pertamina tidak perlu memikirkan lokasi pemasaran produk dan menggaji pegawai internal, semua diserahkan ke masyarakat untuk menyalurkan produk. Pola yang ditawarkan yaitu kerja sama yang saling menguntungkan di kedua belah pihak dengan mengedepankan asas kepercayaan dan tata kelola yang baik (good governance).
Perlu Standardisasi Minimal
Sepertinya Pertamina juga perlu mengadakan penyuluhan kepada “pengelola” kios bensin eceran tersebut agar konsumen nantinya tidak dirugikan. Paling tidak dalam hal yang sederhana. Misalnya mempunyai takaran yang pas untuk satu liternya tidak sekedar kira-kira. Botol yang dipakai juga tidak boleh berganta-ganti dengan Pertamax lainnya agar terjaga kemurniannya.
Botol yang dipakai harus benar rapat sehingga tidak menguap sehingga mengurangi volume, selain itu agar tidak terkontaminasi unsur lain semisal air, oli atau pasir. Diharapkan juga menjaga keamanan dengan melarang merokok disekitar bensin yang dijual tersebut, dan meletakkan lampu/listrik dengan posisi aman sebab bisa memicu percikan listrik yang menyebabkan ledakan atau kebakaran. Serta beberapa aturan lain yang harus dipatuhi sekiranya dapat menyebabkan bahaya.
Bisa Dijadikan Penyalur Pertamina di Pelosok
Bahan bakar produksi Pertamina sudah sepatutnya dapat terdistribusi secara merata. Untuk di daerah di pucuk gunung atau pelosok keberadaan BBM juga diperlukan. Tidak sekadar untuk tujuan transportasi namun juga untuk menjalankan alat produksi yang dipakai petani. Di beberapa daerah pertanian juga perlu bensin atau solar dalam menjalankan traktor. Demikian pula di daerah pantai juga para nelayan memerlukan bahan bakar buat kapal/perahu ketika melaut.
Jika Pertamina tidak dapat bekerja sendiri bisa juga diberdayakan para pengecer bensin tersebut. Dibuat skema yang saling menguntungkan di kedua belah pihak. Para pemangku kepentingan (pemda atau kementrian terkait) dapat berpartisipasi untuk membantunya setidaknya birokrasi tidak dibuat ruwet. Untuk amannya bisa dibentuk badan hukum seperti koperasi yang dikoordinir kelompok tani/nelayan. Bantuan Pertamina bisa berbentuk alat simpan bahan bakar yang berkapasitas besar dan aman. Yang kemudian pembeliannya dapat secara kolektif oleh kelompok tersebut. BBM yang dipakai jelas diperlukan bukan untuk tujuan konsumtif tapi produktif untuk menggerakkan ekonomi perdesaan.
Keberadaan kios bensin eceran yang dimiliki masyarakat itu cukup membantu masyarakat lainnya paling tidak sebagai “dewa penyelamat” ketika kehabisan bensin di tengah jalan untuk sekiranya dapat mengisinya kembali sesampainya di SPBU. Kios bensin eceran tersebut bukanlah pesaing (kompetitor) dari Pertamina, mereka menjual produk Pertamina juga.
Tidak perlu kekhawatiran yang berlebihan terhadap keberadaan kios bensin eceran tersebut. Bukan semata-mata urusan bisnis semata, lebih ke arah pemenuhan kebutuhan konsumen yang bisa diperoleh secara praktis. Hal ini tentu akan membantu Pertamina dalam mendistribusikan produknya itu, yang tidak bisa menyalurkannya sendiri apalagi sampai ke pelosok daerah. Mencari mitra bisnis strategis bisa menjadi jalan keluarnya.
Sembari Pertamina terus berpikir konsep terbaik bagaimana mendistribusikan produknya secara efektif dan merata, keberadaan kios bensin eceran tidak perlu menjadi ancaman apalagi “dimatikan” dengan dikasuskan secara hukum misalnya. Upaya pembinaan dan pemberdayaan adalah solusi terbaik. Selain dapat membantu perekonomian masyarakat bawah baik sebagai penjual dan pembeli, Pertamina (sebagai kepanjangtanganan negara) juga dapat pula memenuhi amanat konstitusi bahwa kekayaan alam dapat dinikmati seluruh warganya melalui suatu mekanisme yang juga melibatkan warga biasa (tidak selalu pengusaha bermodal/investor) sebagai mitra distribusinya.
Terima kasih Kompasiana dan Pertamina atas apresiasi tulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H