Untuk BBM pun bisa, yaitu dengan membina para penjual bensin eceran tersebut menurut hemat saya tidaklah rugi secara material. Pertamina tidak perlu memikirkan lokasi pemasaran produk dan menggaji pegawai internal, semua diserahkan ke masyarakat untuk menyalurkan produk. Pola yang ditawarkan yaitu kerja sama yang saling menguntungkan di kedua belah pihak dengan mengedepankan asas kepercayaan dan tata kelola yang baik (good governance).
Perlu Standardisasi Minimal
Sepertinya Pertamina juga perlu mengadakan penyuluhan kepada “pengelola” kios bensin eceran tersebut agar konsumen nantinya tidak dirugikan. Paling tidak dalam hal yang sederhana. Misalnya mempunyai takaran yang pas untuk satu liternya tidak sekedar kira-kira. Botol yang dipakai juga tidak boleh berganta-ganti dengan Pertamax lainnya agar terjaga kemurniannya.
Botol yang dipakai harus benar rapat sehingga tidak menguap sehingga mengurangi volume, selain itu agar tidak terkontaminasi unsur lain semisal air, oli atau pasir. Diharapkan juga menjaga keamanan dengan melarang merokok disekitar bensin yang dijual tersebut, dan meletakkan lampu/listrik dengan posisi aman sebab bisa memicu percikan listrik yang menyebabkan ledakan atau kebakaran. Serta beberapa aturan lain yang harus dipatuhi sekiranya dapat menyebabkan bahaya.
Bisa Dijadikan Penyalur Pertamina di Pelosok
Bahan bakar produksi Pertamina sudah sepatutnya dapat terdistribusi secara merata. Untuk di daerah di pucuk gunung atau pelosok keberadaan BBM juga diperlukan. Tidak sekadar untuk tujuan transportasi namun juga untuk menjalankan alat produksi yang dipakai petani. Di beberapa daerah pertanian juga perlu bensin atau solar dalam menjalankan traktor. Demikian pula di daerah pantai juga para nelayan memerlukan bahan bakar buat kapal/perahu ketika melaut.
Jika Pertamina tidak dapat bekerja sendiri bisa juga diberdayakan para pengecer bensin tersebut. Dibuat skema yang saling menguntungkan di kedua belah pihak. Para pemangku kepentingan (pemda atau kementrian terkait) dapat berpartisipasi untuk membantunya setidaknya birokrasi tidak dibuat ruwet. Untuk amannya bisa dibentuk badan hukum seperti koperasi yang dikoordinir kelompok tani/nelayan. Bantuan Pertamina bisa berbentuk alat simpan bahan bakar yang berkapasitas besar dan aman. Yang kemudian pembeliannya dapat secara kolektif oleh kelompok tersebut. BBM yang dipakai jelas diperlukan bukan untuk tujuan konsumtif tapi produktif untuk menggerakkan ekonomi perdesaan.
Keberadaan kios bensin eceran yang dimiliki masyarakat itu cukup membantu masyarakat lainnya paling tidak sebagai “dewa penyelamat” ketika kehabisan bensin di tengah jalan untuk sekiranya dapat mengisinya kembali sesampainya di SPBU. Kios bensin eceran tersebut bukanlah pesaing (kompetitor) dari Pertamina, mereka menjual produk Pertamina juga.
Tidak perlu kekhawatiran yang berlebihan terhadap keberadaan kios bensin eceran tersebut. Bukan semata-mata urusan bisnis semata, lebih ke arah pemenuhan kebutuhan konsumen yang bisa diperoleh secara praktis. Hal ini tentu akan membantu Pertamina dalam mendistribusikan produknya itu, yang tidak bisa menyalurkannya sendiri apalagi sampai ke pelosok daerah. Mencari mitra bisnis strategis bisa menjadi jalan keluarnya.
Sembari Pertamina terus berpikir konsep terbaik bagaimana mendistribusikan produknya secara efektif dan merata, keberadaan kios bensin eceran tidak perlu menjadi ancaman apalagi “dimatikan” dengan dikasuskan secara hukum misalnya. Upaya pembinaan dan pemberdayaan adalah solusi terbaik. Selain dapat membantu perekonomian masyarakat bawah baik sebagai penjual dan pembeli, Pertamina (sebagai kepanjangtanganan negara) juga dapat pula memenuhi amanat konstitusi bahwa kekayaan alam dapat dinikmati seluruh warganya melalui suatu mekanisme yang juga melibatkan warga biasa (tidak selalu pengusaha bermodal/investor) sebagai mitra distribusinya.
Terima kasih Kompasiana dan Pertamina atas apresiasi tulisan ini.