Pada hari Minggu siang (21/8) kami anggota komunitas Bolang (Blogger Kompasina Malang) berkumpul di kafe Coklat Klasik sebagai agenda rutin bulanan. Di pertemuan itu sebenarnya membahas bagaimana Bolang dan anggotanya nanti dalam menyongsong Kompasianival 2016 (8 Oktober) yang mengambil tema: berbagi. Ngomong ngalor-ngidul pun dilakukan. Bukan sebuah kebetulan mbak Desol anggota Bolang dan juga penggiat fiksiana ini mengutarakan ingin berbagi rezeki dari dua buku yang digagasnya itu sudah pada proses percetakan.
Gayung pun bersambut, perlu dipilih pihak yang sekiranya layak untuk diberi perhatian. Dan akhirnya usulan diterima dari anggota baru Bolang Ferry yang mengusulkan untuk men-survey Kampung Sinau. Secara kebetulan juga ia adalah relawan di kampung itu yang kegiatannya adalah salah satunya adalah memberikan bimbingan belajar bagi murid SD dan SMP.
Akhirnya kami sepakat untuk mengunjungi Kampung Sinau yang berada di Jalan Untung Suroso RT 04 RW Kelurahan Cemorokandang Kecamatan Kedungkandang Kota Malang pada sepekan berikutnya di hari sabtu (27/8). Kami berkunjung ke sana berbekal keingintahuan yang tinggi (kepo yang positif) tentang kampung yang unik sekaligus untuk men-survey sekiranya ada yang bisa Bolang bantu sesuai kemampuan.
Kampung ini menjadi unik dan menarik perhatian masyarakat adalah karena ada aktifitas belajar buat anak-anak. Kata sinau sendiri dalam bahasa Jawa berarti belajar. Sebenarnya konsep kampung semacam ini bukanlah hal yang baru. Di beberapa kota sudah ada yang menerapkannya.
Berkenaan dengan masalah kampung di kota Malang, Kampung Sinau ini masih kalah populer dengan Kampung Warna-warni yang menarik para penggiat media sosial yang banyak dipakai untuk selfie. Ada perbedaan mendasar diantara kedua kampung tersebut. Jika kampung warna-warni digagas oleh kalangan luar yang dalam hal ini para mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, yang kemudian mendapat sambutan dari perusahaan cat melalui program CSR (corporate social responsibility) untuk pengecatannya.
Berbeda dengan Kampung Sinau yang digagas oleh warganya sendiri yang dari kalangan muda. Muhamad Toha Mansur Al Badawi yang boleh dibilang sebagai penggagas atau penggiat bukanlah dari kalangan anak kuliahan, ia hanya alumnus Sekolah Menengah Kejuruan Muhammadiyah 1 Kota Malang. Segala operasional ditangani sendiri, alih-alih dari perusahaan dari pemerintah sendiri masih belum dapat perhatian yang berarti (yang sebenarnya menjadi tanggungjawabnya).
Program di Kampung Sinau sendiri senarnya sudah berjalan hampir 2 tahunan. Menurut Mansur diadakan Kampung Sinau sendiri karena alasan yang sangat sederhana. Adalah sebuah keprihatinan bahwa di kampung tempat tinggalnya tersebut anak-anak lulusan SD jarang yang bisa menembus sekolah SMP negeri. Dari melihat fenomena tersebut tentu ada yang salah dari cara belajarnya, maka cara yang paling tepat adalah memberikan bimbingan belajar di luar jam jam sekolah.
Kampung Sinau memang berkembang secara alamiah tidak berkonsep kaku dengan segala “peraturan” yang membebani. Perserta didik hanya berkisar antara 50 sampai 60 murid saja. Penatataan buku-buku bagi para anak didik masih terlihat berantakan, dan alat-alat musik seperti angklung yang ditaruh sekenanya saja. Para pengajarnya pun mengandalkan para sukarelawan dari para mahasiswa yang kebanyakan dari Universitas Negeri Malang (UM). Pengajarnya pun silih berganti yang jumlahnya bisa ratusan, sedangkan untuk pengurus tetap hanya ditopang oleh 4 personel saja.
Dalam even Agustusan memperingati 71 tahun kemerdekaan RI Kampung Sinau tidak pula ketinggalan. Untuk lebih semarak maka diadakan festival budaya yang dilaksanakan 26-27 Agustus. Festival tersebut setidaknya ada dua agenda yaitu pameran (mural, karya lukis daur ulang, karya PKK RW 04) serta pentas seni (pertunjukan barongsai, tari kolosal). Pesertanya tidak saja dari Kampung Sinau saja yang diantaranya pementasan 50 tari topeng oleh anak-anak. Juga ada dari luar seperti dari Bali, Kalimantan, serta Sumatera. Semua partisipasi dari luar didapatkan bersasarkan jejaring yang bagus sehingga berkenan berpartisipasi.
Mengambil pentas seni bukanlah hal yang berlebihan. Sejalan dengan berjalannya waktu ternyata para anak didik yang diharapkan pintar urusan pelajaran sekolah malah lebih tertarik pada seni. Maka diberilah saluran untuk menyalurkan bakat dibidang seni lukis, suara, dan musik. Mansur pun tidak mempermasalahkan hal tersebut yang mungkin “melenceng” dari harapan awal. Cukup salut mengenai hal ini sebab anak mempunyai bakat tersendiri yang perlu diarahkan.
Yang lebih menarik adalah rumah di Kampung Sinau di cat dengan diberi gambar mural. Suatu karya seni tersendiri yang berisi tentang pesan inpiratif dan menggugah. Karena muralnya unik maka tidak berlebihan bila banyak yang menggunakan sebagai latar belakang untuk berfoto ria. Pengunjung yang hendak menikmati festifal budaya tersebut tidaklah gratis, tiket masuknya pun sangat mendidik yaitu dengan menggunakan buku. Mansur sendiri menargetkan 1000 buku akan terkumpul dari festival budaya di Kampung Sinau itu.
Seperti penjelasan di wikipedia.org invisible hand (tangan tak terlihat) adalah metafora yang dipakai Adam Smith untuk menyebut manfaat sosial yang tak terduga-duga berkat tindakan individu. Merangkum gagasan Smith bahwa upaya seseorang untuk mengejar kepentingan pribadinya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat apabila tindakan mereka secara langsung bertujuan untuk memakmurkan masyarakat.
Melihat fenomena di Kampung Sinau seakan membenarkan apa yang diungkapkan teori Adam Smith itu. Dengan hanya 4 personil tetap mampu menggiatkan Kampung itu, relawan pun banyak yang datang walaupun sekedar “datang dan pergi”. Saya sendiri tidak habis fikir bagaimana Kampung Sinau itu dapat begairah dan berjalan lancar apa adanya. Menilai Kampung Sinau memang tidak bisa hanya melihat satu hari saja, ataupun hanya berinteraksi dengan beberapa gelintir nara sumber.
Menurut pandangan saya mengadakan festival budaya itu jelas membutuhkan dana operasional yang tidak sedikit. Sanggup mendatangkan beberapa pentas dari daerah luar, belum lagi pembuatan muralnya. Ketika saya tanyakan bagaimana bisa mendatangkan peserta dari luar, Mansur hanya menjelaskan bahwa mempunyai rekanan yang peduli dan mereka mau datang untuk berpartisipasi.
Melihat kegairahan di Kampung Sinau ini membuat kita bisa mengukur dimana kita memposisikan diantara empat golongan manusia seperti yang dikatakan oleh Imam Ghazali. Golongan yang paling tepat sesuai dengan situasi Kampung Sinau adalah manusia yang tahu bahwa dirinya tidak tahu. Dengan kesadaran tersebut maka akhirnya mau belajar karena ketidaktahuannya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H