[caption caption="Sumber: www.wayang.co.id"][/caption]Akhirnya kesampaian juga melihat Film Terbaik FFI 2015, Siti, dijaringan bioskop komersial. Yang sebelumnya sempat dikhawatirkan –dengan alasan tertentu- hanya bisa dinikmati kalangan terbatas.
Fim ini berkisah tentang tegarnya seorang perempuan (dalam hal ini Jawa) dalam menghadapi keras getirnya kehidupan, Siti namanya yang diperankan apik oleh Sekar Sari. Kemiskinan yang dideranya serta pendidikan formal yang minim (bukan berarti bodoh atau tidak cerdas) semakin menambah penderitaan. Derita yang dialaminya cukup lengkap, kekurangan secara materi menyebabkan ia harus bekerja keras –hasilnya tidak seberapa- untuk menghidupi keluarganya, anak, ibu mertua, dan suaminya.
Derita hati juga tidak ketinggalan. Sang suami, Bagus (Ibnu Widodo) tidak dapat mencari nafkah lagi akibat kecelakaan di laut. Ia hanya bisa berbaring di ranjang, dan kapal hasil pinjaman hilang dan itu masih menyisakan hutang yang harus dibayar. Siapa lagi yang harus menanggungnya selain istrinya itu. Memenuhi kebutuhan hidup harus ada uang, untuk kehidupan sehari-hari, dan biaya sekolah anak semata wayangnya Bagas (Bintang Timur Widodo).
Berjualan peyek ternyata tidak cukup, maka –seakan- tiada pilihan lain untuk dapat memperoleh uang itu maka Siti menjadi pemandu karaoke. Suatu profesi yang tentu tidak diinginkannya, apalagi pandangan negatif dari masyarakat bahwa profesi itu buruk. Mau dibilang apalagi, menjadi pemandu karaoke adalah jalan keluar terdekat untuk memperoleh uang yang cukup.
Suami mana yang mau istrinya berprofesi seperti itu. Bagus tidak senang akan pekerjaan Siti itu. Bentuk sikapnya -khas Jawa- yang tidak menampakkan secara vulgar, yang ia tunjukkan hanya diam alias tidak mau bicara sepatahpun kepada Siti. Tidak hanya Siti, ibu dan anaknya pun didiamkan, pendek kata semua orang ia perlakukan seperti itu. Sebagai istri, Siti pun tetap tegar. Ia rawat suaminya itu dengan baik, membersihkan badan dan menyuapinya setiap hari. Sikap baik belum tentu mendapat balasan baik, sang suami tetap mendiamkannya. Harapan Siti tidaklah muluk-muluk, ia hanya ingin mendengar suara suaminya itu.
Suatu ketika tempat karaoke Siti bekerja dirazia polisi karena tidak berijin dan menjual minuman keras. Dan pada akhirnya Siti pun berhenti menjadi pemandu karaoke. Walaupun Siti sudah tidak lagi berada di tempat karaoke, sikap Bagus tetap diam, ia masih marah kepada Siti. Untuk kehidupan sehari-hari Siti berjalan peyek di sekitar pantai Parangtritis dengan dibantu ibu mertuanya .
Selama menjadi pemandu karaoke rupanya Siti menjalin asmara dengan Gatot (Haydar Saliz) anggota polisi yang turut merazia tempat karaoke itu. Gatot rupanya jatuh hati kepada Siti, dan berniat menjalin hubungan lebih jauh lagi. Teman-teman Siti pun turut mengompori agar Siti menanggapi serius ajakan Gatot itu, meninggalkan suami yang tidak pernah menghargainya.
Suatu hari tanpa dinyana sang pemberi pinjaman Karyo (Catur Stanis), menagih hutang kepada Siti agar segera dibayar paling tidak mencicilnya. Karyo memberi tenggat tiga hari kepada Siti agar melunasinya, jika tidak akan dilaporkan ke polisi. Seakan mendapat angin segar, beberapa hari kemudian ternyata karaoke tempat bekerja Siti dapat beroperasi lagi karena pemiliknya sudah mengurus ijin.
Oleh teman seprofesi Siti yang lain menawari Siti untuk bekerja kembali di tempat itu. Siti sempat gamang untuk menerima ajakan itu, ya atau tidak. Pada akhirnya Siti pun memutuskan untuk kembali menjadi pemandu karaoke. Tidak ada pilihan lain, inilah solusi terbaik untuk mendapat banyak uang untuk melunasi utang tersebut.
Acara pembukaan karaoke juga dihadiri para “pejabat” kepolisian, tidak terkecuali dengan Gatot. Layaknya tempat hiburan malam, tidak lepas dari kepulan asap rokok dan juga alkohol. Pada saat “happy-happy” itu Gatot mengutarakan ajakan untuk menikahi Siti, yang itu berarti Siti harus meninggalkan suaminya itu. Mendapat ajakan itu sempat membuat Siti gamang. Logika akal sehat seharusnya menerima ajakan itu, hidup bersama dengan pria mapan sekaligus dapat melepas penderitaannya selama ini. Buat apa hidup bersama dengan lelaki yang “menyusahkan” dan tidak pernah menghargainya itu.
“Pesta” pembukaan tempat karaoke itu telah usai. Siti diantar pulang oleh kedua temannya dalam kondisi mabuk. Dan ia ditidurkan di ranjang yang juga ditempati suaminya. Dalam keadaan setengah sadar dan tidak, Siti mengutarakan segala unek-uneknya yang selama ini dipendamnya. Ia ingin suaminya berbicara padanya. Siti juga mengutarakan bahwa ada seorang lelaki mapan yang ingin menikahinya, untuk itu ia ingin pisah dari Bagus. Siti pun meminta pertimbangan suaminya itu.
Tanpa dinyana ternyata suaminya pun pada akhirnya berbicara, suatu keinginan yang selama ini yang diidamkannya, mendengar suara suaminya itu. Suatu perkataan Bagus yang singkat namun padat : lungo’o Ti, lungo’o (pergilah Ti, pergilah). Suatu jawaban yang realistis dari suami yang tahu diri, seakan ia ingin membebaskan Siti dari penderitaan sekaligus memberikan jalan agar Siti mendapatkan keadaan yang lebih baik.
Mendapat jawaban dari suaminya itu membuat pecah tangis dan emosi Siti, ia juga sempatkan memaki suaminya itu. Mungkin Siti mengira suaminya itu akan tetap bungkam, sehingga situasi akan tetap mengambang. Entah apa yang dinginkan oleh Siti, jawaban suaminya itu tidak disambutnya dengan perasaan suka cita. Tidak ada jawaban pasti diakhir film ini. Suatu jalinan yang elok dari cerita Film Siti, yang mampu mengoyak emosi penonton untuk menerka-nerka gerangan apa yang dimaksudkan tokoh utama ini.
Film ini unik (berbeda dengan pada umumnya). Suasana sangat Jawani, kebanyakan pakai bahasa Jawa. Rangkaian cerita yang menampilkan kondisi keseharian masyarakat –kaum marjinal- yang selama ini sering dihina dan dipandang sebelah mata. Kaya ungkapan filosofi Jawa yang cukup populer di telinga kita (seperti Gusti Allah ora sare, urip iki mampir ngombe). Film ini mampu menggambarkan bagaimana menghadapi kehidupan yang penuh derita tanpa harus kehilangan canda, tawa, dan juga harapan.
Menurut saya film ini cukup bagus dan menyentuh. Film ini dibuat sangat sederhana dengan segala kekurangan (ongkos produksi). Film yang dibuat dengan format hitam putih, tanpa ada pemain yang populer di publik. Namun demikian dengan segala kekurangan mampu menjadi film yang berkualitas. Hanya sayang film bagus ini kurang mendapat sambutan dari publik (penonton minim). Film Siti bisa dijadikan pelajaran. Kedepannya semoga saja sineas kita dapat membuat film yang berkualitas dengan mampu menyedot penonton (baca: menghargainya). Saya rasa itu bisa, film Iran (Children of Heaven) atau India (Slugdog Millionaire) bisa diambil contoh. Jangan lupa film berkualitas juga perlu diinformasikan dan dipromosikan, sehingga publik tahu bahwa itu film bagus dan “wajib” tonton.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H