Mohon tunggu...
Hery Supriyanto
Hery Supriyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga net

Liberté, égalité, fraternité ││Sapere aude ││ Iqro' bismirobbikalladzi kholaq ││www.herysupri.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tegar Menghadapi Pahitnya Hidup dalam Film Siti

3 Februari 2016   18:20 Diperbarui: 3 Februari 2016   18:45 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa dinyana ternyata suaminya pun pada akhirnya berbicara, suatu keinginan yang selama ini yang diidamkannya, mendengar suara suaminya itu. Suatu perkataan Bagus yang singkat namun padat : lungo’o Ti, lungo’o (pergilah Ti, pergilah). Suatu jawaban yang realistis dari suami yang tahu diri, seakan ia ingin membebaskan Siti dari penderitaan sekaligus memberikan jalan agar Siti mendapatkan keadaan yang lebih baik.

Mendapat jawaban dari suaminya itu membuat pecah tangis dan emosi Siti, ia juga sempatkan memaki suaminya itu. Mungkin Siti mengira suaminya itu akan tetap bungkam, sehingga situasi akan tetap mengambang. Entah apa yang dinginkan oleh Siti, jawaban suaminya itu tidak disambutnya dengan perasaan suka cita. Tidak ada jawaban pasti diakhir film ini. Suatu jalinan yang elok dari cerita Film Siti, yang mampu mengoyak emosi penonton untuk menerka-nerka gerangan apa yang dimaksudkan tokoh utama ini.

Film ini unik (berbeda dengan pada umumnya). Suasana sangat Jawani, kebanyakan pakai bahasa Jawa. Rangkaian cerita yang menampilkan kondisi keseharian masyarakat –kaum marjinal- yang selama ini sering dihina dan dipandang sebelah mata. Kaya ungkapan filosofi Jawa yang cukup populer di telinga kita (seperti Gusti Allah ora sare, urip iki mampir ngombe). Film ini mampu menggambarkan bagaimana menghadapi kehidupan yang penuh derita tanpa harus kehilangan canda, tawa, dan juga harapan.

Menurut saya film ini cukup bagus dan menyentuh. Film ini dibuat sangat sederhana dengan segala kekurangan (ongkos produksi). Film yang dibuat dengan format hitam putih, tanpa ada pemain yang populer di publik. Namun demikian dengan segala kekurangan mampu menjadi film yang berkualitas. Hanya sayang film bagus ini kurang mendapat sambutan dari publik (penonton minim). Film Siti bisa dijadikan pelajaran. Kedepannya semoga saja sineas kita dapat membuat film yang berkualitas dengan mampu menyedot penonton (baca: menghargainya). Saya rasa itu bisa, film Iran (Children of Heaven) atau India (Slugdog Millionaire) bisa diambil contoh. Jangan lupa film berkualitas juga perlu diinformasikan dan dipromosikan, sehingga publik tahu bahwa itu film bagus dan “wajib” tonton.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun