[caption id="" align="aligncenter" width="442" caption="Razia preman kecil: dampak dari tatanan sosial yang sakit "][/caption]
Akhir-akhir ini kita sering diberitakan aksi kekerasan yang dilakukan para preman. Aksinya cukup dibilang sangat mengkhawatirkan cenderung mengerikan bahkan brutal, entahlah apa yang membuat para preman tersebut begitu nekat dan berani. Padahal bukan menjadi rahasia umum bahwa tiap preman mempunyai kekuasaannya sendiri dan secara “kode etik” mereka tidak akan saling mengganggu, istilah populernya “sesama sopir dilarang saling mendahului”
Keberadaan preman jelas tidak berdiri sendiri, ada suatu sistem yang melatarbelakanginya. Endah itu sebuah kebetulan atau memang perlu “diadakan” untuk tujuan-tujuan tertentu oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Dunia preman memang keras bahkan menjurus “hitam”. Setiap orang jelas tidak akan mau dengan dunia kekerasan, adalah suatu keterpaksaan saja sehingga orang mau terjun ke dunia itu. Sama juga dengan dunia pelacur, jika ditanya dengan sejujurnya maka mereka tidak menghendaki berada di dunia yang penuh nista itu. Alasannya memang cukup klasik karena kemiskinan, himpitan ekomoni, dan kepentingan para penggerak perekonomian yang menjadikan sebagai komoditas.
Kejadian kekerasan para preman merupakan puncak fenomena dari gunung es. Kita hanya selalu melihat pada puncaknya, bahwa di bawahnya terdapat berbagai permasalahan yang begitu kompleks dan rumit yang tidak kunjung tertangani bahkan terkesan ada pembiaran. Buah dari suatu tatanan masyarakat yang sakit dan rusak yang pada akhirnya menimbulkan penyakit masyarakat seperti pelacuran dan premanisme. Serta berakibat pada kemerosotan nilai kemanusiaan (dehumanisasi), tidak hanya preman masyarakatpun kerap mudah marah dan melakukan tindakan anarkis.
Selama ini memang kita sering disuguhi kejadian yang mengusik rasa keadilan masyarakat. Resiko menjadi maling ayam begitu berat, jika lolos dari amukan massa maka penjaralah tempatnya. Dan itu berbanding terbalik dengan para koruptor yang hanya di hukum ringan bahkan bebas. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin begitu menganga. Dan apalagi jika kekayaan itu didapatkan dengan cara yang ilegal (korupsi, manipulasi, dan eksploitasi). Dalam melihat kondisi tersebut kadang muncul tokoh-tokoh yang bermental “Robin Hood”. Ia mencuri dan merampok bukan untuk dimakan sendiri tapi dibagikan kepada yang membutuhkan. Jelas cara itu salah, lagi-lagi keterpaksaanlah yang menyebabkan mereka nekat.
Jika melihat lebih jernih siapa yang sebenarnya layak di sebut preman. Dalam analisa sederhana dapat –sementara- ditarik kesimpulanbahwa preman jalanan itu hanyalah sosok yang kecil. Ada sosok yang besar dibalik itu, biasanya “bos-bos” besar itu tentu yang mempunyai kekuasaan dan kekuatanyang kadang berupa modal, massa, dan politik bahkan ada yang berbau keagamaan. Para “preman besar” itu tidak kasat mata bertindak layaknya seperti “preman kecil” jalanan itu. Cukup di balik layar memerankannya, sangat rapi, halus, dan tidak kentara.
Tugas pemerintah jelas berat, yang perlu diberantas adalah para “preman-preman” besar itu. Jika itu mampu dilaksanakan maka akan mudah mengatasi preman-preman kecil di jalanan. Dan pemerintah harus dapat melaksakanan fungsinya menjaga ketertiban serta fokus penanganan di akar permasalahan . Dalam suatu tatanan sosial yang rusak dan sakit ini, sama seperti pelacur, sosok preman jalanan itu hanyalah “korban” yang kerapdisalahkan dan dikambinghitamkan pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H