[caption id="attachment_394094" align="alignleft" width="640" caption="Apel ranum siap dipetik dan dinikmati. Dok pribadi"][/caption]
Beberapa hari ini kita sempat disibukkan dengan beredarnya apel impor yang mengandung bakteri – kemungkinan besar- tidak aman (Kompas.com). Sampai saat ini berita itu masih simpang siur tentang benar tidaknya, pemerintah pun belum secara lugas menjelaskannya. Daripada memikirkan apel impor yang tidak selamanya bagus dan baik, marilah kita sejenak menengok apel lokal yang –boleh jadi- mulai terabaikan.
Apel lokal identik dengan apel Malang. Namun lebih tepatnya dan yang benar adalah apel Batu, karena perkebunan apel memang berada dari daerah ini. Rasa apel Batu memang tidak kalah dengan apel impor, apalagi menikmatinya dalam bentuk yang benar-benar segar.Yaitu dengan memetiknyadari pohonnya, langsung dimakan di tempat.
[caption id="attachment_394109" align="aligncenter" width="640" caption="Tersedia area parkir yang luas, cukup bila membawa rombongan banyak. Dok Pribadi"]
Sudah banyak yang mengetahui bahwa Batu sebagai “gudangnya” tempat wisata,tidak ketinggalan pula denganmenyediakan wisata unik yang dikemas dengan memetik buah. Tidak saja apel, buah yang lainnya seperti stoberi dan jeruk juga ada tergantung musimya. Untuk apel sendiri dapat dipanen sepanjang masa. Itu karena para petani yang begitu pandai “mengaturnya” sehingga ketersediaan apel Batu dapat stabil. Di Batu sendiri banyak yang menyediakan wisata petik buah. Para petani di Batu cukup diuntungkan dengan adanya wisata petik buah ini yang memang punya daya tarik tersediri.
Beberapa minggu yang lalu hari Rabu (14/1) saya sempat menikmati sensasi asyiknya memetik buah apel dari pohonnya. Ibarat pepatah “sambil menyelam minum air”ketika sambil mengantar rombongan tour siswa SMK dari Cilacap yang berlibur ke kota Batu. Perkebunan apel yang fungsikan sebagai tempat wisata ini berada di dusun Gerdu desa Tulungrejo kecamatan Bumiaji kota Batu.
[caption id="attachment_394097" align="aligncenter" width="640" caption="Pintu masuk yang begitu sederhana memasuki perkebunan petik apel. Dok Pribadi"]
Daerahnya masih alami perkebunan dan tidak di-setting dominan objek wisata, yang justru inilah yang menjadi daya tariknya (tetap alami dan apa adanya). Setelah masuk kita akan disuguhkan keindahan alam pegunungan, yang berada di kaki gunung Arjunodan Anjasmoro serta panorama gunung Panderman di kejauhan.
Aturan main di wisata petik apel ini adalah kita bebas memilih pohonnya mencari buah yang diinginkan serta memetiknya. Kita pun bebas memakannya, sepuasnya asal masih diarea perkebunan.Jika ingin membawa pulang hasil buah apel yang kita petik boleh saja, maka di pintu keluar akan ditimbang dan kita dikenai biaya untuk itu.
Di area itu memang dibagi-bagi beberapa blok (cukup dibatasi tali rafia) agar pengaturan pemetikan dapat berjalan kontinu. Satu daerah boleh bebas memetik, daerah lain justru “terlarang”. Jika area tersebut sudah habis dipetik, maka pindah ke area berikutnya yang sudah siap petik, dan begitu seterusnya.
[caption id="attachment_394098" align="aligncenter" width="640" caption="Hamparan perkebunan apel berlatar belakang pemandangan indah. Dok Pribadi"]
“Kreatifitas” pengunjung
Saya pun turut mencoba merasakan sensasi petik apel ini. Kita dapat mengira-ngira sendiri apakah apel itu sudah matang atau belum, dapat dilihat dari ukuran dan warna buahnya. Saya pun memetiknya dengan apel berukuran sedang, langsungsaya makan. Rasa segar dan manis jelas terasa. Harus diakui ada perbedaan citra rasa ketika menikmati apel yang kita petik sendiri dibandingkan bila kita membelinya dipedagang yang sudah masuk ke kios.
Ketika sedang asyik-asyiknya mencari buah yang akan dinikmati, selintas saya melihat sesuatu yang unik. Ketika itu saya lihat ada buah apel yang tampak tidak utuh, terlihat jelas apel bekas gigitan. Setelah dilihat lebih dekat, sudah bisa ditebak bahwa gigitan itu jelas yang melakukan adalah manusia. Kalau itu gigitan binatang seperti kambing jelas tidak mungkin sebab letak buahnya tinggi. Kalau itu kalong (kekelawar besar, jawa : codot) juga tidak mungkin juga, gigitannya terlalu besar, kecuali ada kalong yang sebesar mulut manusia tentunya (sekedar intermezo).
[caption id="attachment_394099" align="aligncenter" width="640" caption="Bukan gigitan hama apel, ini gigitan pengunjung yang"]
Saya tidak tahu persis mengapa pengunjung itu begitu “kreatif”, buah tidak dipetik tetapi langsung digigit. Dugaan saya adalah sang pengunjung itu ingin merasakan saja buah itu, manis atau tidak dengan maksud agar buah tidak terbuang sia-sia. Atau ia hanya bermaksud untuk memberi tanda atau pesan kepada pengunjung lainnya bahwa buah seperti yang digigit itujanganlah dipetik. Bisa jadi karena ukurannya belum besar maka harap jangan disentuh, jadi silahkan cari buah apel yang lebih “layak” dipetik untuk dinikmati.
Setelah berpuas diri memetik apel dan makan sepuasnya, pengunjung dapat membawa pulang hasil petikannya yang ditaruh pada tas plastik yang sengaja dibagikan pada pintu masuk. Yang selanjutnya ditimbang, membayar sesuai berat, selanjutnya dibawa pulang untuk dikonsumsi sendiri atau buat oleh-oleh.
[caption id="attachment_394102" align="aligncenter" width="640" caption="Belum puas makan apel sepuasnya bisa bawa pulang hasil petikan. Dok Pribadi"]
Bila anda ke Batu, alangkah baiknya mengunjungi wisata petik apel ini. Kita dapat menikmati buah apel hasil “kerja” dan pilihan sendiri. Kesegarannya benar-benar terjamin karena memetik langsung dari pohonnya, rasa was-was dapat terobati tanpa khawatir bila apel itu diberi pengawetseperti “isu” yang sering kita dengar.
Manfaat lainnya adalah menumbuhkan rasa percaya diri kita bahwa produk buah lokal bukanlah berkualitas buruk. Buah lokal kurang dikenal karena memang kurang promosi, tidak saja apel tetapi buah lainnya. Dengan berwisata petik buah apel ini merupakan salah satu cara menilai sesuatu dengan langsung mendatangi sumber dan tempat asalnya. Kita dapat berposisi sebagai pelaku dan pengamat, sehingga kita dapat menilai dengan objektif. Apel Batu memang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H