"Kak, kenapa balon bisa terbang ke atas? Tapi kalau mainan lain enggak bisa?" tanya seorang anak usia 4 tahun kepada kakaknya yang sudah kuliah. Â Sambil mengernyit, bingung "Hmm... aku enggak tahu, Dik. Mungkin karena... balonnya ringan? Atau... ada angin? Aku juga bingung."
Sang adik masih penasaran "Tapi, kenapa angin enggak bawa mainanku yang lain terbang juga, Kak?" Kakaknya  garuk-garuk kepala "Wah, aku belum ngerti. Mungkin nanti kita tanya Ayah atau Ibu aja, ya?"
Kita mungkin pernah mendengar dialog seperti itu. Dialog yang menunjukkan adanya kecerdasan dan rasa ingin tahu sorang anak terhadap segala sesuatu yang dilihat, dirasa dan didengarnya. Â Terkadang kita bertanya: Apakah kecerdasan anak adalah anugerah yang dibawa sejak lahir, ataukah ia buah dari tangan-tangan lembut yang merawat dan membimbing? Apakah ia seperti benih yang tak terlihat namun sudah pasti akan tumbuh, atau ia seperti tanah liat, yang bisa dibentuk dan diwarnai seiring waktu?
Di balik mata jernih seorang balita, di sana tersimpan rahasia kecerdasan yang begitu misterius. Bagaimana cara mereka memandang dunia, merespons suara, warna, bahkan kehangatan pelukan orang tua, semua itu adalah bagian dari proses luar biasa yang membentuk kecerdasan mereka. Namun, apakah semua itu hasil dari gen yang mengalir dalam darah mereka, atau pengaruh dari dunia yang merangkul sejak mereka pertama kali melihat cahaya?
Kecerdasan: Sebuah Jalinan Antara Gen dan Lingkungan
Bayangkan kecerdasan seperti sebuah benih. Beberapa anak mungkin memiliki benih yang tumbuh dengan cepat, sementara yang lain berkembang lebih lambat. Namun, benih yang baik sekalipun, tanpa tanah yang subur dan air yang cukup, tidak akan tumbuh dengan sempurna. Gen bisa diibaratkan sebagai benih itu sendiri, tetapi lingkungan—orang tua, pengalaman, permainan, dan pendidikan—adalah tanah dan air yang memberinya kehidupan.
Pada usia balita, otak anak berada dalam fase pertumbuhan yang menakjubkan, seperti sebuah pohon muda yang rantingnya terus berkembang. Ini adalah periode emas di mana setiap pengalaman menjadi bahan bakar bagi otak untuk terus mencipta koneksi baru. Ketika kita berbicara tentang kecerdasan, jangan hanya berpikir soal kemampuan membaca, berhitung, atau menyusun puzzle. Lebih dari itu, kecerdasan juga mencakup kemampuan anak untuk merasakan, memahami, dan menanggapi dunianya dengan caranya sendiri.
Apakah Kecerdasan Itu Bawaan?
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sekitar 40-60% dari variasi dalam kecerdasan anak dapat dijelaskan oleh faktor genetik. Anak-anak mewarisi potensi kecerdasan dari orang tua mereka, tetapi ini hanyalah modal awal. Misalnya, studi yang dipublikasikan dalam jurnal Molecular Psychiatry mengungkapkan bahwa ada lebih dari 500 gen yang berhubungan dengan kecerdasan, namun gen tersebut hanya memberikan kerangka dasar, bukan hasil akhir (1).
Menariknya, penelitian ini tidak menemukan satu gen tunggal yang bertanggung jawab untuk kecerdasan yang sangat tinggi. Namun, kombinasi dari banyak varian genetik positif dan sedikit mutasi yang merugikan dapat menciptakan potensi kecerdasan yang sangat tinggi (2).
Jadi, sesuai dengan pernyataan yang sering kita dengar, "Anak ini pintar sekali, pasti bawaan orang tuanya." Memang benar, faktor genetik memainkan peran penting dalam kecerdasan. Seorang anak mungkin mewarisi potensi intelektual dari orang tuanya. Namun, apakah kecerdasan itu akan terwujud sepenuhnya atau tidak, sangat bergantung pada lingkungan yang mendukungnya. Gen adalah modal dasar, tetapi tanpa pengalaman yang merangsang, potensi itu bisa saja tetap tersembunyi, tidak tergali.
Pengaruh Lingkungan: Membentuk Kecerdasan dengan Sentuhan Lembut
Lingkungan adalah kekuatan tak terlihat yang membentuk kecerdasan anak. Â Setiap kali seorang anak mendengar cerita sebelum tidur, bermain balok warna-warni, atau berlari di halaman, mereka sedang belajar, meskipun tanpa mereka sadari. Setiap tawa, pertanyaan, dan jawaban yang diberikan orang tua, semua itu adalah rangsangan yang memupuk kecerdasan anak.
Bayangkan otak seorang balita seperti spons. Pada masa ini, mereka menyerap segala hal di sekitar mereka—suara, sentuhan, pemandangan, bahkan ekspresi wajah. Pengalaman-pengalaman inilah yang membantu membentuk cara mereka berpikir, berkomunikasi, dan merespons situasi. Ketika seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang, rangsangan, dan dukungan, otak mereka akan berkembang dengan lebih optimal.
Jadi, Buatan atau Bawaan?
Pertanyaan ini mungkin tak memiliki jawaban tunggal. Kecerdasan adalah jalinan indah antara bawaan lahir dan hasil dari interaksi dengan dunia. Bayangkan seorang pemahat yang diberi sebongkah batu indah—ia bisa melihat potensi di dalamnya, tetapi butuh tangan yang terampil dan hati yang sabar untuk mengungkap keindahan yang tersembunyi. Begitu pula dengan kecerdasan anak. Ia bukan hanya soal apa yang diwariskan, tetapi juga bagaimana orang tua dan dunia di sekitar membantu membentuknya.
Maka, di tangan setiap orang tua, ada kekuatan besar. Dengan cinta dan perhatian, kecerdasan anak bisa tumbuh, berkembang, dan menyebarkan cahayanya sendiri. Dan pada akhirnya, kecerdasan bukanlah soal seberapa cepat anak belajar membaca atau menghitung, tetapi bagaimana mereka memahami dunia, merasakan kehidupan, dan mencintai proses belajar itu sendiri.
Kecerdasan, apakah itu buatan atau bawaan? Mungkin jawabannya adalah keduanya, dalam harmoni yang indah, seperti simfoni yang tercipta dari nada-nada alam dan tangan manusia yang memetik senar kehidupan.
Daftar Pustaka
- https://www.kcl.ac.uk/archive/news/ioppn/records/2015/august/studyoffersfirstgeneticanalysisofpeoplewithextremelyhighintelligence
- https://www.biospace.com/article/around-the-web/first-genetic-analysis-of-people-with-extremely-high-intelligence-king-s-college-london-study-/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI