Pembangunan yang berkelanjutan diperlukan untuk perbaikan ekonomi sebuah negara. Indonesia memiliki kendala dalam mewujudkan program-program pembangunan untuk kemakmuran nasional. Pemerintah menghadapi masalah keterbatasan modal untuk pembiayaan pembangunan. Hal ini dikarenakan adanya kesenjangan penerimaan dan pengeluaran atau adanya desifit anggaran pembangunan.Â
Dalam upaya mengatasi kesenjangan tersebut, Pemerintah Indonesia melakukan serangkaian kebijakan baik berupa stimulus dari dalam negeri (internal) maupun dari luar negeri (eksternal). Selain menggenjot sumber-sumber penerimaan negara melalui ektensifikasi dan intensifikasi pajak dan  non pajak, pemerintah Indonesia dari masa ke masa telah menerapkan kebijakan utang luar negeri dan penanaman modal asing.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, utang adalah uang yang dipinjam dari orang lain. Sementara secara etimologi, utang atau debt (Inggris) berasal dari istilah Bahasa Perancis dette atau istilah Bahasa Latin debitum yang bermakna "yang berutang." Istilah debitur konon pertama kali digunakan dalam bahasa Inggris pada awal abad ke-13. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga mendefinisikan pinjaman sebagai utang yang dipinjam dari pihak lain dengan kewajiban membayar kembali. Sedangkan Pinjaman Luar Negeri adalah sejumlah dana yang diperoleh dari negara lain (bilateral) atau (multilateral) yang tercermin dalam neraca pembayaran untuk kegiatan investasi, menutup saving-investment gap dan foreign exchange gap yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta.
Menurut SKB Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas (No. 185/KMK.03/1995 dan Nomor KEP.031/KET/5/1995) Pinjaman Luar Negeri adalah penerimaan negara baik dalam bentuk devisa, dan atau devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang dan atau jasa yang diperoleh dari pemberian pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. Orang, perusahaan maupun negara secara kelembagaan tak pernah lepas dari praktik utang piutang.Â
Tidak hanya untuk kepentingan bisnis, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Secara bisnis, utang sudah dianggap hal yang lazim untuk menambah modal usaha. Hal yang serupa terjadi dalam tata kelola suatu negara. Hampir semua negara, pernah bahkan terus berutang untuk menambah dana atau modal pembangunan nasionalnya. Indonesia, sebagai salah satu Negara yang sering berutang, punya sejarah panjang dalam hal utang atau pinjaman ke pihak luar, baik secara bilateral maupun multilateral lewat lembaga keuangan internasional dan regional.
Menurut Lincolin Arsyad (2010), utang luar negeri merupakan sumber pembiayaan anggaran pemerintah dan pembangunan ekonomi. Utang luar negeri dimanfaatkan untuk membiayai belanja Negara sehingga dapat mendukung kegiatan ekonomi, terutama kegiatan-kegiatan produktif sehingga pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Utang biasanya dipakai untuk membiayai defisit anggaran. Pertumbuhan yang tercipta pada gilirannya berkontribusi menciptakan lapangan kerja dan penurunan angka kemiskinan. Di Indonesia sendiri, sudah lama mengenal utang luar negeri. Bahkan sebelum merdeka, sudah ada warisan utang dari peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Dari tahun ke tahun, utang luar negeri kita bertambah. Ini berlaku mulai dari era Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi.
Pada awal kemerdekaan, Indonesia punya utang sekitar 2 milyar dolar. Per Semester II 2017, utang Indonesia sudah mendekati nilai Rp 4.000 trilyun. Â Utang luar negeri diperlukan untuk memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi seperti dengan cara meningkatkan produksi (PDB), memperluas kesempatan kerja dan memperbaiki neraca pembayaran. Namun, apabila utang digunakan secara tidak wajar maka kemungkinan utang tersebut akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi bahkan mengancam kestabilan makro ekonomi negara.
Kondisi utang luar negeri Indonesia baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya tentu tidak lepas dari kondisi perekonomian sebelumnya. Dengan kata lain, buruknya kinerja perekonornian di tahun-tahun sebelumnya bisa jadi sebagai pendorong munculnya masalah utang luar negeri dewasa ini. Sejak merdeka, Indonesia telah mengalami tujuh kali pergantian kepemimpinan nasional. Mulai dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingga Joko Widodo. Setiap pemerintahan tentu punya kebijakan dan program prioritas yang berbeda.
Meski begitu, pada setiap kurun pemerintahan, utang luar negeri selalu hadir untuk menambal defisit anggaran pembangunan. Harapannya, ikut membiayai berbagai proyek pembangunan dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang terindikasi dengan naiknya nilai PDB dan menciptakan lapangan pekerjaan, yang pada gilirannya dapat berkontribusi untuk menurunkan angka kemiskinan. Dalam praktiknya, utang luar negeri tidak semuanya digunakan untuk belanja pembangunan. Sebagian utang malah dipakai untuk menutup cicilan utang pokok dan bunganya. Dalam sebuah penelitian menemukan adanya Fisher Paradox, situasi dimana semakin banyak cicilan utang luar negeri dilakukan, semakin besar akumulasi utang luar negerinya. Kondisi serupa dikemukakan oleh peneliti lain bahwa ciciian plus bunga utang luar negeri secara substansial dibiayai oleh utang baru sehingga terjadi net transfer surnber-sumber keuangan dari Indonesia ke pihak pihak kreditur asing.
Kondisi ini tentu tidak menguntungkan. Hal ini karena sebagian besar dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diharapkan dapat menggerakkan perekonomian ternyata tersedot oleh pengeluaran rutin yang sebagian besar teralokasi pacta cicilan pokok dan bunga utang. Utang yang sasaran utamanya untuk menunjang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi akan menjadi beban pemerintah saat melakukan pembayaran utang tersebut. Pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri berpengaruh terhadap perekonomian karena pada kondisi tertentu pembayaran cicilan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian sehingga menghilangkan kontribusi positif dari utang luar negeri.
Sementara itu berdasarkan sistem anggaran, Indonesia mengalami setidaknya empat rezim anggaran. Pertama sistem anggaran berbasis program. Ini dimulai dari sejak Indonesia merdeka hingga periode 1973. Kedua, sistem anggaran berimbang berlaku selama periode 1974-1998. Ketiga, sistem anggaran terpadu, berlaku selama periode 1999-2004. Keempat, sistem anggaran berbasis kinerja, berlaku pada periode 2005 -- sekarang.