Mohon tunggu...
Herva Yulyanti
Herva Yulyanti Mohon Tunggu... Human Resources - Emak Bekerja sbg HRD dan tukang nulis di blog sendiri www.bundanameera.com

Menulis berdasarkan apa yang dilihat, didengar dan dirasakan..Hobi tidur dan bermimpi tapi dari mimpi bisa jadi target buat dicapai..Yuk Mari..

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Status Nikah Pekerja: Salary Vs Kenyamanan?

21 Oktober 2021   11:07 Diperbarui: 29 Oktober 2021   12:47 1660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gaji dan kebutuhan pokok. (sumber: Pixabay.com/Steve Buissinne)

"Bekerja tak melulu soal gaji tapi juga kenyamanan menjadi qoentji penting," sahut si A dengan posisi division head.
"Gua tetap milih gaji, karena nyaman aja ga cukup buat beli MAKAN," sahut si B dengan posisi staf biasa.

Membandingkan dua pernyataan dari dua orang yang berbeda dengan posisi pekerjaan berbeda pula rasanya menggelitik untuk direnungkan nih, soalnya menarik banget.

Jadi pertanyaannya adalah kalau mau masuk kerja pilih gaji besar meski lingkungan kerja toxic atau gaji kecil tapi lingkungannya itu menyenangkan dengan rekan kerja like family?

Bagi saya pribadi, dua hal ini menjadi poin penting untuk menjadi tolok ukur, apakah kelak ketika bergabung dalam perusahaan saya lanjut berkarir pada satu tempat atau sebaiknya saya mencari-cari lagi pekerjaan lain.

Setiap orang punya banget standar yang berbeda, tidak bisa disamakann meski dengan saudara kandung sekalipun.

Jika, seandainya, bagi saya gaji kecil dengan lingkungan mengasyikkan is better than gaji besar dengan lingkungan toxic, belum tentu pilihan ini juga menarik bagi kakak saya, barang kali ada hal lain yang jadi pertimbangan buat dirinya.

Menariknya, dalam case ini, banyak terjadi dan dirasakan oleh siapapun! Ada sih yang dapat gaji gede dengan lingkungan kerja yang asyik, itu beneran REZEKI NOMPLOK! Tapi, probabilitas mendapatkan hal tersebut seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. 

Terus gimana dong?

Bila dari sudut pandang saya, maka untuk menjatuhkan pilihannya adalah melalui status pernikahan si karyawannya. 

@hervayulyanti
@hervayulyanti

Menikah Vs Single

Apa hubungannya sama status pernikahan si karyawan? Ada hubungannya, malah hubungannya itu erat sekali hingga tak bisa untuk dipisahkan.

Begini opini dan pengalaman saya pribadi:

Dari status pernikahan, memiliki satu anak atau lebih menjadi tolok ukur si karyawan untuk menentukan pilihannya, apakah mesti putus lanjut atau tidak bekerja di perusahaan jika yang ditanyakan gaji atau kenyamanan.

Karyawan berstatus nikah, sudah tidak ada lagi urusan haha-hihi sama rekan kerja yang emang toxic, kebanyakan mereka berstatus nikah milih NOMINAL karena dikejar sama yang namanya kebutuhan.

Bodo amat deh sama rekan kerja toxic, mau yang kang ghibah, kang jilat, muka dua sampe empat udah tidak peduli, yang penting masuk jam 08.00 pulang jam 17.00 gajian tanggal 28, beres? Iya sesimpel itu...

Bedanya sama si single gimana? Nah, yang single tidak ada kebutuhan buat beli popok, bayar LKS, beli beras, beli minyak dll.

Enaknya yang single terutama yang masih tinggal sama ortu itu tinggal pulang-pergi kerja aja, tidak mikirin banget sama bunyi token listrik yang berisik, tidak mikirin gas abis apalagi kudu beli tabung ijo dengan label "untuk masyarakat kismin" :p

Dari sisi kebutuhan si single vs si yang sudah nikah saja jauhnya beda. Lalu dari sisi kenyamanannya gimana?

Pengalaman saya nih, sejak menikah saya lebih fokus buat KERJA SESUAI PORSI, tidak melulu ngurusin orang lain, say. 

Bodo amat sama rekan kerja toxic yang pake topeng, udah ngga baperan saat dibilang ina-itu. Jadi kerja ya emang beneran berburu tanggal 28!

Prioritas saya kini kalau disuruh pilih, tentu saja, GAJI GEDE!

Sama seperti pernyataan staf diawal karena NYAMAN doang ga bisa kebeli popok apalagi hire ART..dududu

Dan ya saya rasakan banget saat saya single, kebutuhan saya lebih kepada outfit, jalan-jalan dan tentu saja kenyamanan di tempat kerja harus banget karena zamannya masih labil butuh teman kerja yang bisa diajak gila bareng, bisa diajak curhat, bisa diajak kerja bareng bukan teman yang makan teman terus cepu laporin semua ke atasan. ckckck...

Intinya sih, gaji dan kenyamanan yang bisa ngukur diri sendiri. Apalagi kalau statusnya udah berubah punya keluarga yang harus dibiayai. 

Jadi inget kisah bullying di KP*, bayangin itu karyawan bertahan bertahun-tahun meski akhirnya menjadi penyakit mental buat dirinya karena KEBUTUHAN dan KELUARGA. 

Berat emang... tapi setiap orang pasti bisa pilih yang mana yang baik untuknya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun