Mohon tunggu...
Heru Tri Budi
Heru Tri Budi Mohon Tunggu... Pemuka Agama - pemerhati kesehatan jiwa dan keluarga

Teman sharing keluarga dalam obrolan seputar kesehatan emosional, spiritual, relasional dalam keluarga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tips Mengalami Kebebasan dari Rasa Bersalah

6 Januari 2018   21:34 Diperbarui: 7 Januari 2018   07:34 2829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

hatebe/restorasijiwa - Rasa bersalah adalah sebuah perasaan yang dialami seseorang yang tidak merasa bahagia, tidak merasa ada kedamaian  dan tidak tentram. Perasaan yang buruk, salah, tidak berharga, merasa gagal, merasa malu dan kalah karena sesuatu perbuatan yang telah dilakukan. Rasa bersalah mendorong perasaan menghukum diri sendiri sehingga membuat banyak orang melakukan sesuatu (bekerja, berkeluarga, relasi sosial) dengan cara dan dorongan yang tidak sehat.

Para ahli psikologi berpendapat bahwa perasaan bersalah itu muncul karena kegagalan untuk mencapai standar-standar perilaku yang telah kita tetapkan sendiri. Misalnya ketika kita telah mengecewakan atau menyakiti hati seseorang, itu merupakan suatu perilaku yang buruk. Maka solusinya adalah kita belajar cara hidup yang  baik agar tidak merugikan orang lain atau siapapun. Jika ini kita lakukan tentunya kita tidak akan merasa bersalah. Tetapi hidup manusia memiliki dimensi spiritual, rasa bersalah tidak hanya bersifat horizontal tetapi juga vertikal. Rasa bersalah itu akan semakin kuat ketika seseorang merasa berdosa kepada Tuhan.

Rasa bersalah bisa kita bedakan ke dalam dua kategori: Pertama, Rasa bersalah yang obyektif, yaitu: ketika kita melakukan dosa, pelanggaran atau kejahatan kemudian muncul rasa bersalah dalam jiwa kita. Itu sesuatu yang wajar, benar dan seharusnya memang demikian; Kedua, Rasa bersalah yang subyektif, yaitu: rasa bersalah tanpa alasan yang jelas atau tidak wajar. 

Misalnya: kita merasa bersalah (tepatnya: menyalahkan diri sendiri) untuk hal-hal buruk yang terjadi kepada orang-orang yang kita kasihi (karena mereka sakit, meninggal, gagal, menderita atau mengalami kecelakaan); kita merasa bersalah karena tidak seperti yang diinginkan orang lain (padahal belum tentu itu sebuah kesalahan); kita masih dikejar-kejar dengan rasa bersalah atas dosa atau kejahatan kita di masa lalu padahal kita sudah menyesalinya dan mengakuinya di hadapan Tuhan mohon pengampunannya, bahkan kita sudah bertobat meninggalkan dosa tersebut. Rasa bersalah yang subyektif juga banyak menjangkiti orang-orang perfeksionis ketika mereka merasa tidak mencapai standar-standar subyektif yang mereka buat sendiri.

Tips untuk mengalami kebebasan dari rasa bersalah:

  • Identifikasikan rasa bersalah yang kita alami bersifat obyektif atau subyektif. Identifikasi yang tepat akan menolong proses penanganannya secara tepat.
  • Jika rasa bersalah kita bersifat obyektif, jalan keluar untuk mengalami pemulihan jiwa adalah: minta maaf kepada seseorang dimana kita sudah bersalah kepadanya. Jika rasa bersalah itu bersifat vertikal, mintalah pengampunan Tuhan. Akuilah keadaaan Anda sebagai orang berdosa. Tidak perlu memanipulasi keadaan seolah-olah dosa Anda tidak terlalu serius. Sadarilah, bahwa dosa Anda telah menyakiti hati Tuhan dan melanggar perintah-Nya. Percayalah, bahwa Tuhan memiliki rahmat yang tak terbatas untuk mengampuni kita. Seseorang mungkin belum mau memaafkan kesalahan kita, tetapi ketika pengampunan Tuhan kita rasakan maka kita akan mengalami kebebasan jiwa dan memperoleh kekuatan untuk menanggung konsekuensi dari kesalahan kita. Tentu saja kita perlu menindaklanjuti dengan komitmen untuk meninggalkan kesalahan kita dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.
  • Jika rasa bersalah kita bersifat subyektif, kita perlu melihat masalahnya dalam perspektif yang lebih obyektif dan utuh. Buatlah standar yang masuk akal, jangan menanggung beban lebih dari tanggung jawab yang seharusnya. Menghormati seseorang atau ingin membahagiakan seseorang itu bukan berarti melakukan semua hal yang mereka inginkan dan menyiksa diri sendiri. Garis batasnya jelas, apa yang menjadi tanggung jawab kita dan apa yang menjadi tanggung jawab mereka. Rasa bersalah yang bersifat subyektif seringkali muncul karena garis batas ini tidak jelas. Kalau kita sudah melakukan tanggung jawab kita tetapi ternyata gagal dan tidak memenuhi harapan seseorang yang kita sayangi/hormati, mintalah maaf kepadanya dan belajarlah dari kegagalan tersebut supaya berikutnya bisa menjadi lebih baik.
  • Setelah kita mengidentifikasi rasa bersalah dan menyelesaikannya sesuai sifat rasa bersalah tersebut, maka kita perlu menindaklanjuti dengan melepaskan rasa bersalah dan pikiran negatif yang selama ini menekan jiwa kita. Belajarlah untk bersyukur karena setiap hal terjadi akan membawa hikmah kebaikan kepada kita. Kesalahan dan kegagalan yang menimbulkan rasa bersalah adalah bagian dari proses hidup untuk menjadi lebih dewasa dan bijaksana.

Salam sukses dan bahagia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun